NARSIS (3) : PEREMPUAN YANG MENGHILANG DI BALIK HUJAN

hujan2-300x172Lelaki itu menghirup cappuccinonya.

Menyesap segala rasa yang menyertai dengan perih menusuk dada.

Ia lalu melirik jam tangannya. Sudah 2 jam lebih dia di Cafe tersebut. Sambil menghela nafas panjang ia melihat ke arah luar melalui jendela berbingkai lebar disampingnya. Gerimis menyiram bumi. Irisan-irisan tipis air itu menerpa kaca yang membuatnya buram.

Juga membuat wajahnya kian muram.

Ini adalah cangkir ketiga.cappuccinonya. Untung saja ia ditemani laptop pribadinya yang dapat digunakan untuk menjelajah dunia maya dengan akses wi-fi di cafe tersebut.

Menunggu memang sebuah pekerjaan yang membosankan, namun baginya, menanti perempuan bermata kejora, selalu menimbulkan sensasi tersendiri dan membuat waktu selalu akan menjadi lebih bersahabat. Selama apapun itu.

Namun tak urung, setelah 2 jam berlalu dan tenggorokannya mulai terasa pahit setelah menelan dua cangkir gelas cappuccino, membuatnya sedikit senewen. Tapi tak apa, ia berusaha berdamai dengan diri sendiri. Demi perempuan yang menyimpan bintang kejora dimatanya itu, selalu saja ada pengecualian dan maaf tak bertepi.

Ia ingat, secara tak terduga, perempuan yang pernah menyimpan separuh hatinya dimasa lalu itu datang menyapanya lewat email 4 bulan silam.

“Gembira rasanya menemukanmu kembali lewat Facebook, lelaki pencumbu malam. Apa kabarmu?”

Masih selalu terngiang dibenaknya kalimat di email pertama perempuan itu yang seketika membuat jantungnya seakan meloncat keluar. Ia begitu bahagia dan tak menyangka, dunia maya mempertemukan mereka secara tak terduga.

Dan setelah itu, interaksi diantara mereka kembali terjalin setelah hampir 15 tahun berlalu. Mereka bercerita, tertawa dan saling berbagi rasa melalui komunikasi lewat internet.

Perempuan itu bercerita telah berkeluarga dan memiliki 2 orang anak, sementara sang lelaki berkisah ia pun sudah berumahtangga dan mempunyai satu orang anak. Mereka mengaku berbahagia dan mengirim foto keluarga masing-masing serta saling berkomentar.

“Anakmu cantik, sama seperti ibunya dulu,” kata lelaki itu tulus.

“Anakmu juga ganteng, sama seperti ayahnya dulu,” balas perempuan itu.

Dan kenangan masa lalu pun mengalir deras lewat email-email yang berseliweran antara mereka. Tentang puisi-puisi cinta yang selalu dilampirkan lelaki itu pada buku pelajaran yang dipinjamnya, dan diam-diam masih disimpan rapi perempuan itu, Tentang indahnya perjalanan cinta masa remaja mereka juga pedihnya perpisahan karena perempuan itu pindah ke kota lain dan sejak saat itu kehilangan kontak dengannya, hingga akhirnya 4 bulan silam, takdir mempertemukan kembali.

Mereka menikmati percakapan intens dari dunia maya itu.

“Aku merindukan suaramu, tolong beritahukan nomor teleponmu dan kita bercakap lagi, seperti dulu,” ucap lelaki itu dalam sebuah email dengan rasa kangen yang membuncah.

“Tidak perlu. Seperti begini saja, bagiku sudah cukup. Aku tak ingin kita melampaui pagar yang telah kita miliki dan jaga masing-masing dengan baik selama ini,” balas perempuan itu. Tegas. Lugas.

Lelaki itu menyerah. Sampai kemudian dua hari lalu ia menerima email dari perempuan itu.

“Aku ada tugas kantor ke kotamu, selama dua hari. Berangkat besok pagi dengan pesawat pertama”

Lelaki itu menatap monitor komputernya dengan mata berbinar. Seperti tak percaya.

