SUDAHLAH DIK, JANGAN ULANGI KETOLOLAN ITU LAGI!
“Perang batu” antar mahasiswa di UNHAS, Selasa (26/2) (Foto diambil dari situs Panyingkul)
“Tidak ada konflik di Indonesia yang tidak diselesaikan orang- orang
Unhas. Tetapi, di Unhas sendiri, konflik dan perkelahian tidak pernah
selesai”
Jusuf Kalla, Wakil Presiden RI dan Mantan Ketua Ikatan Alumni (IKA) UNHAS sebagaimana dikutip dalam kata sambutannya pada Dies Natalis ke 50 Universitas Hasanuddin, Sabtu 9 September 2006 (dikutip dari Kompas Online)
EMail yang datang di inbox saya kemarin siang dan berasal dari salah seorang rekan dari mailing list yang saya ikuti, membuat saya terhenyak. Judulnya sangat “provokatif” : “Perang Lagi di UNHAS”. Kaget, geram, prihatin, sedih, marah, pilu dan malu bercampur aduk saat membaca email tersebut. Isinya adalah rangkaian berita (dikutip dari Harian Tribun Timur Makassar) yang menceritakan bentrokan antar mahasiswa terjadi lagi di UNHAS.
Sebagaimana dikutip dari berita tersebut, Akibat tawuran yang terjadi kemarin siang (26/02), sebanyak 11 orang luka yang terdiri atas tujuh mahasiswa, satu petugas satpam, dan tiga pegawai. Kepala Satuan Pengamanan Unhas, Bambang, mengalami luka di telinga bagian kanan terkena pecahan kaca. Mahasiswa dari empat fakultas yaitu teknik, FISIP, ekonomi, dan sastra terlibat dalam tawuran ini. Kejadian memalukan ini diduga dipicu oleh pemukulan salah seorang mahasiswa teknik pada acara inagurasi mahasiswa baru fakultas ekonomi, Jumat (22/2) malam.
Saat sejumlah mahasiswa dari fakultas teknik, ekonomi, dan FISIP bertemu di Kantin Jasa Boga, terjadi cekcok.Tak lama berselang, sekitar 20-an mahasiswa dari arah fakultas teknik menyerang ke arah Fakultas FISIP. Mahasiswa yang ada di tiga fakultas bertetangga, FISIP, ekonomi, dan sastra melakukan perlawanan. Penyerang dari arah teknik mundur hingga ke dekat LT 3. Tak lama kemudian, rekan-rekan mereka ikut bergabung sehingga massa dari kedua kubu berimbang dan makin banyak. Terjadi saling lempar dengan menggunakan apa saja yang mereka jangkau seperti batu, kayu, pecahan genteng, pecahan kaca, dan lainnya. Rektor Unhas Prof Dr dr Idrus A Paturusi terlihat di tengah-tengah massa menggunakan pengeras suara mencoba melerai bentrokan. Namun, massa yang sudah brutal tidak menggubrisnya. Tawuran baru berhasil dilerai saat seratusan polisi baik yang berseragam maupun tidak, tiba dan langsung memberi tembakan peringatan.
Tawuran antar Mahasiswa di Unhas sudah menjadi “tradisi rutin” tahunan. Coba anda simak rangkaian catatan “sejarah buram tawuran antar mahasiswa di UNHAS” yang pernah terjadi. Pada tahun 2004 (tawuran yang melibatkan mahasiswa Fakultas Teknik dan Sospol, 16 Desember 2004), tahun 2005 (perkelahian mahasiswa teknik dan fisipol yang berlangsung dua hari Rabu-Kamis, 31/08-1/09-2005 yang mengakibatkan 5 dosen cedera dan 10 mahasiswa luka terkena lemparan batu), tahun 2007 (perkelahian antar mahasiswa fakultas Teknik yang terjadi pada tanggal 5 Desember 2007).
