JATUH CINTA DI KILOMETER DUA PULUH TIGA

Cinta adalah sebuah jaring yang menjerat hati bagaikan seekor ikan

(Muhammad Ali, Mantan Juara Dunia Tinju Kelas Berat, dari “Reader Digest Indonesia” edisi Januari 2005)

          HUJAN masih menyisakan gerimis sore itu. Rintik demi rintiknya membasahi baju seragam biru kantor saya. Matahari yang mulai beranjak ke peraduan, mengintip  malu-malu disela-sela awan merah jingga. Sebuah suasana senja yang sungguh eksotik. Saya berlari kecil menuju halte bis persis didepan kantor Pajak disamping gedung Sentra Mulia Jl.Gatot Subroto. Ini hari pertama saya masuk kerja di salah satu perusahaan kontraktor minyak dan gas sebagai engineer trainee.

Seusai menamatkan study di salah satu Universitas terkemuka di Jakarta, ayah dan ibu meminta saya untuk tinggal kembali bersama mereka di rumah kami di Cikarang dan meninggalkan tempat kos yang sudah saya huni selama kurang lebih 3 tahun. “Kamu sudah terlalu lama meninggalkan kami sejak kuliah di Jakarta, jadi mulai sekarang, kamu harus tinggal di Cikarang, meski kamu bekerja di Jakarta. Tidak ada istilah tinggal di kos-kosan lagi”, demikian titah ayahku yang kemudian di-amini oleh ibuku. Saya hanya mengangguk pelan. Saya memahami keputusan ayah, karena sejak beliau pensiun dari pekerjaannya disalah satu pabrik di kawasan industri di Cikarang dan terlebih sejak Kak Intan menikah kemudian diboyong Mas Hari, suaminya ke Balikpapan, ayah dan ibu kesepian dan butuh teman untuk mendampingi mereka selama melewati masa tuanya. Namun tak urung, sempat terbayang dalam benakku menjadi pekerja komuter yang bolak-balik Jakarta-Cikarang yang berjarak kurang lebih 35 km. Betapa sangat melelahkan.

Maka demikianlah, sejak saat ini saya menjadi pelanggan tetap bis Mayasari Bakti No.AC-121 Jurusan Cikarang-Blok M atau Bis Eksekutif Lippo Cikarang dengan jurusan yang sama. Setiap pukul 06.00 saya berangkat dari rumah menuju ke kantor di daerah Jalan Warung Buncit Jakarta Selatan dan pulang setiap pukul 17.00 sore. Sebuah rutinitas yang menurutku bakal membosankan.

Saya duduk di halte bis sambil menebar pandangan ke sekeliling. Nampak 2 orang penjual teh botol/minuman ringan, seorang penjual bakso gerobak dan seorang penjual siomay sepeda menjajakan hidangannya. Sejumlah karyawan kantoran tampak pula menikmati hidangan pedagang-pedagang itu yang saya yakin sebagian besar diantaranya juga adalah pekerja komuter yang tinggal di daerah sekitar Bekasi, Bogor atau Cikarang, seperti saya. Mereka duduk di bangku halte ataupun di kursi plastik yang disiapkan oleh sang penjaja makanan. Para penunggu bis lainnya ada yang saling bercakap-cakap dan ada pula dengan khidmat membaca Koran terbitan sore. Lalu lintas di jalan Gatot Subroto demikian padatnya. Asap knalpot kendaraan meruap diudara dan perlahan hilang disaput gerimis senja.

“Nah, itu dia!”, saya membatin saat melihat dikejauhan, bis AC-121 akan melintas didepan halte. Beberapa diantara penunggu bis berdiri dari tempat duduknya dan merapat kepinggir halte. Dan ketika bis mendekat para pekerja komuter itupun berebutan naik keatas bis.  Saya lalu menghenyakkan pantat pada sebuah kursi kosong formasi 2 tempat duduk. Sambil menghela nafas lega saya menoleh kesamping kearah tetangga duduk yang mengambil posisi dipinggir dekat jendela. Untuk kedua kalinya saya menarik nafas lega dengan helaan lebih panjang. Tetangga duduk saya ternyata seorang gadis manis berkacamata dibungkus gaun blazer dan rok hitam, berusia sekitar 25-26 tahun, berkulit putih dengan hidung mancung aristokrat dan sedang serius membaca sebuah novel berjudul “Jomblo” karya Adhitya Mulya. Ia tampaknya tidak begitu terganggu dengan kehadiran saya disampingnya. Dengan ketenangan luar biasa, ia terus membaca lembar demi lembar novel tersebut. Saya mencoba mencuri-curi pandang ke arahnya menikmati sosok karunia Tuhan yang begitu sempurna itu. Sesekali saya melihat ia tersenyum samar bahkan tertawa tertahan sambil menutup mulut dengan tangannya yang mungil dengan mata tetap lekat pada novel yang dibaca.

