ROMANTIKA “TELER” SANG PEKERJA KOMUTER
DULU, saya merasa, ayah adalah pegawai yang paling berbahagia didunia ini. Betapa tidak?. Karena rumah kami hanya berjarak 50 meter dari kantor, maka ayah berangkat tidak lebih pagi, masih sempat pulang makan siang dan tiba kembali dirumah lebih cepat. Hebat!. Saya bermimpi akan menjadi pegawai berbahagia seperti beliau. Tapi sayang, sudah hampir 5 tahun terakhir, saya melakoni profesi sebagai Pekerja Komuter. Tinggal di Cikarang yang berjarak 45 km dari kantor saya di daerah Lebak Bulus. Tiap hari kerja saya mesti berangkat jam 05.30 pagi dan sampai dirumah menjelang pukul 20.00 malam. Ironis.
Mejeng dengan narsis di kantor lama, Gedung Aldevco Octagon Building Lt.2 Jl.Buncit Raya (gambar diambil tahun 2004)
Tapi saya memang mesti siap menghadapi resiko itu. Membeli rumah di Jakarta yang tak jauh dari kantor, untuk kelas pekerja kere berpenghasilan pas-pasan seperti saya ini hanyalah menjadi angan-angan belaka. Dan rumah di BSD alias Bekasi Sono Dikit, menjadi pilihan karena harganya relatif terjangkau dan kalaupun mesti kredit ke Bank (seperti yang kini saya lakukan) tidak terlalu mencekik anggaran rumah tangga serta biaya hidup sehari-hari.
Sebelum memiliki rumah sendiri, saya dan istri memang sempat mengontrak rumah dekat dari kantor. Kami mengontrak rumah kecil berkamar dua di Kompleks POMAD Kalibata sementara kantor saya ada di Gedung Aldevco Octagon Jl.Warung Buncit. Memang sungguh nikmat, saya bisa berangkat ke kantor lebih siang, masih sempat nonton acara infotainment KISS, menghabiskan sarapan pagi dengan santai serta pulang kerumah makan siang saat istirahat (serta jika sempat, memberikan “nafkah batin” buat istri tersayang dan kembali kekantor lebih segar karena sudah keramas, hehehe..you know what I mean guys!) sampai akhirnya kembali ke rumah saat matahari belum benar-benar tenggelam. Sungguh mengasyikkan!. Sayang itu tak lama.
Setelah anak pertama lahir, saya kemudian menyadari bahwa, sudah saatnya memiliki rumah sendiri dan tidak menjadi “kontraktor” (alias ngontrak rumah) terus-terusan. Tapi begitulah–seperti sudah saya katakan sebelumnya–saya mesti menyadari fakta bahwa, sebagai karyawan kecil bergaji tidak besar, jangkauan kemampuan kami untuk memperoleh rumah yang relatif layak, murah, ringan cicilannya bila dikredit melalui KPR Bank adalah jauh dari kantor dan tentu saja jauh dari Jakarta. Ya, kami mesti realistis menyadari kenyataan pahit itu sekaligus mensyukuri bahwa, meski penghasilan pas-pasan, masih bisa membeli rumah mungil daripada harus mengontrak rumah.
Maka menjelmalah saya menjadi pekerja komuter Cikarang-Jakarta-Cikarang setelah kami resmi membeli rumah di Perumahan Cikarang Baru Kota Jababeka. Sudah hampir lima tahun saya melakoni profesi ini. Pada awalnya cukup berat, apalagi saya mesti menggunakan kendaraan angkutan umum dari dan ke kantor. Saya mesti bangun lebih pagi paling lambat sekitar Pkl.04.30 untuk mengejar bis ke Jakarta jam 05.30 dan tentu saja sampai dirumah ketika matahari sudah tenggelam. Air mata saya sempat menetes saat mencium anak saya yang masih tertidur lelap saat saya berangkat kerja atau sudah tertidur saat saya pulang. Untunglah dua tahun belakangan ini, anak-anak saya telah terbiasa dan menyadari status sang ayah sebagai pekerja komuter. Rizky dan Alya biasanya sudah bangun tidur pkl.05.30 pagi dan mengantar saya berangkat kerja.