Tawuran massal yang paling saya ingat (karena pernah menjadi bagian didalamnya) dan menjadi trauma mendalam buat saya bahkan hingga saat ini adalah kejadian “Black September 1992”. Peristiwa tersebut mengakibatkan terbakarnya sebagian gedung fakultas teknik UNHAS ketika itu. Saya–yang saat kejadian berlangsung, masih mahasiswa semester kelima Fakultas Teknik Jurusan Mesin–bersama ratusan kawan-kawan mahasiswa teknik bertahan dari serangan mahasiswa beberapa fakultas di gedung Fakultas Teknik. Suasana begitu mencekam ketika itu. Beberapa kawan menderita luka karena lemparan batu ketika “perang” itu pecah. Kuku kaki jempol kiri saya bahkan terkelupas hingga akhirnya lepas akibat terkena lemparan batu yang cukup besar. Beberapa kali saya–meski berjalan terpincang-pincang karena luka di jempol kaki saya (hanya dibalut seadanya dengan robekan kain)–membantu membopong rekan kami yang terluka kembali ke “garis belakang”. Kami “dikepung” dari segala arah dan tak bisa keluar dari gedung teknik. Beberapa rekan mahasiswi yang ikut bertahan membantu mengobati kawan-kawan yang sakit dengan peralatan seadanya sekaligus menyiapkan “amunisi batu” bagi kawan-kawan yang “berperang” digaris depan.
Saya bersama sejumlah kawan sempat menyiapkan bambu runcing atau peralatan tajam yang lain untuk mengantisipasi kemungkinan terburuk jika “para penyerang” nekad merangsek masuk wilayah pertahanan kami. Beberapa kawan dari jurusan elektro arus kuat bahkan memasang “barikade” setrum berupa kabel telanjang yang sudah dialiri listrik di bagian depan untuk mencegah masuknya para penyerbu. Bulu kuduk saya merinding membayangkan jika ada lawan kami mengalami nasib naas kesetrum aliran listrik tegangan tinggi. Di lantai 3 gedung jurusan arsitek–bangunan paling tinggi di Fakultas Teknik dan kebetulan berbatasan langsung dengan “garis depan” pertempuran–beberapa kawan dengan “bekal batu” bersiap menghadang laju serangan. Posisi yang cukup tinggi itu sangat strategis untuk menimpuk dengan batu lawan yang coba-coba nekad untuk maju.
Di keremangan malam, batin saya menjerit pilu. Mengapa ini mesti terjadi?. Apakah tawuran ini menjadi bagian dari “kurikulum” saya sebagai mahasiswa?. Apakah perkelahian ini juga menjadi bagian dari mimpi ayah dan ibu saya agar anak sulungnya bisa menyandang gelar sarjana?. Lawan saya diseberang sana masih satu almamater dan bisa jadi ada diantara mereka merupakan kerabat dekat keluarga saya sendiri. Pertikaian ini menyisakan kegetiran, karena kemudian kami telah berada dalam posisi berhadapan satu sama lain, dengan alasan yang mungkin sama sekali tidak kami pahami. Saya mendesah. Tak tahu mesti menjawab apa. Beragam perasaaan berkecamuk dalam hati saya ketika itu.
Dilantai 2 Fakultas Teknik saya menyaksikan diseberang sana kerumunan mahasiswa–lawan kami–berteriak-teriak riuh, mengejek dan menantang kami. Beberapa kawan yang berada di “benteng” paling tinggi dilantai 3 balas mengejek. Sudah pukul 10 malam. Kami bertahan disini sejak pukul 16.00 sore saat tawuran itu dimulai. Saya menghela nafas panjang. Dengan menggenggam bambu runcing dan berjalan terpincang-pincang saya duduk di salah satu sudut ruang tata usaha jurusan mesin. Disamping saya duduk kawan saya yang lain. Ia terlihat letih namun matanya tetap waspada menghadapi segala kemungkinan. “Semoga kejadian ini lekas berakhir,” katanya lirih, seperti putus asa. Saya mengangguk lemah. Berharap sama seperti dia. Perut saya begitu lapar. Tadi siang, saya terakhir makan gado-gado ala mahasiswa seharga Rp 500 dibelakang kampus. Rasa lapar itu kian mendera apalagi sebagian besar energi telah habis terkuras untuk “berperang”.
Pukul 04.30 subuh keesokan paginya, kami semua dievakuasi keluar dari kampus dengan dikawal jajaran aparat keamanan. Saya bersama kawan-kawan lain naik ke atas truk tentara yang mengangkut kami hingga ke pusat kota Makassar (saat kami pergi itulah ada oknum yang membakar kampus yang baru saja kami tinggalkan itu). Ayah saya menjemput disana, di Markas Polres Makassar. Beliau yang ternyata telah menunggu digerbang kampus sejak pukul 08.00 malam, langsung memeluk saya erat-erat dan membelai rambut saya dengan lembut. Dipandanginya sekujur tubuh saya secara seksama dan memastikan tak ada hal mengkhawatirkan telah terjadi pada anak sulungnya ini. Matanya terlihat berkaca-kaca. Saya tertunduk dengan hati remuk. Saya tak berani membalas tatapan beliau. Rasa berdosa dan perasaan telah “mengkhianati” cita-cita luhur beliau menyekolahkan saya di UNHAS, menggayuti batin. Beliau sempat terpekik pelan saat menyaksikan kaki kiri saya berdarah dan dibalut robekan kain seadanya. Ayah tak berkata apa-apa lagi, ia lalu mengajak saya naik ke atas motor dinas Honda Win yang kerap beliau kendarai. Tak ada percakapan antara kami sepanjang perjalanan pulang ke rumah di Maros. Pengalaman ini menyisakan trauma yang sangat mendalam pada saya. Hingga kini.