Ini dia, sosok wanita idaman yang senantiasa menjadi impian. Seketika adrenalin dalam tubuh saya bergolak menyentuh kisi-kisi hati yang paling dalam. Saya jatuh cinta pada pandangan pertama, demikian gema hati saya berdentam keras. Bis yang telah memasuki gerbang tol didepan Hotel Kartika Chandra, melaju dengan lambat. Kemacetan yang sudah menjadi “tradisi Jakarta” menghambat pergerakan bis kami di kawasan Pancoran. Gadis itu sejenak menghentikan kegiatan bacanya dengan meletakkan novel di pangkuan sembari membuka kacamata ovalnya kemudian memijat sudut sekitar alis dan bagian atas hidung dengan ujung jempol dan telunjuk jari tangan kanannya. Saya mengumpulkan segenap keberanian untuk menyapa gadis itu sesaat setelah ia menyelesaikan kegiatannya.

“Jadi jomblo ternyata nggak enak ya ?”, kata saya membuka percakapan dengan melontarkan sebuah pertanyaan konyol. Gadis itu menoleh kearahku dan tersenyum tipis. Ia tak berkomentar apapun.

Saya menelan ludah dan berusaha untuk tidak menyerah, setidaknya saya telah mencuri perhatiannya.

“Sebagai seorang jomblo, saya benar-benar merasakan betapa sepinya hidup tanpa wanita. Disitulah letak tidak enaknya,” saya mencoba menetralisir suasana dengan menceritakan pengalaman pribadi yang  saya alami saat ini. Namun belakangan saya merasa menjadi orang paling tolol sedunia dengan melontarkan pernyataan tadi.

Gadis itu tertawa tanpa suara. Ia lalu menutup novel yang dibacanya sambil menanggapi seraya menatap tajam kearah saya.

“Sebagai jomblo, saya merasa enjoy aja  tuh. Saya tidak pernah merasa tersiksa rasa sepi tanpa pasangan”

           Ia mencoba menyanggah argumenku, saya membatin. Saya lalu memperbaiki letak duduk sekaligus menata kegugupan yang tiba-tiba melanda.

“Yaaa…tiap orang kan’ punya pendekatan berbeda dalam menyikapi ke-jomblo-annya. Saya cenderung menanggapinya secara sentimental sementara anda melihat itu secara lebih rileks. Itu mungkin yang membuat kita berseberangan dalam hal ini”

“Ini bukan soal pendekatan menyikapi. Ini soal prinsip. Jadi jomblo bukan sebuah curse atau kutukan koq. Itu sebuah proses alamiah dalam hidup, yang, mungkin disadari atau tidak akan dialami semua orang. Tanpa kecuali. Termasuk anda dan saya. Jika kemudian itu terjadi, sudah seyogyanya dipandang sebagai bagian dari sebuah proses kehidupan dan tidak lantas tiba-tiba menganggap diri sebagai pecundang. Jadi, take it easy-lah,” sahut gadis itu santai. Tanpa beban. Saya langsung mengagumi cara berfikirnya yang demikian sederhana namun cerdas itu.

“Lantas bagaimana jika jadi jomblo terus-menerus, masa’ harus “take it easy” melulu sih ?”, saya mencoba memancing pendapatnya lebih mendalam.

“Saya tidak melihat itu sebagai hambatan yang patut diwaspadai. Rezeki, Jodoh dan Mati terkadang datang dari arah yang tidak disangka-sangka dan tidak kita perkirakan sebelumnya. Tuhan telah memberikan garis nasib seseorang sejak ia lahir kedunia termasuk siapa yang bakal menjadi pasangan hidupnya kelak.”, jawab gadis itu—lagi-lagi—dengan santai. Ia lalu melontarkan pandangan kearah jendela bis. Lalulintas masih padat, kendaraan berjalan tersendat. Bis kami sudah mendekati tol Jakarta-Cikampek disekitar Cawang namun terhambat di persimpangan tol dalam kota yang menuju Tanjung Priok.

Saya terkekeh, analisa gadis ini sangat pragmatis tapi menyentuh.

“Saya baru menemukan gadis jomblo setangguh anda,” kata saya sambil menatap lekat matanya yang tanpa kacamata oval itu. Mata jernih ibarat bintang kejora yang memancarkan kecerdasan. Hati saya makin menggelepar-gelepar karenanya.