“Boleh saya jemput?”, ia membalas email tadi dengan jemari gemetar. Jantungnya berdegup kencang.

“Tidak usah. Nanti merepotkanmu. Aku masih ingat kok jalan-jalan di kota kita dulu walau sudah belasan tahun aku tinggalkan”

Lelaki itu menghela nafas panjang.

“Boleh ketemu? Hanya sebatas sebagai kawan lama, bukan sebagai mantan kekasih. Tak lebih. Aku penasaran melihat sosok aslimu setelah 15 tahun berlalu”, kembali lelaki itu menulis email dengan jemari gemetar sambil menahan nafas. Tegang.

Jawaban tak segera datang. Lelaki itu sabar menanti. Beberapa jam kemudian, jawaban itu tiba.

“Maaf, aku tak bisa. Jadwalku padat disana. Lagipula, kamu toh sudah melihat sosok asliku yang sudah mulai beranjak tua itu di foto yang pernah aku kirimkan tempo hari. Tak ada sesuatu yang istimewa yang bisa kamu harapkan dariku setelah 15 tahun berlalu. Kita bertemu lewat jalur maya saja. Itu lebih baik. Mari kita hormati lembaga pernikahan yang telah kita miliki dan pegang teguh selama ini. You’re still my best friend. Forever. Aku masih tetap bisa online kok selama disana, kamu juga tetap dapat mengirimiku email kapan saja ”

Lelaki itu menelan ludah. Tapi aku merindukanmu!, jerit batinnya kesal. Ia lalu membalas email tersebut:

“Aku hanya ingin menyerahkan langsung novel yang baru saja aku terbitkan padamu. Ini sebuah kehormatan besar buatku karena beberapa penggal isi novel itu berisi sejumlah kenangan tentang perjalanan cinta kita berdua dulu. Novel ini baru beredar bulan depan. Aku ingin memberikan satu eksemplar langsung padamu dan menyaksikan ekspresi wajahmu saat menerimanya. Bila kamu tak berkenan menemuiku lama-lama, tak apa. Aku hanya menyerahkan buku itu padamu dan selesai. Kamu boleh pergi. Bahkan walau tanpa ada percakapan diantara kita. sekalipun Aku akan menunggumu di Cafe Nirwana pukul dua siang besok. Please, aku mengharapkannya..”.

5 jam kemudian, jawaban itu datang

“Baiklah. Tapi tidak lama-lama and just between us, as old friends, not more than that.Okey?”

Lelaki itu melonjak gembira. Ia mengetik balasan email itu dengan mata berbinar.

“OK, terimakasih. Aku akan ada disana setengah jam sebelum janji kita ketemu. See you tomorrow”

***

Dia masih seperti dulu. Badan tinggi tegap, rambut ikal meski ada beberapa helai uban terlihat dan wajah tampan dengan rahang kukuh yang menjadi ciri khasnya, perempuan bermata kejora itu membatin.

Ia telah sampai di Cafe Nirwana, bahkan sebelum lelaki itu tiba dan mengambil sebuah tempat tersembunyi yang membuatnya lebh leluasa menyaksikan pengunjung Cafe yang ramai berdatangan.

Berbagai perasaan berkecamuk dihatinya. Terutama saat melihat beberapa email dari lelaki itu masuk ke inbox-nya yang menanyakannya dimana ia berada saat ini dan sama sekali tak dijawabnya.