Saking lelahnya saya melakoni hidup sebagai pekerja komuter, saya pernah ketiduran di atas bis dan “bablas” terbawa hingga pool bis Mayasari Bakti diperbatasan Cibitung, sekitar 10 km dari rumah saya. Kenek bis tertawa terkekeh membangunkan saya dari lelap tidur seraya menatap prihatin pekerja komuter yang malang ini. Saya hanya tersenyum getir serta bersikap “nrimo” dan pasrah menerima “kesengsaraan” mesti mencari kendaraan umum lainnya balik kerumah.
Pada sebuah kesempatan lain, diatas bis, saya pernah digoda secara tidak senonoh oleh seorang pria transeksual. Semula saya tidak menaruh curiga sedikitpun lelaki kemayu yang duduk disamping saya, dekat jendela bis. Secara atraktif pria yang berdandan seronok dan berusia sekitar 3 tahun lebih muda dari saya itu melirik-lirik genit. Kayaknya sih seperti terpukau melihat tampang kyut (atau “cute”) saya, yang konon kata istri tercinta, mirip-mirip George Clooney lagi ngeden di WC (hehehe..).
Saya cuek dan memilih lebih tekun membaca buku. Pria itu terlihat mulai gelisah dan seperti cari perhatian. Duduknya tidak tenang. Saya masih sabar dan berusaha tidak peduli kelakuan “petakilan” pria genit itu. Sampai beberapa waktu kemudian, tangan lelaki itu mampir secara menjijikkan di atas paha saya. Spontan saya terloncat kaget. Geli sekaligus jengkel. Lelaki itu tertawa cekikikan dan berucap ganjen,”Maaf Mas, sengaja”. Kemarahan saya spontan naik ke ubun-ubun. Tangan dia yang mampir secara biadab di paha segera saya cengkram sekencang-kencangnya sampai ia berteriak kesakitan. “Saya bisa melakukan hal yang lebih sadis dan kasar dari ini!. Jadi jangan coba-coba, ya? Saya laki-laki normal, punya istri dan anak dua,” bisik saya geram dan mengancam ke telinganya seraya pasang muka segalak mungkin. Tawa lelaki itu mendadak lenyap dan berganti dengan ketakutan yang amat sangat. Ia mengangguk pelan dan berucap lirih, “Maaf Mas”. Saya manggut-manggut dan melepaskan cengkraman tangan saya dari tangan dia. Kembali ke aktifitas semula: membaca buku dalam kondisi waspada sepenuhnya dari “serangan-serangan” najis yang tidak diinginkan dari pria tersebut.
Pelan tapi pasti saya mulai menikmati ritual rutin yang saya lakoni sebagai pekerja komuter. Apalagi sudah banyak pilihan angkutan bis dari Cikarang ke Jakarta. Tidak hanya itu, saya berkenalan dengan banyak teman senasib sepenanggungan, sehidup se-Cikarang. Sama-sama pekerja komuter. Kami sempat membentuk komunitas tersendiri dan menjalin hubungan kekeluargaan yang akrab. Perjalanan Cikarang-Jakarta dipagi hari yang lama karena mesti mengalami macet di tol dalam kota kerap membuat bosan dan bikin gregetan. Salah satu cara menyiasatinya, selain membaca buku atau tidur di dalam bis, saya dan kawan-kawan senasib sependeritaan acapkali saling bercanda sepanjang perjalanan.
Suatu ketika, saya dan seorang kawan memergoki kawan kami yang lain duduk disamping seorang cewek cantik didalam bis (sesuatu yang kemudian menginspirasi saya menulis cerpen “Jatuh Cinta di Km.23” yang dimuat di buku kumpulan cerpen Blogfam). Kawan saya itu tidak menyadari kehadiran kami di bis yang sama. Spontan kumatlah keisengan kami. Saya lalu mengirim sms ke handphone kawan saya yang “beruntung” tersebut.
“Ayo dong kenalan sama cewek disampingnya!”, tulis saya melalui SMS.
Kawan saya yang “beruntung” itu spontan celingak-celinguk mencari saya. Ia tertawa renyah saat menemukan saya dan kawan saya yang satu lagi berada di bangku belakangnya.
“Sebentar, saya “beraksi” dulu ya?”, balasnya via SMS.
“Tolong diupdate terus lho. Awas kalau macam-macam, kita laporkan ke Nyonya anda dirumah”, tulis saya me-reply SMS-nya.