Gadis itu tertawa renyah. Barisan giginya yang rapi semakin memancarkan aura kecantikannya. Terlihat pula dekik pipinya yang membuat ia terlihat mempesona.

“Jangan coba bermain-main dengan asumsi anda,” sahutnya disela-sela tawanya yang “indah” itu.

“Oya, Kita belum kenalan, nama saya Andika, ” saya mengangsurkan tangan kearah gadis itu untuk berkenalan.

“Alya Maharani, panggil saja Alya,” balas gadis itu menyambut uluran tangan perkenalanku dengan hangat. Suasana kaku antara kami langsung mencair. Sepanjang perjalanan, kami bercerita tentang banyak hal mulai dari kegemaran kami berdua membaca buku, film-film terbaru dan juga tentang diri kami masing-masing. Sejak setahun terakhir ini, sejak lulus dari akademi sekretaris terkemuka, Alya bekerja sebagai sekretaris General Manager di salah satu perusahaan telekomunikasi di salah satu gedung di bilangan  Jalan Sudirman. Sebagai anak tunggal kesayangan, ia tidak diizinkan untuk kos di Jakarta dan tetap diminta tinggal bersama keluarganya di Cikarang. Jadilah ia pekerja komuter Cikarang-Jakarta, seperti saya. Kami berbincang dan bercanda dengan akrab, tanpa jarak, bagai dua sahabat yang lama tidak bertemu. Bis kami memasuki jalan tol Jakarta-Cikampek dan melaju dengan kecepatan konstan. Gerimis sudah reda dan matahari beringsut menuju ke peraduannya meninggalkan jejak-jejak merah saga.

Tanpa terasa, bis telah memasuki gerbang tol Cikarang Barat dan kami mengakhiri percakapan karena Alya harus turun lebih dulu di salah satu kompleks perumahan yang dilewati oleh bis kami. Sebelumnya kami telah saling bertukar nomor handphone, alamat serta e-mail dan berjanji untuk saling menghubungi satu sama lain. Saya sempat menyaksikan sekilas senyumnya yang memukau itu sesaat sebelum turun dari bis. Malam telah menurunkan tirainya di Cikarang.

Keesokan paginya, saat saya baru naik bis AC 121 dari gerbang depan kompleks didepan rumah saat dering SMS di handphone saya terdengar. Dari Alya.

            Sdh naik bis blm ? Klu sdh, Sisain t4 ddk  ya ?Sy nunggu didpn kompleks. Thanx

Saya tersenyum membaca pesan pendek itu dan tak lama kemudian jari-jari saya dengan lincah mengetik balasannya : Jgn khawatir. Masih ada koq ,t4-mu disisiku.

Untuk kedua kalinya saya tersenyum. Rutinitas yang sebelumnya saya curigai bakal membosankan. Ternyata tidak juga. Pagi yang cerah ini seperti diwarnai berjuta pelangi. Indah sekali.

“Hai, Selamat Pagi” sapa Alya ramah. Sang Bidadari pagi sudah datang. Kali ini dia mengenakan blazer warna biru dengan paduan celana panjang yang harmonis. Wangi parfumnya langsung menyerbu hidung.

“Selamat pagi juga, yuk duduk disini”, saya berdiri dan mempersilakannya duduk disamping tempat duduk saya, didekat jendela, tempat favoritnya.

“Terimakasih, sudah disediakan tempat,” katanya tulus. Saya tersenyum dan kembali memandangnya takjub. Dia begitu cantik hari ini.

Kamipun terlibat pembicaraan yang hangat tentang banyak hal. Saya seperti menemukan cakrawala baru dalam kehidupan saya sejak berkenalan dengan Alya. Kami selalu menemukan materi percakapan yang menarik disetiap pertemuan kami, Sejak saat itu, setiap pagi hingga sore, pada hari kerja, kami selalu bertemu di bis favorit kami. Perasaan cinta padanya semakin tumbuh subur dalam hati saya, dari waktu ke waktu, Namun saya belum punya cukup keberanian untuk mengungkapkannya secara terbuka, termasuk mencoba bertamu ke rumahnya meski kompleks perumahan kami relatif berdekatan. Sampai pagi ini, pada pertemuan kami yang ke-34, Alya menyatakan sesuatu yang membuat saya tersentak kaget.

“Mulai besok, kita mungkin tidak akan bertemu lagi seperti sekarang,” kata Alya pelan. Saya menahan nafas, tenggorokan saya terasa tercekat. Saya lalu memandang tajam kearahnya.