Setelah 15 tahun berlalu, ternyata perasaan itu tak berubah. Ia masih mencintai lelaki pencumbu malam itu. Lelaki yang sekalipun tak pernah menyatakan perasaan cinta padanya namun mengungkapkannya lewat puisi yang seketika membuat hatinya porak poranda dan melambung ke atas awan. Ia masih menyimpan puisi yang disisipkan pada buku matematika yang dipinjam lelaki itu padanya, sebuah puisi yang selalu membuatnya rindu:

Pada Saatnya,

Ketika musim berganti

Dan gugusan mendung yang ranum

Menitikkan tetes hujan pertama

Biduk yang kukayuh akan merapat ke dermagamu

Menyibak kabut keraguan

Lalu mendamparkan hasrat yang hangat dibakar rindu

Pada Saatnya,

Di ujung perjalanan

Akan kubingkai binar matamu

Bersama gelegak gairah jiwaku

Menjadi lukisan indah di lekuk cakrawala

Dalam leleh cahaya bulan melumuri langit

ditingkah semilir angin laut

dan tarian ombak

membelai lembut kristal pasir pantai

Pada Saatnya,

Akan kubuatmu terjaga dari lelap tidur

lalu bersama merajut impian yang tak segera usai,

Dalam genangan cinta dipalung kalbu

Dan getar cumbu tak berkesudahan

Perempuan itu menghela nafas panjang. Begitu berat beban yang menghimpit dadanya.Tapi ia telah memutuskan. Dan baginya inilah jalan yang terbaik, meski menyisakan luka menganga begitu dalam dihatinya. Dengan gerakan kaku dan rasa haru di kalbu, ia mengirim sebuah puisi ke alamat email lelaki itu.

Selalu, aku rasa,

kita akan bercakap dalam senyap

Dengan bahasa langit yang hanya kita yang tahu

serta menyemai setiap harap yang kerap datang mengendap

lalu meresapinya ke hati dengan getir

Selalu, aku rasa,

kamu tersenyum disana, ketika akupun tersenyum disini

dan kita, dengan bahasa langit yang kita punya itu,

secara bersahaja, menyapa larik-larik kenangan

dan meniti setiap selasar waktu

bersama desir rindu menoreh kalbu

Selalu, aku rasa,

kita tak dapat menafikan

batas yang membentang

dimana jarak membingkainya lalu menjadikannya nyata

serta membuat kita sadar

bahwa pada akhirnya,

dalam pilu kita berkata:

Biarlah, kita menyesap setiap serpihan senyap

dan menikmatinya, tak henti,

hingga lelap

tanpa tatap, tanpa ratap

Setelah konfirmasi pengiriman email terlihat, ia bergegas mematikan laptop dan keluar dari cafe tersebut melalui jalan belakang. Rinai hujan menyambutnya diluar dan ia nekad menembus jarum-jarum air yang menitik tajam ke tubuhnya itu, bersama air mata yang menetes pelan di pipinya. Sebuah taksi yang kebetulan lewat segera ia tahan dan berlalu pergi bersamanya.

***

Lelaki itu mendadak tersentak kaget. Dari balik kaca jendela ia melihat sosok perempuan yang ditunggunya itu berlari menembus hujan dari arah belakang Cafe dan bergegas menahan sebuah taksi yang lewat.

Spontan lelaki tadi berlari keluar Cafe mengejar taksi tersebut sambil meneriakkan nama perempuan tadi dengan lantang. Hujan deras membasahi seluruh tubuhnya.

Dan terlambat, perempuan itu telah pergi, melaju bersama taksi yang ditumpanginya.

Lelaki itu tergugu pilu. Perempuan itu telah menghilang di balik hujan.

Tiba-tiba ia ingin menulis sebuah puisi dan menorehkannya ke langit kelam. Untuk perempuan yang telah membawa separuh hatinya :

Sudah lama,

aku menyulam khayalan pada tirai hujan

menata wajahmu disana serupa puzzle,

sekeping demi sekeping,

dengan perekat kenangan di tiap sisinya

lalu saat semuanya menjelma sempurna

kubingkai lukisan parasmu itu

dalam setiap leleh rindu

yang kupelihara di sudut hati dengan rasa masygul

dari musim ke musim

“Cinta selalu memendam rahasia dan misterinya sendiri,

pada langit, pada hujan,” katamu lirih terbata-bata.

