Pertemuan saya dengan seorang kawan lama, Farid Ma’ruf Ibrahim, yang baru bersua kembali setelah 13 tahun kami berpisah, kemarin malam (16/1) sungguh sangat mengesankan. Dimalam yang cerah dengan bintang gemerlap bertaburan dilangit, kami bertemu di Cafe Cup & Cino Plaza Semanggi. Farid menyongsong kedatangan saya dengan tawa lebarnya yang sangat saya kenali. Tak banyak yang berubah padanya selain beberapa helai uban menghias kepala dan perut yang agak buncit (sama seperti saya)
Kami lalu berpelukan erat, menuntaskan rindu 2 sahabat yang lama tak berjumpa.
“Ya Ampun! Makin gendut aja kau ini!”, canda Farid seraya mengelus-ngelus perut saya.
“Ah..kamu juga. Perutmu juga makin maju” saya menyahut dan balas mengelus-ngelus perutnya.
Dan kamipun tertawa berderai.
Tak lama kemudian bersama 3 orang kawan yang lain termasuk Kak Hasymi Ibrahim, kakak Farid yang pernah bersama saya dan Budi Putra menjadi narasumber pada acara talk show Blogger Makassar “Voice of Freedom” bulan November silam. Kami lalu terlibat dalam percakapan seru. Mulai dari soal sakitnya Pak Harto hingga semakin memanasnya suhu politik di Sulsel pasca Pilkada terlebih ketika MA mengeluarkan keputusan kontraversialnya soal hasil Pilkada Sulsel.
Saya dan Farid terlibat pembicaraan lebih personal mulai dari soal keluarga, anak-anak kami dan nostalgia saat kami bersama-sama mengelola Penerbitan Kampus ‘Identitas” UNHAS, 15 tahun silam. Sebelum saya menjabat sebagai Redaktur Pelaksana ‘identitas” tahun 1992-1993, Farid yang menyelesaikan S-1 program Jurnalistik Fak.Sospol UNHAS dan S-2 bidang Jurnalisme Global di Universitas Osbro Swedia ini, terlebih dulu memangku jabatan tersebut. Saya termasuk salah satu pengagum tulisan-tulisan esei Farid yang tajam dan menggugah hati. Saat masih mahasiswa tahun 1993, Farid sudah menerbitkan buku kumpulan eseinya berjudul “Mestizo” (Kata Pengantar buku ini diberikan oleh Goenawan Moehammad).
Sebagai aktifis pers kampus, berbagai pengalaman termasuk suka dan duka kami lalui bersama. Sayapun turut menjadi saksi ketika Farid masih berpacaran dengan rekan sesama redaksi “Identitas”, Lily Yulianti dan kini mendampinginya sebagai istri serta seorang anak, Fawwaz Naufal (10 tahun) sebagai buah hati mereka. Farid saat ini bermukim di Tokyo-Jepang bersama istri tercinta (yang kini bekerja di Radio NHK Siaran Bahasa Indonesia) serta Fawwaz yang sekarang duduk di kelas 3 Sekolah Republik Indonesia Tokyo.
Lily dan Farid juga mengelola Lembaga “The Private Editors” yang secara intens menggarap bidang media dan komunikasi khususnya komunitas media di negara berkembang. Pada tanggal 1 Juli 2006, Lily dan Farid, bersama sejumlah kawan, menggagas dan mendirikan situs Jurnalisme Orang Biasa Panyingkul dot com, sebuah media Citizen Journalism berbasis Makassar yang cukup diperhitungkan di jagad maya Indonesia sebagai salah satu media alternatif yang menyuarakan suara orang biasa.
Menjelang pukul 22.00 malam, saya pamit. Maklumlah, sebagai pekerja komuter yang berdomisili jauh dari Jakarta, saya mesti buru-buru pulang dan mengejar bis terakhir ke Cikarang. Hari Sabtu pagi (19/1), Farid akan kembali ke Tokyo. Menjelang berpisah kami berjabat tangan dengan erat dan berharap akan bisa bertemu kembali secara fisik dan paling tidak. secara virtual.
Ah, tiba-tiba saya teringat sajak indah Farid (ditulis di Stockholm, Agustus 2005) berjudul “Narita-Arlanda” yang dimuat pada buku “Bertiga Sajak Sekeluarga” (kumpulan sajak Farid,Lily dan Fawwaz) :
kudengar debur ombak mengetuki jendela
seperti suara daun kelapa
menderu dari cockpit itu
(dipulau yang jauh seorang bocah membayangkan batas horison yang tak dikenalnya)
“Would you like some more drinks, Sir?”
Senyap di kabin ini menyergap
kenangan dan tujuh jam
perbedaan waktu
(ia hendak menaklukkan beberapa lagi kepiting liar di pantai itu)
kota tua dan musim gugur yang muda
seperti kantuk nelayan dan hujan pagi
(dibayangkannya samudera yang mengirimkan badai ke pantai benua-benua)









Yayayaya…tawwa senangnya. Itu adalah pertemuan yg impressif, saya bisa lihat dari senyumta berdua gang.
Terimakasih Daeng Nuntung. Sayang kita belum sempat ketemu waktu anda beranjangsana ke Jakarta tempo hari
turut senang dengan pertemuan yg bahagia ini…
semoga keduanya dipertemukan lagi di kampung p! bulan juli nanti, diatas perahu layar sandeq
Mudah-mudahan. Semoga. Saya juga berharap demikian, daeng!
waktu ketemu k’Farid, tanggal 10 Januari kemarin saya sempat salah persepsi..
tadinya sy kira orangnya pendiam dan serius, mengingat beliau jarang muncul di milis..
tapi pas ketemu dan ngobrol beberapa menit baru terasa kalau ternyata beliau orangnya super ramah dan supel..jadi, perbincangan kami malam itu serasa peretmuan orang yang sudah kenal lama..
Kesan awal serupa saya temui saat pertama berkenalan dengan Farid, Ipul. Dan memang, ia memang sosok yang ramah dan hangat. Moga2 bisa ketemu lagi nanti di Makassar
senang ya mas ketemu teman lama 🙂
Lho..iya doong. Thanks udah mampir Yaya!