MODA Transportasi dari Cikarang–sebagai salah satu kota satelit di bagian timur ibukota negeri ini–ke Jakarta sudah semakin beragam. Tidak hanya bus-bus berkapasitas besar (misalnya Bis Mayasari Bhakti dari kota Jababeka Perumahan Cikarang Baru yang melayani trayek ke Blok M dan Kota serta Shuttle Bus dari Perumahan Lippo Cikarang ke Blok M), namun juga bis-bis sedang yang melayani rute jarak dekat seperti dari Cikarang ke Bekasi Timur (K-50), Bekasi Barat (K-45) dan Cawang-UKI (K-59).
Sejak kantor saya pindah ke daerah Lebak Bulus 5 bulan silam, saya lebih banyak menggunakan jasa transportasi bis berkapasitas sedang ke Bekasi Timur (K-50) dan dari sana saya melanjutkan dengan menggunakan bis besar jurusan Bekasi Timur-Lebak Bulus (Mayasari Bhakti No.132 atau Tunggal Daya) yang melewati tol Cikunir atau JORR (Jakarta Outer Ring Road). Lebih cepat ketimbang melewati Cawang atau Blok M yang macet cukup parah. Saya bisa berangkat lebih siang dari rumah karena waktu tempuh menjadi lebih pendek dan lebih cepat.
Bis K-50 mangkal di dua tempat. Yang pertama adalah di pertigaan tol Cikarang Barat dan yang kedua di pintu masuk kawasan Industri EJIP-Cikarang. Biasanya bis K-50 mangkal bareng dengan bis K-45 jurusan Cikarang-Bekasi Barat. Tarifnya sama : Rp 4,000/orang untuk sekali jalan. Saya juga menggunakan jasa bis K-50 ini untuk pulang kerja dari Bekasi Timur ke Cikarang. Tarif tetap sama dan biasanya saya naik di pangkalan khusus K-50 dekat mulut tol Bekasi Timur.
Ada hal unik yang biasa terjadi jika saya naik bis K-50 ini. Jadi kondektur!. Jangan heran, karena bis–yang dimodifikasi dari Isuzu Elf–ini tidak memiliki kondektur sendiri yang khusus menarik ongkos dari para penumpang. Secara tidak manusiawi, penumpang dijejalkan ke dalam badan bus, sepenuh-penuhnya. Semampet-mampetnya. Anda bisa bayangkan, khusus dibagian belakang bis, bagian kiri diisi oleh 7 penumpang, bagian kanan diisi 9 penumpang dan tengah-tengah diisi 7 penumpang. Belum lagi di bagian depan. Disamping supir duduk 3 penumpang. Coba hitung ada berapa semuanya?. 26 Penumpang!.
Tak ayal, tubuh montok sexy saya ini terpaksa “dilangsing-langsing”-kan dalam rangka mengakomodir tempat duduk penumpang lainnya. Saya pernah “dijepit” secara biadab oleh dua orang ibu-ibu gemuk yang duduk di sebelah kiri dan kanan, mengapit badan saya yang tentu saja juga sudah gemuk ini. Saya jadi susah bernafas, dan bila sudah begini saya mesti mengalah dengan memajukan pantat sedikit kedepan dengan resiko tak bisa bersandar dengan nyaman. Pernah pula ada pria setengah baya yang mengangkut TV 14 inch dan berkeras tetap hanya bayar satu orang (mungkin ongkosnya kurang kali’) dan tak ayal saya pun ikut pangku-pangkuan TV karena berada persis disebelahnya. Dan pria itu cuma cengar-cengir tanpa perasaan bersalah sedikitpun.
Yang bikin kesal adalah biasanya bis ini tidak langsung berangkat, namun ngetem dulu menunggu hingga penumpang penuh. Saya yang gampang berkeringat, lebih memilih menunggu diluar dulu hingga penumpang “agak” penuh. Atau bila kursi depan masih lowong, saya naik dikursi depan dan menyatakan bayar untuk dua orang (untuk kursi yang berkapasitas 3 orang, tidak termasuk supir), agar masih ada ruang yang cukup bagi saya untuk duduk secara nyaman dan “manusiawi”.
Jika kursi depan sudah penuh, apa boleh buat, saya mesti duduk di kursi belakang yang “penuh-sepenuhnya” itu. Bila bis ini mulai jalan dari pangkalan, maka bersiap-siaplah. Salah satu dari penumpang akan di-daulat menjadi kondektur oleh para penumpang untuk mengumpulkan ongkos para penumpang yang lain. Biasanya yang ketiban “apes” jadi kondektur adalah penumpang yang berada di bagian tengah, yang memiliki posisi cukup “strategis” dan terjangkau mudah bagi semua penumpang. Namun ada juga penumpang yang ogah menjadi kondektur dadakan. “Strategi”-nya adalah pura-pura tidur, pura-pura menelepon, pura-pura membaca atau pura-pura mengirim SMS. Indikasi “pura-pura”-nya itu bisa terbaca karena ketika ada seseorang yang secara aklamasi menjadi kondektur maka orang yang bersangkutan akan beralih melakukan kegiatan yang lain.