Dan seketika, linangan air matamu menjelma

bagai deras aliran sungai yang menghanyutkanku

jauh ke hulu

dimana setiap harapan kita karam disana

Sudah lama, aku memindai sosokmu

pada derai gerimis

memastikan setiap serpih mimpiku

untuk bersamamembangun surga di telapak kakimu

dapat menjadi nyata

tapi selalu, semuanya segera berlalu

dan sirna bersama desir angin di beranda

“Percayalah, aku ada dinadimu seperti kamu ada didarahku,”bisikmu pelan

ketika bayangmu, perlahan memudar dibalik rinai hujan..

Cikarang, After Midnight 260309

 

Catatan:

Narsis adalah singkatan dari Narasi Romantis. Bisa anda baca Narsis Pertama disini dan Narsis kedua disitu. Rencananya akan ditampilkan di blog ini seminggu sekali.

 

  

Related Posts
NARSIS (19) : ZIARAH PADA KELAM KENANGAN
alam banyak hal perempuan itu selalu merasa kalah.  Sangat telak. Terutama oleh cinta. Pada bayangan rembulan di beranda, ia menangis. Menyaksikan cahaya lembut sang dewi malam itu menerpa dedaunan, menyelusup, lalu ...
Posting Terkait
NARSIS (5) : TAKDIR CINTA
erempuan Wangi Bunga itu mengerjapkan mata, ia lalu membaca kembali baris-baris kalimat pada emailnya yang sudah siap dikirim ditemani lantunan lagu "Takdir Cinta" yang dinyanyikan oleh Rossa. Hatinya mendadak bimbang. ...
Posting Terkait
NARSIS (12) : BALADA LELAKI PETANG TEMARAM DAN PEREMPUAN KILAU REMBULAN
Ia, lelaki yang berdiri pada petang temaram selalu membasuh setiap waktu yang berlalu bergegas dengan rindu yang basah pada perempuan kilau rembulan, jauh disana. Ditorehkannya noktah-noktah kangen itu pada setiap ...
Posting Terkait
PADA SAMPAN YANG SENDIRI
Inspirasi foto : Suasana Sunset di Pantai Losari Makassar, karya Arfah Aksa Dji Sam Soe Potret Mahakarya Indonesia ada sampan yang sendiri. Terdampar di sisi pantai Losari yang sunyi. Kita menyaksikan rona ...
Posting Terkait
NARSIS (15) : JARAK RINDU
Pada akhirnya, katamu, cinta akan berhenti pada sebuah titik stagnan. Diam. Walau semua semesta bersekutu menggerakkannya. Sekuat mungkin. Cinta akan beredar pada tepian takdirnya. Pada sesuatu yang telah begitu kuat ...
Posting Terkait
NARSIS (8) : TENTANG DIA, YANG PERGI MEMBAWA KELAM DIHATINYA
"Ini untuk dia, yang pergi membawa kelam dihatinya," suara perempuan itu bergetar di ujung telepon. Aku menggigit bibir seraya menatap Sonny, sang operator lagu pasanganku, yang balas menatapku dengan senyum ...
Posting Terkait
NARSIS (9) : UNTUK PEREMPUAN BERMAHLIGAI REMBULAN
Hai Perempuan Bermahligai Rembulan, Apa kabarmu? Cuaca di awal bulan Oktober ini sungguh sangat tak terduga. Seharusnya--menurut ramalan meteorologi-- hujan akan turun membasahi bumi, dan awal bencana banjir akan tiba. Tapi ternyata ...
Posting Terkait
NARSIS (7) : BIARKAN AKU MENCINTAIMU DALAM SUNYI
Catatan Pengantar: Narsis kali ini saya angkat dari Cerpen saya yang dimuat (sekaligus menjadi judul utama kumpulan cerpen Blogfam yang diterbitkan Gradien Mediatama tahun 2006 dalam judul "Biarkan Aku Mencintaimu Dalam ...