Saat kembali membaca tawuran antar mahasiswa terjadi lagi di Unhas, batin saya kembali menangis. Trauma masa lalu itu seperti berputar kembali dibenak. Kapan ketololan dan kekonyolan ini bisa dihentikan?. Citra “mulia” mahasiswa sebagai agen perubahan dan kontrol sosial mendadak punah atas tawuran tersebut. Perkelahian ini tidak membuktikan apapun. Malah justru citra Unhas (tidak hanya mahasiswa bahkan bisa merembet pula ke lulusannya) menjadi terpuruk dimata masyarakat. Dunia kerja akan menjadi “tidak ramah” bagi para alumni yang berasal dari almamater senantiasa memelihara tradisi tawuran.
Dengan jumlah mahasiswa sekitar 30,000 orang di UNHAS saat ini serta kampus yang kian sesak, tentu saja sangat berpotensi memercik api gesekan emosi dan kebrutalan mahasiswa. Petinggi universitas serta jajarannya harus menerapkan langkah-langkah strategis dan cerdas meminimalisir dampak buruk yang mungkin terjadi itu. Salah satunya adalah mengganti tradisi prosesi penerimaan mahasiswa baru–yang saya anggap menjadi salah satu pemicu potensil terjadinya tawuran, setelah membaca “rekam-jejak” peristiwa-peristiwa tawuran yang pernah terjadi–dengan kegiatan yang lebih mengedepankan tradisi keilmuan/akademik dan prinsip-prinsip kebersamaan. Civitas Academica Unhas termasuk alumni mesti duduk bersama merumuskan formula yang tepat dan membumi agar tawuran antar mahasiswa dapat dicegah. Implementasi atas formula tadi diawasi dan dievaluasi secara intens serta berkesinambungan.
Ungkapan Pak Jusuf Kalla yang saya kutip dibagian atas tulisan ini selayaknya menjadi “cambuk” dan bahan refleksi agar kejadian serupa tak terulang lagi. Petinggi Universitas dan jajarannya mesti membuka ruang dialog yang seluas-luasnya serta siap menerima gagasan-gagasan baru, yang segar dan berbeda dari mahasiswa, dosen, serta alumni demi kepentingan pengembangan UNHAS kedepan. Sudah saatnya setiap perbedaan sikap dan argumentasi diselesaikan dengan otak, bukan dengan otot. Kampus adalah tempat mendidik kalangan terpelajar, dan bukan untuk mendidik calon-calon preman yang lebih mengedepankan kekerasan untuk menyelesaikan masalah. Adalah sebuah ironi yang menyesakkan ketika konflik di Indonesia bisa diselesaikan oleh orang-orang Unhas sementara konflik internal tak bisa diselesaikan.
Buat adik-adik saya, Mahasiswa Unhas, izinkan saya sebagai kakak menghimbau dengan segala kerendahan hati : sudahlah, hentikan pertikaian ini, jangan ulangi kekonyolan dan ketololan itu lagi!.
saya sangat kecewa dengan teman2 yang turut menyuseskan kejadian tawuran itu,,,melihatnyapun kejadiannya saya nda mau,,,saya bilang ini sangat merugikan kita semua UNHAS tercinta.
kalo saya yang jadi pengambl keputusan,,, mahasiswa yang terbukti ,,, akan saya pecat or skorsing langsung,
aturan menurut saya harus tegas,,
saya speechles,
kejadian ini demikian sering terulang…
apa sih yg hendak dibuktikan?
semoga cepet lulus saja mereka…
selalu berulang dan terus berulang, miris melihatnya, walaupun cuma di tv. betul2 mencoreng dunia pendidikan…mengecewakan
edisi ini tulisan’ta tentang tawuran jadi diterbitkan k’
Mahasiswa Jangan selalu dikambing hitamkan. Hanya ada satu penyelesaian. Dirikan Institut Teknologi Makassar. Saya yakin dan percaya cerita mengenai bentrokan diunhas hanya menjadi sejarah.