“Saya mendapat beasiswa untuk melanjutkan study di Sydney, dan mulai besok saya akan pindah sementara ke rumah paman di Jakarta untuk mengurus kelengkapan administrasi keberangkatan saya nanti. Bulan depan, jika tak ada aral melintang, saya akan ke Sydney dan mengundurkan diri dari kantor saya sekarang,” Alya melanjutkan dengan suara serak dan bibir bergetar. Ia kemudian menundukkan kepala, menekuri lantai bis yang kusam. Saya tercenung, berita ini sungguh mencengangkan dan membuat batin saya begitu terpukul. Amat telak. Untuk sejenak kami berdua terdiam. Ada keharuan melingkupi kesenyapan itu. Seorang pengamen jalanan sedang mendendangkan lagu dengan suara parau dan membosankan.

“Kenapa kamu tidak pernah membicarakan hal ini sebelumnya ?”, saya bertanya dengan nada putus asa. Mata kejora Alya lalu menatap saya memancarkan apologi sekaligus kepedihan mendalam.

“Saya tak bermaksud menyembunyikan ini semua dari kamu. Saya merasa tidak memiliki cukup keyakinan untuk bisa lolos dalam seleksi penerimaan beasiswa itu. Dan atas alasan itulah saya tidak menyampaikan hal ini kepada kamu,. Sampai semalam, sepulang dari kantor, ibu menyampaikan kabar tersebut serta rencana-rencana selanjutnya,”, jawab Alya seraya memandang keluar jendela. Saya memahami kegalauan hatinya saat ini. Mendung menggayuti langit, hujan sebentar lagi turun. Bis kami sudah memasuki gerbang tol Pondok Gede Timur dan sang pengamen terlihat mulai berkeliling ke seluruh penumpang bis sembari menyodorkan topi lusuhnya untuk mendapatkan sekedar imbalan atas nyanyiannya yang sumbang tadi.

Kami saling tidak bercakap-cakap lagi sesudah itu.  Saya segera membayangkan betapa kebersamaannya selama satu-dua jam yang begitu berarti dalam tiap jejak kehidupan saya melalui roda-roda bis Jakarta-Cikarang dan sebaliknya, di tiap pagi dan sore akan berakhir secepat ini. Tragisnya, saya belum sempat mengungkapkan perasaan cinta yang bergelora dalam hati kepadanya, Alya, sang bidadari pagi pemilik mata kejora itu.  Saya menghela nafas panjang, menyerap oksigen sebanyak-banyaknya untuk mengisi rongga dada yang terasa sesak oleh berita kepergiannya . Saya melirik ke samping, Alya terlihat lebih sering menatap keluar jendela bis, entah apa yang berkecamuk dipikirannya saat ini. Gerimis yang mulai turun menghantam kaca jendela bis meninggalkan jejak-jejak buram.

Seperti biasa, saya turun lebih dulu di halte Polda DKI dan Alya masih melanjutkan perjalanan sekitar satu kilometer lagi setelah saya.

“Saya turun duluan ya, sampai ketemu sore nanti,” kata saya pamit. Untuk terakhir kali, batin saya bergumam pedih. Alya mengangguk pelan dan menatapku sayu.

Seperti biasa, sore harinya, saya bertemu Alya lagi, namun dengan nuansa muram tidak seperti biasanya. Saya telah menetapkan hati dan menguatkan nyali untuk mengungkapkan perasaan saya padanya, sekarang. Saya tidak peduli, betapa norak menyatakan cinta diatas bis ini.

“Alya, boleh saya mengungkapkan sesuatu padamu ?”, kata saya hati-hati sambil menatap wajahnya yang begitu jelita. Ia mengangguk pelan. Matanya mengerjap indah.

“Saya mencintai kamu, jadilah kekasih saya untuk sekarang dan seterusnya. Dari kebersamaan kita selama ini, membuat saya yakin kamulah wanita yang  pantas mendampingi saya, selama hidup dan saya berharap kamupun punya keyakinan yang sama. Saya tidak berusaha untuk bermain dengan asumsi, saya bersungguh-sungguh untuk membuat kamu bahagia,” ucap saya lirih dengan tenggorokan tercekat. Alya terdiam, ia seperti terguncang oleh pernyataan saya yang mungkin tidak sepantasnya diungkapkan diatas bis yang sedang melaju. Saya menelan ludah, menata kegugupan yang mendera. Degup jantung saya berdetak lebih cepat dari biasanya. Saya lalu memberanikan diri meraih dan menggenggam tangannya. Ia tidak berusaha menghindar dan memandang saya dengan tajam.