Posting Terkait
NARSIS (10) : KESEMPATAN KEDUA
My Momma always said: Life was like a box of chocholates You never know What you're gonna get -Tom Hanks, Forrest Gump,1994 Saskia tersenyum tipis setelah membaca sekilas potongan kutipan ungkapan yang ditulis diatas sebuah ...
Posting Terkait
NARSIS (13) : ASMARA, SUATU KETIKA..
Jakarta, 2030, sebuah teras café Lelaki tua itu tersenyum samar. Dipandangnya perempuan seusia dengannya yang duduk tepat dihadapannya dengan tatap takjub. “Kamu tak banyak berubah, walau umur telah menggerogoti tubuh kita. Kamu ...
Posting Terkait
NARSIS (16) : BISIKAN HATI , PADA LANGIT PETANG HARI
Dia tahu. Tapi tak benar-benar tahu bagaimana sesungguhnya cara menata hati dari kisah cintanya yang hancur lebur dan lenyap bersama angin. Dia tidak sok tahu. Hanya berusaha memahami. Bahwa luka oleh cinta bisa dibasuh ...
Posting Terkait
NARSIS (6) : TENTANG CINTA, PADA TIADA
Dia, yang menurutmu tak pernah bisa kamu mengerti, adalah dia yang kamu cinta. “Jadi apakah itu berarti, kamu membencinya?” tanyaku penuh selidik suatu ketika. “Ya, aku menyukai dan membencinya sekaligus, dalam sebuah ...
Posting Terkait
NARSIS (2) : BINTANG DI LANGIT HATI
Konon, katamu, secara zodiak kita berjodoh. Aku berbintang Aries, Kamu Sagitarius. Persis seperti nama depan kita : Aku Aries dan Kamu Sagita. Cocok. Klop. Pas. Kamu lalu mengajukan sejumlah teori-teori ilmu astrologi yang konon ...
Posting Terkait
NARSIS (18) : SEMESTA KANGEN, DI BRAGA
ita selalu nyata dalam maya. Selalu ada dalam ketiadaan. Selalu hadir dalam setiap ilusi. Begitu katamu. Selalu. Entahlah, terkadang aku tak pernah bisa memahami makna kalimatmu. Absurd. Aneh. Juga misterius. Bagaimanapun kamu ...
Posting Terkait
NARSIS (11) : KINANTI MENANTI JANJI
Rintik gerimis senja selalu membawa lamunanku padamu. Ketika irisan-irisan air itu jatuh dari langit, kau akan senantiasa memandangnya takjub dari balik buram kaca jendela. Menikmatinya. Meresapinya. Tak berkedip. "Menikmati gerimis senja ...
Posting Terkait
NARSIS (14) : RAHASIA KEPEDIHAN
Sebagaimana setiap cinta dimaknai, seperti itu pula dia, dengan segala pesona yang ia punya menandai setiap serpih luka jiwanya sebagai pelajaran gemilang. Bukan kutukan. Apalagi hukuman. Perih yang ada di ...
Posting Terkait
NARSIS (19) : ZIARAH PADA KELAM KENANGAN
NARSIS (5) : TAKDIR CINTA
NARSIS (12) : BALADA LELAKI PETANG TEMARAM DAN
PADA SAMPAN YANG SENDIRI
NARSIS (15) : JARAK RINDU
NARSIS (8) : TENTANG DIA, YANG PERGI MEMBAWA
Protected: NARSIS (9) : UNTUK PEREMPUAN BERMAHLIGAI REMBULAN
NARSIS (7) : BIARKAN AKU MENCINTAIMU DALAM SUNYI
NARSIS (10) : KESEMPATAN KEDUA
NARSIS (13) : ASMARA, SUATU KETIKA..
NARSIS (16) : BISIKAN HATI , PADA LANGIT
NARSIS (6) : TENTANG CINTA, PADA TIADA
NARSIS (2) : BINTANG DI LANGIT HATI
NARSIS (18) : SEMESTA KANGEN, DI BRAGA
NARSIS (11) : KINANTI MENANTI JANJI
NARSIS (14) : RAHASIA KEPEDIHAN

6 comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.