Gimana caranya supaya TAWURAN yang konvensional tidak lagi menjadi Tradisi di Unhas ya??…
Mulai lah dengan TAWURAN yang lebih Profesional…. Profesi adik-adik kan masih Mahasiswa, So… ???….
Masih panjang rupanya perjuangan.
Saat sebagian terseok- seok berusaha keras memupuk rasa persaudaraan dan kasih-sayang,
sebagian dari kita yang seharusnya berdiri di garda depan malah memporak- porandakan niat ini.
Saya juga kehabisan kata2 lagi menjelaskan ke teman2ku kejadian2 di sana itu…
apakah ini namanya siri na pacce yang pake?
Kejadian ini aku tau dr teman kerjaku lulusan UGM, terus terang aku sangat malu krn soal tawuran di Unhas baru kami perbicangkan sblmnya n aku bilang skrg sudah tak ada tawuran lg… kenyataannya…
sangat memilukan n memalukan…
sy sepakat dgn comment salah satu kanda diatas….
realisasikan ITM secepatnya…
semoga TAWURAN berul2 bisa menjadi sekedar sejarah…
tawuran bagai sebagian mahasiswa yang terlibat adalah sebuah relaksasi (terbukti, silahkan tanyakan langsung), atau pendistribusian energi yang berlebihan dan berada dalam diri teman2, sebelum menyesal karena terlalu menyalahkan teman2 yang terlibat tawuran sebaiknya akar permasalahannya bisa ditinjau lebih dulu demi menghargai orang2 yang terlanjur mengklaim kita sebagai akademisi,yang katanya penuh analisis, ilmiah dan sitematis,itu jauh lebih berguna dari pada hanya meninjau dampak tawuran. makasih, maaf kalau salah
memang sngat miris klo dilihat dari luar…tapi..begitulah mahasiswa….terkadang ada gejolak seperti api membara yg siap menyembur dalam dada kami……….doktrin fakultas, dendam dan rivalitas saling beradu sEolah menyoraK di dada…. dan jadilah api itu menyembur dengan kerasnya………….meluap secara membabi buta………..daN itu takkan pernah berakhir selma masih ada yang namanya………….DUNIA KAMPUS………..
semoga tidak ada lagi tawuran berikutx… cukuplah sudah….
sy spakat dngan kanda ale naval 09, mestinya akar permasalahannya ditinjau dulu karna yg diliput media cuma “asapnya” tetapi bukan “apinya”, dan ironi karna asap biasanya lebih banyak ketimbang apinya. Sy sering mendapati slama jd mhsswa,tenyata tawuran dipicu karna ada antek lain yang dilecehkan,dipukul,dipalak,dsb dan itulah “apinya”. sy malah pernah ditelfn junior penyebab tawauran di tahun ini (2010), yang katanya karna ada 3 org maba 2010 (2 batangan, 1 pcah blah) sedang berjualn kue di fakltas lain untk cari dana kegiatanya, tetapi mreka (batangan) dipukul, dan dilecehkan (pcah blah). Intinya slama ini antek cm “bereaksi” atas “aksi” fakltas lain.
skdar info kanda, antek saat ini
sy spakat dngan kanda ale naval 09, mestinya akar permasalahannya ditinjau dulu karna yg diliput media cuma “asapnya” tetapi bukan “apinya”, dan ironi karna asap biasanya lebih banyak ketimbang apinya. Sy sering mendapati slama jd mhsswa,tenyata tawuran dipicu karna ada antek lain yang dilecehkan,dipukul,dipalak,dsb dan itulah “apinya”. sy malah pernah ditelfn junior penyebab tawauran di tahun ini (2010), yang katanya karna ada 3 org maba 2010 (2 batangan, 1 pcah blah) sedang berjualn kue di fakltas lain untk cari dana kegiatanya, tetapi mreka (batangan) dipukul, dan dilecehkan (pcah blah). Intinya slama ini antek cm “bereaksi” atas “aksi” fakltas lain.
skdar info kanda, antek saat ini juara tawwa “tawuran” robot, tp blum diliput2 ma media manapun,pdhal klo antek “bereaksi” mrka lomba2 jadikn headline news… ckckckck!!! g fair bnget…
klo berniat mau menghilangkan tradisi yg suda terjadi mungki itu sangat sulit.. krn hal ini suda mendara daging, apa lg sebahagian dari teman2 mahasiswa mwnganggap hal ini sebagai ajang senang2 untuk menghilangkan rasa penat dgn tugas2 yg ada.. hehehe..