LELAKI YANG SELALU MENCATAT KENANGAN
“Jangan lupa kirimkan Papa buku diary kosong yang baru untuk tahun depan ya, Nak”
Kalimat itu kerap diucapkan oleh ayahanda tercinta saya, Karim Van Gobel, setiap akhir tahun menjelang. Hanya sebuah Buku Diary Baru Kosong. Dan saya, dengan semangat membuncah, akan segera berangkat ke Toko Buku mencari pesanan rutin akhir tahun ayah saya itu. Bagi saya, menganugerahkan sebuah buku diary baru kepada ayah saya—tiap akhir tahun—merupakan sebuah kehormatan tersendiri yang begitu besar dan berharga. Sebuah rutinitas yang senantiasa saya lakoni dengan riang, sejak merantau ke Jakarta tahun 1995.
Ayah saya adalah lelaki yang begitu tekun mencatat kenangan, dalam serpih terkecil sekalipun, di setiap rekam jejak perjalanan hidupnya dalam buku diary. Konon, beliau sudah memulai menulis diary sejak saya lahir (hal yang kemudian menginspirasi saya untuk menulis blog anak pertama saya, Rizky, sejak ia lahir tahun 2002).
Dapat dibayangkan sudah sekitar 37 buku diary yang beliau tulis hingga saat ini (saya lahir tahun 1970). Dan lelaki kelahiran Gorontalo, 12 Desember 1939 ini tetap setia mencatat kenangan yang datang melintas, menggoreskan kesan dan meninggalkan jejak di hati. Buku-buku diary beliau tersimpan rapi di lemari kamar, meski beberapa diantaranya sudah lusuh dan kumal digerus zaman. Saya membayangkan, kelak dikemudian hari jika saya berkeinginan untuk membuat buku otobiografi maka saya tidak perlu repot-repot mencari referensi karena setiap kenangan tentang saya dan keluarga sudah terdokumentasi dengan baik.
Saya sudah hapal model buku diary seperti apa yang beliau inginkan. Pada tahun 1996, saya pernah salah mengirim buku diary. Ketika itu, untuk lebih menyenangkan hati ayah yang juga adalah pensiunan pegawai negeri Departemen Pertanian ini, saya membelikan sebuah Executive Planner and Diary yang mewah, lengkap dengan pembungkus kulit berwarna coklat. Beberapa saat kemudian, ayah saya menelepon dan memarahi saya. Ternyata bukan seperti itu yang beliau inginkan.
“Cari yang sederhana aja nak. Yang penting ada tanggal dibagian atas serta bagian kosong yang cukup lapang untuk menulis di tiap lembar. Pasti kamu tahu seperti apa modelnya. Pokoknya seperti yang Papa punya dulu dirumah. Tidak usah yang mahal-mahal.!”, ucap ayah saya di ujung telepon.
Saya mengangguk mafhum. Dan saat itu juga saya langsung berangkat ke toko buku dan membelikan buku diary yang sama seperti yang senantiasa saya lihat ketika masih di Makassar dulu. Agar memudahkan identifikasi, saya selalu membelikan buku diary yang berbeda-beda warna sampulnya setiap tahun, namun dengan model yang sama.
Sebenarnya, ayah saya tidak pernah melarang saya untuk “mengintip” apa isi buku diary-nya. Tapi saya menyadari bahwa bagaimanapun juga, membaca catatan harian seseorang—terlebih lagi milik ayah sendiri—adalah melanggar hak pribadi penulisnya. Saya sangat menghormati itu. Selama bertahun-tahun.
Sampai akhirnya, ketika ayah dan bunda saya datang mengunjungi kami sekeluarga dalam rangka akikah anak saya Rizky di tahun 2002, saya mendapatkan untuk kesempatan pertama kalinya membaca diary ayah. Waktu itu, di penghujung malam, sembari menonton TV, saya menemani ayah menuliskan diary-nya. Saya memperlihatkan mimik yang sangat antusias untuk “mengintip” apa yang sedang dituliskan ayah saya dilembaran bukunya.
“Kenapa ? Mau baca ?” tanya ayah saya dengan pandangan menyelidik dari balik kacamata minusnya.
Saya terperangah kaget dan buru-buru menggeleng.
“Tidak apa-apa. Ini, baca aja, nak,” lanjut beliau sembari mengangsurkan buku diarynya pada saya yang sangat terkejut sekaligus senang bukan main mendapat kehormatan membaca buku diary ayah saya.
Ternyata isinya tidak seperti yang saya bayangkan sebelumnya. Dalam fikiran saya, ayah menulis diary dengan uraian-uraian yang panjang, deskriptif , emosional, kadang-kadang narsis plus opini-opini singkat tentang sebuah hal, seperti layaknya gaya penulisan gadis-gadis ABG di buku hariannya. Tapi ternyata sangat berbeda.
Isi catatan harian beliau berupa tulisan-tulisan singkat yang merangkum isi kegiatan hari ini. Hanya berupa lima sampai sepuluh kalimat. Setiap peristiwa dalam hari yang sama dirangkum dalam tulisan singkat secara berurutan. Sesuai waktu kejadiannya. Saya membuka-buka lembaran sebelumnya. Dan isinya tetap sama model penulisannya.
“Papa tidak pintar menulis seperti kamu, nak. Jadi kalau kamu mengharapkan tulisan yang panjang-panjang di diary Papa, maka pasti tidak akan kamu dapatkan. Papa hanya mencatat peristiwa demi peristiwa yang terjadi setiap hari. Secara singkat tapi padat makna,” kata ayah saya menjelaskan seperti telah mengetahui apa yang tengah saya fikirkan ketika itu.
Saya mengerti.
Betapapun bersahajanya ayah mencatat kejadian di buku hariannya, saya melihatnya sebagai upaya beliau mengabadikan kenangan yang telah terjadi. Secara konsisten selama bertahun-tahun. Dan kalimat-kalimat singkat yang beliau tulis di buku diary-nya mendadak menjelma menjadi sebuah interpretasi nyata di benak saya. Seperti sebuah video yang di-“rewind” ulang dan menyajikan kembali peristiwa-peristiwa yang sudah terjadi.
“Beginilah salah satu cara Papa menghargai nikmat hidup yang sudah dikaruniakan Allah SWT kepada kita, Nak. Mencatatnya, sesederhana apapun. Dan menyimpannya sebagai bagian dari kenangan hidup yang tak terpisahkan juga sebagai wujud dari rasa syukur kita kepada sang pencipta karena masih diberikan nafas untuk melanjutkan hidup,” tambah ayah saya lagi. Tegar dan penuh keyakinan.
Mata saya berkaca-kaca.
Saya bangga memiliki ayah seperti beliau, lelaki yang selalu mencatat kenangan.
Pingback: Public Blog Kompasiana» Blog Archive » Memaknai Kenangan, Menghargai Kehidupan
Pingback: Memaknai Kenangan, Menghargai Kehidupan « Perjalanan Menuju Bening Jiwa
hiduf bukan la seperti bercocok tanam jika gagal maka kita dapat mempelajari kegagalan tersebut dan mencoba untuk menanam lagi,tapi bila hiduf telah gagal dan bertemu sang pencipta maka tidak ada untuk memperbaiki nya lagi………??????/
kakek saya asal gorontalo juga namanya van gobel.
Pingback: MEMAKNAI KENANGAN, MENGHARGAI KEHIDUPAN | SUTRIS FERNANDEZ