“Kebetulan, saya juga punya keyakinan yang sama,” sahut Alya dengan bibir bergetar, tangannya balas menggenggam tangan saya lebih erat, mengalirkan segenap perasaan yang membuncah saat itu. Jantung saya tiba-tiba seperti berhenti berdetak menerima respon yang demikian menggembirakan itu. Alya tersenyum manis dan segera merebahkan kepalanya di bahu saya. Seketika warna-warni pelangi terpampang didepan mata, membias lugas menembus kaca-kaca jendela bis yang sedang melaju kencang. Saya menoleh keluar jendela disamping Alya duduk, seraya meremas lembut jemarinya.

Bis kami baru saja melewati daerah Bekasi Timur, tepat di kilometer dua puluh tiga dari Jakarta.

 

Jakarta, 31 January 2005 

Related Posts
FROM CERPEN TO SINETRON : SEORANG PELACUR DAN SUPIR TAKSI
Catatan Pengantar Dibawah ini adalah Cerita Pendek saya yang dimuat di Harian Fajar Makassar 22 Mei 1994. Alhamdulillah, cerpen ini diangkat ke layar kaca dalam sinetron Pintu Hidayah RCTI 6 November ...
Posting Terkait
BULAN LUKA PARAH DILANGIT NAGOYA
BANDARA Hang Nadim menyongsong kedatangan saya dengan terik matahari yang menggemaskan. Udara gersang “ kota otorita”,  itu berhembus menerbang selaksa debu-debu, berputar tak teratur kemudian mewarnai Batam dalam nuansa suram  ...
Posting Terkait
CERPEN : GEGER KAMPUS 2025
TAHUN 2095, Kampus Universitas Amburadui (UNBUL), Gempar! Sang Rektor dinilai mengeluarkan tindakan sepihak dengan mengeluarkan surat keputusan dengan mengeluarkan Gedung Jasa Boga dan membangun lagi kantin dari pondok-pondok bambo beratap ...
Posting Terkait
MENGABADIKAN CERPEN-CERPEN TERPILIH DI “STORIAL”
"Cinta Dalam Sepotong Kangkung" adalah cerpen yang pernah saya tulis dan dimuat di Suratkabar Pedoman Rakyat Makassar, 15 April 1991. Pada Hari Sabtu, 9 Desember 2006, cerpen ini diadaptasi menjadi ...
Posting Terkait
CERPEN : PENSIUNAN
Pengantar Cerpen dibawah ini saya tulis untuk menyongsong masa pensiun ayah saya dan dimuat 15 tahun silam di Harian Fajar Makassar edisi Minggu 24 April 1994. Selamat membaca.. ---------- HIDUP tanpa sempat berbuat ...
Posting Terkait
CERPEN : LUKA SANG BIDADARI
Pengantar: Cerpen ini pernah dimuat di Harian Fajar Makassar tahun 1996 (saya lupa tanggalnya kapan karena arsip klipping saya hanyut dibawa banjir tahun 1998). Untunglah masih menyimpan file arsipnya di Makassar ...
Posting Terkait
CERPEN : WISUDA
Pengantar: Cerpen ini pernah dimuat di Harian Fajar Makassar, Minggu 2 Oktober 1994. Saya tayangkan kembali disini tidak hanya sebagai arsip digital, namun menjadi bagian dari mengabadikan kenangan, semoga bermanfaat bagi ...
Posting Terkait
CERPEN : SALJU DI KYOTO
YOTO masih seperti dulu, saya bergumam dalam hati ketika menapak tilas perjalanan saya kembali ke kota kebudayaan di negeri Matahari Terbit itu. Gedung kuno dengan ornamen yang sarat imaji kontemporer seperti kuil Higashi Honganji,Sanjusangendo, ...
Posting Terkait
PURNAMA DI MATA ARIMBI
LETNAN Dua Aryo Bimo memandang batu nisan didepannya dengan kepedihan tiada tara. Dibacanya berulang-ulang nama yang tertera disana dengan nada pilu. Arimbi Wulansari, bibirnya bergetar menyebut kekasih tercintanya itu penuh kerinduan ...
Posting Terkait
FROM CERPEN TO SINETRON : SEORANG PELACUR DAN
BULAN LUKA PARAH DILANGIT NAGOYA
CERPEN : GEGER KAMPUS 2025
MENGABADIKAN CERPEN-CERPEN TERPILIH DI “STORIAL”
CERPEN : PENSIUNAN
CERPEN : LUKA SANG BIDADARI
CERPEN : WISUDA
CERPEN : SALJU DI KYOTO
PURNAMA DI MATA ARIMBI

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.