Beberapa kali saya melakoni profesi sebagai kondektur dadakan ini. Tak apalah. Pokoknya semua penumpang senang dan bisa dengan tenang turun dari bis tanpa perlu repot-repot lagi membayar ongkos ke supir. Yang merepotkan adalah biasanya ada penumpang yang membayar dengan uang “besar” (misalnya Rp 50,000 atau Rp 100,000). Jika sudah begitu, sang kondektur akan meminta uang kembalian ke supir (yang biasanya sudah menyiapkannya) atau bila belum ada, sang supir akan bayar tol dengan uang tadi untuk memperoleh uang kembalian.
Banyak suka duka yang kerap saya alami. Sukanya adalah, saya bisa banyak kenal dengan teman-teman pekerja komuter asal Cikarang yang senasib dengan saya. Obrolan akrab pun terjadi selama perjalanan. Pak Fauzi, kawan sehidup-sekomuter saya yang tinggal di Cikarang dan bekerja di Cilandak Commercial Estate mengaku lebih senang naik bis, padahal ia sendiri memiliki mobil Kijang Innova dirumahnya. “Lebih irit dan kita tidak perlu capek mengemudi Cikarang-Cilandak yang lumayan jauh,” katanya.
Wajah-wajah familiar senantiasa saya temui setiap menumpang bis ini dan kami bisa langsung saling menyapa dengan akrab. Yang lain adalah ketika ada gadis cantik dan manis dengan aroma parfum wangi ikut menjadi penumpang di bis. Tak ayal lelaki-lelaki (mungkin termasuk saya..hehehe) didalam bis secara atraktif dan demonstratif, menawarkan tempat duduk disampingnya seraya memasang senyum paling manis. “Duduk disini aja, Mbak. Kosong kok,” begitu tawarannya. Wangi parfum yang dipakai gadis tadi spontan menyebar ke seantero bus, melontarkan imajinasi dan melupakan derita duduk berhimpit.
Sisi dukanya juga ada. Saat ada salah satu penumpang yang kentut maka spontan seluruh penumpang “terkontaminasi” dengan sukses. Saat bis berjalan, maka semua jendela dan pintu ditutup untuk menghindari hempasan angin yang cukup deras karena laju kendaraan yang berjalan kencang di jalan tol. Bisa dibayangkan bila ada yang buang angin, maka disela-sela himpitan penumpang yang berjejal bagai ikan sarden dikaleng, dengan kondisi tertutup maka tak ayal baunya akan menyebar secara cepat, efektif dan “tepat sasaran”.
Seperti yang terjadi minggu lalu. Saya sedang asyik-asyiknya tertidur dibangku belakang–karena ketika itu Pak Fauzi yang kebagian tugas jadi kondektur dadakan–tiba-tiba dikejutkan oleh bau kentut yang sangat menyengat. Seorang ibu disamping saya menggerutu sambil mengibas-ngibaskan tangannya ke udara.”Siapa sih yang kentut? Benar-benar nggak sopan ya!” seru ibu itu sengit. Sejumlah penumpang juga melakukan hal serupa. Tapi tak seorangpun yang mengaku melakukan “tindakan kurang menyenangkan” itu. Seorang penumpang berinisiatif membuka jendela, angin langsung menderu kencang mengusir bau kentut.
Sungguh, ini lika-liku yang unik dan mengesankan untuk pekerja komuter.
















wakakakakkkkk…dijepit secara biadab ? mana ? yang mana orangnya 😀
(solider sesama bertubuh seksi)
duh paling ngak tahan naik angkot dari bekasi, ribet banget.
beteul-beteul ceritanya mengenaskan sekaligus membahagiakan 🙂
Ini satu pelengkap cerita real dari kawan saya keturunan etnis tertentu, yang kurang lebih bernasib sama:
Dia sedang menumpang bis patas Non AC dalam kondisi penumpang amat sangat sangat padat berjejal rapat. Ia merasa “beruntung” karena pas di depannya berdiri gadis berambut panjang dengan aroma harum mengalahkan pengapnya nafas sesama penumpang.
Hanya beberapa menit saling rapat, terjadi reaksi. Gadis yang punggungnya tepat di dada lelaki bujangan itu tiba-tiba menoleh dan spontan berujar, “Ada apa Mas?” … Kaget dan gugup tapi kemudian Dia menjawab, “Nggak tahu ya Dik, masalahnya ini …. “. Dia menunjuk ke bawah dengan isyarat dagu dan matanya sambil tersipu malu-malu bahagia…. Rupanya ada yang baru saja menggamit pantat gadis itu. …. Kedua makhluk ini akhirnya senyum-senyum saja, saling memahami, mungkin juga sambil bersungut-sungut bahagia dalam hati. Bis kota lu lawan 😀
Salam hangat
pengamat angkutan nih daeng?!? 😀
salam kenal..