Saat turun dari bis (biasanya kami turun di tempat yang sama, halte Komdak atas, Jl.Gatot Subroto) kami lalu meng-“interogasi” kawan yang “beruntung” tadi. Dan ternyata, seperti sudah kami duga, ia sama sekali tidak memperoleh data memadai tentang gadis cantik disampingnya. “Galak banget ih!. Masa’ saya nanya gak dijawab sama sekali. Malah pasang muka galak dan ngomong “mene eke tehe?”. Kan’ malah bikin kesel toh?”, lapor kawan saya dengan raut wajah kecewa. Dan kamipun tertawa terpingkal-pingkal.
Pada sebuah kesempatan lain, disela-sela kantuk yang menyerang saat pulang dari kantor, seorang pengamen jalan beraksi diatas bis. Suaranya sumbang dan sama sekali “tidak nyambung” dengan petikan gitarnya. Kami, para penumpang bis malah jadi kesal dibuatnya. Tiba-tiba terdengar suara handphone berdering kencang. Dari saku sang pengamen. Para penumpang kaget, terlebih saat si pengamen terdengar mengomel kencang pada peneleponnya,”Woii..tau gak lu gue lagi ngamen di bis!. Entar lagi lu hubungin gue, malu-maluin aja lu!”. Tawa berderai terdengar dari para penumpang bis. Sang pengamen menyadari ia berada dalam situasi sulit. “Maaf saudara-saudara, meski saya punya HP, percayalah saya kere. Masih kere. Saya tidak bohong. Makanya saya mengamen, buat beli makanan dan bukan buat beli pulsa,” kata si Pengamen berapologi dan mencoba menguasai keadaan.
Kisah lain yang cukup berkesan adalah ketika anak saya Rizky sakit dan mesti dirawat di rumah sakit. Dari kantor, dengan panik saya memberhentikan taksi dan memintanya membawa saya secepatnya ke Cikarang. Sang supir terhenyak kaget ketika saya memintanya untuk ngebut sekencang-kencangnya agar segera tiba di rumah sakit dimana Rizky dirawat. Melihat roman muka saya yang serius plus tawaran tip spesial ngebut yang menggiurkan, supir taksi itu meluluskan permintaan “gila” saya. Tak ayal, taksi yang saya tumpangi itu dikebut dengan kecepatan tinggi melalui jalan tol. Sejumlah mobil disalip dan syukurlah kami selamat sampai dirumah sakit. Saat memberikan uang pembayaran taksi plus tip”ngebut”, sang supir tertawa melihat wajah saya yang pucat dan tangan gemetaran. Sungguh, saat itu saya betul-betul ketakutan jika sampai terjadi kecelakaan gara-gara taksi yang saya tumpangi “terbang” dengan kecepatan tinggi.
Beginilah sebagian kecil kisah romantika “teler” saya sebagai pekerja komuter. Teler bukan karena mabuk minuman keras tetapi “teler” karena menempuh perjalanan jauh dari rumah demi mencari nafkah untuk keluarga. Sebuah bentuk perjuangan yang saya maknai sebagai ibadah dan rasa tanggung jawab saya mengemban amanah.Terus terang, sempat terfikir oleh saya untuk mencari pekerjaan yang dekat dengan rumah. Apalagi tak jauh dari rumah saya banyak pabrik yang menempati area di Kawasan Industri Jababeka. Sayang, sejumlah lamaran yang saya kirimkan tidak mendapat respon dan kalaupun ada penawaran yang diberikan kurang cukup memadai dibandingkan dengan apa yang saya peroleh sekarang.
Saat ini saya tetap mensyukuri apa yang telah saya capai dan peroleh. Bagaimanapun saya senantiasa memetik hikmah berharga dari setiap perjalanan saya sebagai pekerja komuter. Meski berangkat pagi pulang malam, saya masih dapat melewatkan saat-saat bernilai dan berharga bersama istri dan anak-anak tercinta, setidaknya di akhir pekan.
Catatan:
Tulisan ini saya dedikasikan dengan cinta untuk kawan blogger Daeng saya, yang jauh dari keluarga di Banda Aceh, Daeng Nuntung. Percayalah kawan, selalu ada hikmah (dan kejutan, seperti kata Ndoro Kakung) disetiap tikungan kehidupan. Tetap Semangat!
hahhaa…lucu na cerita ta daeng..
