BIARKAN EMAS ITU TERGADAI, ASAL BUKAN CINTA KITA
SETELAH prosesi resepsi pernikahan yang sakral kami jalani di gedung wayang Kekayon Jl.Raya Yogya Wonosari, 10 April 1999, babak baru kehidupan sudah menyongsong didepan mata. Saya telah menjadi suami dari Sri Lestari, gadis yogya yang memiliki senyum memikat dan memboyong anak kelima dari Bapak/Ibu Harjoijoyo itu ke rumah kontrakan saya yang kecil dan sempit di Jl.DR.Sutomo didepan UKI-Cawang.
Ketika itu, saya baru saja bekerja sebagai karyawan di PT.Framas Plastic Technology Cibitung setelah sebelumnya terkena PHK dari PT.Timori Putra Bangsa (sebuah perusahaan otomotif milik Tommy Soeharto yang berencana membuat pabrik sepeda motor nasional) pasca krisis moneter 1998. Alhamdulillah, saya diterima di PT.Framas tepat ketika pengumuman PHK keluar. Dengan demikian, saya tidak perlu menyandang predikat “penganggur”. Bahkan sempat mendapat pesangon/uang jasa dari PT.Timori yang kemudian kelak saya jadikan “modal” untuk menikah.
Rumah kontrakan kami sangat kecil. Hanya sebuah kamar pengap berukuran 2 x 3 meter (karena tepat di seberang jendela, berdiri tembok tinggi rumah sebelahnya), ruang tamu 2 x 2 meter dan kamar mandi/WC berukuran 1.5 x 2 m. Rumah kontrakan itu memang tidak terurus dengan baik. Sejak menempati sebulan sebelumnya dan pindah dari tempat kost saya tak jauh dari situ, sang pemilik kontrakan sudah menjelaskan kondisi rumah tersebut sebenarnya. Kumuh dan terdapat sejumlah tempelan lumut di tembok bagian atas. Sebagian rumah retak. Tapi tak apalah, setidaknya kami mendapat tempat berteduh yang layak, untuk sementara. Saya menyewa dari pemiliknya yang kebetulan punya rumah tepat dibelakangnya seharga Rp 1,2 juta/pertahun. Sebelum menikah, saya sudah “mengisi” rumah kontrakan itu dengan sebuah tempat tidur kayu, seperangkat alat dapur dan makan, lemari serta sebuah TV 21″.
Hal yang terasa sangat berbeda saat pertama kali membuka pintu rumah didampingi oleh isteri tercinta. Ibarat membuka pintu gerbang istana dengan sebaris hulubalang dan dayang-dayang siap menyambut. Saya merangkul isteri saya dan mengajaknya berkeliling melihat “istana sederhana” kami, tempat kami kelak merangkai cinta dan merajut asmara. Dari hari ke hari. Tanpa henti.
Setelah saling menjajaki sebagai calon pasangan suami isteri selama kurang lebih setahun lamanya, isteri saya sudah paham betul situasi yang akan dia alami kelak bersama saya. Kebetulan, ia masih bekerja di PT.PANTAYA CIMERA INTERNATIONAL yang berlokasi di Menara Kartika Chandra Jl.Gatot Subroto sebagai staff accounting. Dan lokasi rumah kami relatif strategis karena berdekatan dengan halte bis menuju kantornya sekaligus dekat dengan bis jemputan saya ke kantor di Cibitung.
Kami melewati hari demi hari, pekan demi pekan, di tahun pertama pernikahan kami dengan senyum dan canda. Bulan September 1999, kami mendapat musibah. Ayah mertua saya harus menjalani operasi usus di Rumah Sakit DKT-Yogyakarta. Kami sekeluarga bergegas pulang ke Yogya dan menguras seluruh isi tabungan untuk membantu pengobatan orang tua kami disana. Alhamdulillah, setelah menjalani operasi dan perawatan, seminggu kemudian ayah mertua saya sudah bisa keluar dari rumah sakit. Kamipun kembali ke Jakarta setelah itu.
Tanpa terasa, hari lebaran tahun 1999 pun tiba. Karena belum cukup setahun bekerja, saya tidak memperoleh THR dilain pihak THR isteripun tidak seberapa besar. Pada saat yang sama, saya mesti membayar tagihan hutang kepada saudara-saudara dan juga bank penerbit kartu kredit, setelah sebelumnya saya pinjam untuk keperluan pengobatan ayah mertua saya. Hingga kemudian, penghasilan saya dan isteri habis tak bersisa. Dan lebaran sudah hampir tiba.
