Bagi kami sekeluarga, Alya, si bungsu yang centil dan manis ini adalah “matahari” yang selalu menghangatkan rumah dengan tawa serta candanya yang menggemaskan. Dan tentu aksi-aksi eksperimennya yang kadang tak bisa diduga.
Nyaris setiap hari–terutama jika saya sedang libur–Alya menjadikan saya (juga sang kakak, Rizky) “korban” keusilannya. Misalnya saja, saya pernah “dipaksa” menjadi pasien dirumah sakit dimana si gadis kecil kelahiran 10 November 2004 itu menjadi dokternya. Saya hanya bisa pasrah ketika ia, dengan peralatan mainan dokter-dokterannya memeriksa sekujur tubuh saya dengan serius. Steteskop ditempelkannya dijidat, pipi, mata, mulut, telinga, dada dan perut.
“Papa hamil adik bayi ya? Kok Gendut banget sih!,” katanya seraya meraba perut saya yang memang montok menggemaskan itu. Saya hanya tersenyum getir. Juga prihatin. Istri saya yang mengintip dibalik pintu menahan tawa. Sang kakak, Rizky, memperlihatkan aksi solidaritasnya dengan ikut-ikutan meraba perut saya dengan tampang serius.
“Iya nih Papa hamil!”, seru Rizky seraya menempelkan telinganya diperut saya yang langsung menggelinjang kegelian. Alya mendadak marah.
“Jangan pake itu!, pake ini nih!. Kasihan papanya!” katanya seraya menunjukkan steteskop mainan ke arah kakaknya lalu menunjukkan caranya dengan menempelkan ujung steteskop itu ke perut saya. Rizky melongo dan menyaksikan bagaimana si adik beraksi.
“Tuh..denger tuh..ada suara adik bayi nangis,” kata Alya sambil menyodorkan steteskop itu pada kakaknya. Rizky lalu memakainya dan ikut manggut-manggut layaknya dokter ahli kandungan profesional.
“Iya tuh, ada adik bayinya didalam. Lagi nendang-nendang,” tukas Rizky sambil memandang saya kebingungan. Alya mengacungkan jempol dan menyunggingkan senyum penuh kemenangan. Kali ini saya yang melongo dan sedikit shock. Istri saya terlihat tertawa terpingkal-pingkal menyaksikan kedua anaknya “mengerjai” saya.
Diwaktu lain, saya menjadi “korban” Alya berikutnya sebagai pelanggan salon. Gadis kecil itu bertindak sebagai kapster yang akan bertugas melakukan “creambath” atas rambut saya. Perlengkapannya sudah siap. Ada hairdryer mainan, sisir, bedak, lipstick (bukan lipstick sebenarnya tapi berupa potongan crayon warna merah) dan jepitan jemuran. Oh, my god!. Saya sudah bisa membayangkan betapa hancur berantakannya penampilan saya yang keren dan beken ini pasca di-creambath Alya. Kalau ditolak, maka gadis kecil manja menggemaskan ini akan mengamuk sejadi-jadinya. Akhirnya di ruang keluarga, didepan televisi saya “masuk” salon Alya Beauty dengan rasa khawatir. Istri saya yang sibuk didapur tersenyum simpul menyaksikan suaminya siap dipermak si bungsu. Rizky yang sedang asyik bermain di komputer tidak terusik oleh aksi Alya. Sayapun diminta berbaring diatas karpet beralaskan bantal kursi dikepala.
Dalam waktu 10 menit, Alya sudah berhasil meng-“creambath” saya dengan sukses. Hasilnya sudah bisa diduga. Sayapun menjelma menjadi sesosok “Ondel-Ondel salah model” dengan rambut berhias jepit jemuran, pipi bertabur bedak dan tentu saja bibir menor berlipstick Crayon. Seketika rumah kami menjelma menjadi pabrik tawa paling dashyat. Alya berteriak gembira dan histeris menyaksikan hasil karya agungnya itu menari-nari dihadapannya ala peragawan diatas catwalk. Oh..nasib.
Ah, Alya..bersamamu, dunia ikut tertawa..










wetz…lucu nah alya …membaca ini saja sy sudah luc gmn kalau yg di sana yg jelas2 melihatnya…hhahhahahahhahah
cubitkan ka’ alya pamril..mau ka’ cubit ki
leh katanya hamil… yg mana? heheheheh 😀
Hehehehe..
anak2 seusia Alya memang lagi lucu2nya ya pak..?, jadi ingat anak saya juga..
lah katanya hamil 😀
Alya, apa kabar, salam dari Mbak Lily dan Kayla yah 🙂
sekali-sekali ajakin papa ketemuan dong di Water Boom.