[keknya dah perlu beli boil nih., masih ada space utk cicil boil sekelas Yaris kan?…]
tapi jangki suruh ki de-nun cari parkir baru di aceh ya…:)
Belum mampu kesiang, barangkali beli Karimun dulu dan nanti dielus-elus pake ilmu Mak Erot biar jadi Fortuner
tetep semangat om clooney =)
Tetap Semangat juga, Goz. Eh, dicariin Macan tuh. Katanya mau digigit dengan mesra..hehehe
photonya HOT!!! hehehe….
bagi-bagi resep gemuknya dong bos!!! 😀
Gampang tuh Dzofar, sering-sering aja stress. Biasanya, saya makin rakus makan kalau sedang stress..hehehe
Walah, suwe ora dolan2 ke blog Pak Amril, begitu ke sini (lewat Rumah Blogfam) disuguhi tulisan yang puanjang, renyah sekaligus menyentuh.
Memang berat ya Pak, tapi harus tetep semangat. Saya sendiri skrg msh ngontrak di jantung Jakarta, nggak tau ke depannya bagaimana. Yang jelas masih suka berkhayal punya rumah sendiri (BUKAN apartemen) tak jauh dari kantor, hihihi, cita-cita kan boleh…
OOT dikit, memang Pak Amril super-duper-sexy sih, jadi memang berat bagi kaum Hawa dan kaum Luth untuk menahan godaan… *ngibrit*
Piye kabare, Ndan? Makanya kita punya impian yg sama, punya rumah dekat kantor. Tapi apa daya, kita harus pasrah menerima kenyataan itu. Tapi tidak menyerah.
Saya sexy? Ta’ cubit ya kamu, Ndan! Sebbel..aku..sebbbell deh! 😀
hehehe..sy suka yg bagian digerayangi oleh cewek di bus itu…mau juga dong..!!, hahahaha…Naudzubillah..!!
yah, jadi pekerja komuter ternyata memang membuat kita malah kayak pengalaman ya..?, banyak asyinya juga ternyata…
Bukan cuma ente yang mau, Pul. Aye juga mau ..hehehe. Itu kalo cewek yg ngerayangi, tapi kalo bencong? Amit-amit lah yaww..hehehe
Salam kanda,
akhirnya kanda berkunjung juga ke blogku..tadinya mau koment di tentang saya tapi tak ada fasilitas komentnya ..
Saya sendiri telah masuk ke Angingmammiri.org tapi masih dengan status blog lama saya..tadinya saya mau ganti profil saya, tapi lupa passwordnya sama usernya..heheh
saya anggota ke8 di teknikmesinunhas.ning.com juga…terus di panyingku.ning.com juga..dengan pict barcode itu kanda..
oh ya..suatu saat mesti kita ketemu..saya punya banyak hal yang ingin didiskusikan…
oke kanda, salam
kurniawan
Hai adikku Kurniawan, thanks sudah mampir disini. Iya, kapan2 kalau ke Makassar kita bisa ketemu dan berdiskusi sambil makan pisang epe’ dan menikmati semilir angin laut di Pantai Losari
Hmm, yah begitulah kalo jadi pekerja komuter. Kyknya banyak juga pekerja di jakarta yg seperti kita2 ini. Setelah lelah menjadi pekerja komuter, akhirnya saya menjadi pekerja konetep (hehehe netep di kantor maksudnya).
Sudah 6 bulan saya tinggal di kantor, lumayan ngurangin biaya kost en ongkos. Cuma susahnya yah ga bisa bangun siang. Ga enak ma temen2 yg dateng pagi.
Sampai suatu saat saya di usir ke luar kota (mungkin bos bosen ngeliat iler saya) Yah terpaksa jadi komuter lagi deh.
Semoga Daeng ga ikut2an jadi konetep yah. Kasian ma anak istri di rumah.
Bung Yustinus, unik sekali ya pengalaman anda ini. Tapi ada kawan saya juga melakoni hal serupa : nginap dikantor untuk menghemat ongkos transport. Bedanya, setelah beberapa waktu, istrinya yang komplain karena gara2 sang suami bobo’ dikantor maka dia jadi jablai. Makanya, jadilah dia pekerja komuter seperti saya juga..hehehe
sungguh pengalaman yang seru jadi pekerja komuter. saya ketawa dan terhibur baca tulisan lawas daeng ini, banyak pelajaran hidup yang bisa dipetik, salah satunya, kerja dekat rumah bisa sempat dan cepat dalam memberikan nafkah batin… hahahaha