“Bagaimana ini, Mas ?” tanya isteri saya gusar.
Saya mengangkat bahu. Tak bisa berkata apa-apa.
“Kita tetap puasa saja deh,” sahut saya pelan.
Isteri saya menggeleng. Bulir-bulir air matanya menetes satu-satu.
“Lebaran adalah kegembiraan menyambut kemenangan. Sudah selayaknya dirayakan,” kata isteri saya sambil menyeka air matanya.
Saya terharu dan meraihnya kedalam pelukan. Kami berdua menangis.
“Kita tidak punya uang lagi, sayang”, bisik saya dengan bibir bergetar. Keharuan terasa begitu menyesak dada.
Isteri saya tiba-tiba bangkit dan menatap penuh arti. Ia lalu melangkah menuju kamar kami. Tak lama kemudian ia datang dan menyerahkan sejumlah perhiasan emas, mas kawin dari saya tempo hari.
“Kita gadaikan ini, Mas. Untuk rayakan lebaran. Jangan pinjam uang lagi dari siapapun, mereka juga lagi membutuhkan sekarang,” kata isteri saya dengan wajah cerah.
“Tapi itu kan’ mas kawin dari saya tempo hari,” tukas saya resah.
“Tidak apa-apa, kalau ada uang bisa kita tebus lagi di penggadaian,” sahut isteri saya tenang.
Saya menggeleng. Dan berfikir keras mencari solusi terbaik. Tapi pikiran saya buntu.
“Bagaimana ?” tanya isteri saya pelan.
Saya menghela nafas panjang dan mengangguk setuju.
Isteri saya langsung memeluk saya erat-erat.
Siang itu kami berdua menuju ke Kantor Penggadaian Kramat Jati Jakarta Timur. Seluruh perhiasan tadi ditakar dengan nilai yang cukup lumayan. Setelah mendapat uang tersebut kami ke Pasar Kramat Jati membeli keperluan lebaran. Tidak ada baju baru, hanya sejumlah kebutuhan dapur termasuk daging dan hati sapi.
Kami berdua memasak Sambal Goreng Hati dengan ceria di dapur mungil rumah kami. Dalam hati saya berjanji untuk segera menebus perhiasan emas di penggadaian itu secepatnya. Bukan harganya tapi nilai kenangan yang ada besertanya. Sebuah monumen cinta yang tak ternilai. Isteri saya nampaknya bisa membaca apa yg terlintas dibenak saya saat itu.
“Biarkan emas itu tergadai, asal bukan cinta kita,” katanya tulus.
Saya memandang isteri saya yang terlihat begitu cantik dengan daster birunya. Isteri saya tersenyum dan kamipun berpelukan ditengah kepulan asap penggorengan Sambal Goreng Hati, tepat sehari sebelum Idul Fitri 1999.
wah…ini pengalaman pribadi?? makasih sudah berbagi pengalaman. memang selalu ada yang lebih baik daripada harta… 🙂
–Betul Chika, ini pengalaman pribadi. Thanks ya udah mampir kesini
mengharukan sekali,
moga saya bisa belajar dari kisah ta’ ini daeng.. 🙂
pernah liat ISTANA SEDERHANA itu lagi ?
touching skali daeng.
salutka..
sebuah pelajaran penting buat masa depan nantinya.kubayangkan diriku…berada disituasi ta’…daeng…
*air mata ndak terasa menetes*
Ah yang bener daeng, gak yakin deh gw.. 😉
*usut air mata*
inih cerita bisa dijadiin naskah lho, Pak 🙂 …
maksudnya untuk sinetron gituh naskahnya heheheeh 🙂
belajar mengakrabi kenelangsaan….nelangsa tanpa air mata….penderitaan tanpa rintihan….oalah……
sa kira kisah ini wajib diselami oleh Rizky dan Alya utk menemani mereka mengemudikan bahtera hidup kelak.
Great story daeng…
Opi, persaan pernah kubaca ini tulisan, tp tdk tau dimana. Sebelumnya pernah diterbitkan
–Fajar, memang. Saya pernah tayangkan tulisan ini di blog Multiply saya di http://www.amriltgobel.multiply.com
Pengalaman yang luar biasa
mantap karaeng bikin terharu….
Syahdu sekali daeng…mdh2an jd spirit neh kisah
Kakak…
Hari ini ceritamu benar-benar seperti masuk ke dalam rongga hati dan hidupku yang sekarang juga berjuang untuk sebuah rumah tangga…
Aku percaya, rezeki itu tidak akan habis selama kita masih hidup…
*dikantor saya menangis membaca ini