Dalam dua kesempatan liburan panjang bulan Desember lalu, saya dan istri bergotong royong merapikan arsip-arsip lama kami digudang yang terletak dikamar belakang. Dan luar biasa, kami–secara tak sengaja–menemukan arsip-arsip surat cinta saya dulu kepada istri saya yang ketika itu bertugas di Banjarnegara Jawa Tengah. Sebuah “harta karun” yang sungguh tak ternilai harganya.
Ya, selama periode tahun 1997-1998, istri saya–yang ketika itu menjadi pacar saya–ditugaskan kantornya, sebuah perusahaan perkayuan, sebagai staff akunting di cabang Banjarnegara. Saya yang bekerja dan berdomisili di Jakarta, praktis melakoni hubungan LDR (Long Distance Relationship) bersama sang kekasih. Internet–apalagi email–belum semarak dan berkembang pesat seperti saat ini. Sarana komunikasi kami berdua hanyalah lewat surat dan telepon.
Kami berdua berusaha saling memelihara kepercayaan satu sama lain. Dalam kurun waktu setahun, hanya sebulan sekali kekasih saya itu datang ke Jakarta dan saya hanya satu kali saja sempat datang menengoknya di Banjarnegara. Komunikasi secara intens kami lakukan lewat surat.
Karena memang memiliki hobi menulis, maka surat saya kepada sang kekasih bisa sampai 6-10 lembar. Berbagai cerita saya tuangkan disitu. Tentu dengan bumbu gombal disana-sini. Berbeda dengan kekasih saya (yang kini jadi mamanya Rizky dan Alya itu), yang menulis surat paling panjang 2 lembar saja. Surat Cinta itu sampai lecek saya bolak-balik baca dikamar kos. Saya akhirnya protes padanya.
“Jangan ukur kedalaman cinta dari panjang pendeknya surat, sayang”, demikian tulis kekasih tercinta saya itu. Mesra. Melelehkan hati.
Dan saya pun maklum, salah satu ekspresi cintanya itu adalah menyimpan secara rapi dan terpelihara arsip-arsip surat cinta saya dulu (sayang arsip-arsip surat cinta darinya yang saya simpan hanyut terbawa banjir ditahun 1998 ditempat kos saya dulu)
Saat merapikan arsip-arsip lama itu, kami berdua spontan tertawa terpingkal-pingkal saat menemukan arsip puisi gombal yang saya tulis tahun 1997.
Ini dia puisinya:
Versi tulisannya:
AKU TAK ‘KAN BERHENTI MENCINTAIMU
(Untuk Dinda Sri Lestari)
Apa yang mesti kukatakan padamu saat Rindu menikam langit?
Ketika deru metropolitan tak lagi menyisakan arti
Dan temaram lampu jalan hanya menyinari kehampaan
Adalah kau, dindaku
yang melebur satu dalam sukmaku
mengalirkan kemuliaan cinta
pada sungai kasih yang engkau bentangkan
Di hatiku, yang mendambamu, dari detik ke detik
Jika saja gerimis malam ini tak segera usai
Aku akan tetap mengurainya satu demi satu
menjadi noktah-noktah kecil berwarna cemerlang
Lalu melukisnya dikanvas langit
menjadi gambaran wajahmu
Dengan ukiran bulan sebagai senyummu
Apa yang mesti kunyatakan padamu saat sunyi menyesak dada?
ketika kutangkap dan kudekap bayangmu di relung kamar
pada senja merah yang menggetarkan
Adalah kau dindaku,
Bunga mimpiku dari malam ke malam
yang memberi seribu makna dari kelembutan matamu
Sungguh, aku hanya punya cinta sederhana untukmu
yang telah kurajut dengan benang-benang kesetiaan
Dan kujalin indah hingga kau kujelang
Pada waktunya kelak
Kita songsong cakrawala membuka tirai pagi
Dengan terik sinarnya yang menyejukkan hati
Lalu biarkan aku membawamu terbang
Menyusuri pelangi dan melintasi mega
Sambil kubisikkan lirih ditelingamu:
“Aku tak akan berhenti mencintaimu”
Jakarta,20 April 1997
Duile…gombalnya..hehehe








” keromantisan yg harmonis menjunjung tinggi atas nama kejujuran dan kpercayaan ,,”
uhuuk…uhuk….so sweet banget mas, duh ibu psti berbunga2 wktu menerima puisi itu.
hemmm,…ibunya sendiri apa suka menulis jg mas?