Life was like a box of chocholates
You never know
What you’re gonna get
-Tom Hanks, Forrest Gump,1994
Saskia tersenyum tipis setelah membaca sekilas potongan kutipan ungkapan yang ditulis diatas sebuah “post-it” warna kuning disamping komputer Ria.
“Artinya dalem kan’?” ujar Ria seperti menebak arah fikiran kawan dekatnya itu.
Saskia mengangguk.
“Kamu koq sempat-sempatnya nulis dan pasang ungkapan konyol kayak gitu sih ? Di samping komputer lagi. Norak banget deh!” komentarnya lugas.
Ria terkekeh pelan.
“Lucu sekaligus mencerahkan, Sas. Membacanya tiap hari, membuatku untuk senantiasa merenung bahwa, dalam hidup ini apa yang kita jalani belum tentu sama dengan apa yang kita inginkan. Seperti sekotak cokelat,” sahut Ria seraya menepuk pundak Saskia.
“Yaa..paling tidak,”lanjutnya, “aku mesti berusaha agar apa yang aku capai dalam menjalani kehidupan cukup sesuai dengan apa yang aku inginkan. Meski tidak persis-persis amat. Yang penting ada usaha ke arah sana. Dan itu, you know, membahagiakan”.
Saskia manggut-manggut mafhum. Ria meraih kursi dan mempersilahkan Saskia duduk disana. Ia sendiri memilih duduk dipinggir meja kerjanya tepat disamping kursi tersebut.
“Duduklah, say. Aku tahu kamu sedang ada masalah. Wajahmu terlihat begitu kusut, tidak seperti Saskia yang aku kenal dulu. Coba katakan mudah-mudahan aku bisa bantu,” kata Ria lembut.
Saskia mendesah dan segera duduk di kursi yang disodorkan sahabat baiknya itu..
“So, what’s your problem my dear ?” tanya Ria penasaran. Ia menatap lekat mata Saskia penuh selidik.
“Apa pendapatmu tentang kesempatan kedua?” Saskia balik bertanya. Ria tergagap bingung.
“Maksudmu?”
“Begini aja deh. Aku buat lebih simpel. Andaikata, suatu ketika seseorang dari masa lalu, yang pernah menjalin kasih cinta denganmu namun keberadaannya sudah kamu lupakan saat ini, tiba-tiba datang padamu, memohon kesempatan kedua untuk bersamamu lagi, apa yang kamu lakukan ?” ujar Saskia.
Ria tercenung sejenak lalu kembali menatap tajam Saskia ibarat Detektif Partikelir yang mencoba membongkar sebuah misteri pembunuhan.
“Apakah hal itu terjadi padamu,Sas?”
“Heh!, jawab dulu doong, koq malah nanya?” protes Saskia geli.
“Oke. Menurutku begini,” jawab Ria hati-hati. “Untuk memberi kesempatan kedua, yang pertama aku lakukan adalah harus tahu apa latar belakang, motivasi, serta seberapa tulus dan serius ia mengajukan penawaran itu. Kalau sekedar gombal, sorry aja yee..there’s no second chance for him,” lanjutnya bersemangat.
“Lantas bagaimana cara kamu menakar keseriusan dan ketulusannya?”, tanya Saskia lagi seraya memperbaiki letak duduknya.
“Hmmm..itu perlu proses, Sas. Setelah sekian lama waktu berlalu, masa’ dengan serta merta aku mengabulkan keinginannya untuk bersama lagi, memberinya kesempatan kedua begitu cepat. Tidak segampang itu. Apalagi mungkin pada saat yang sama aku sudah memendam rapat-rapat kenangan bersamanya dulu dan memulai hubungan yang baru dengan seseorang. Bukankah ini malah bikin makin runyam?. Makanya, menurutku, untuk menakar ketulusan dan keseriusannya, dia perlu diuji”.
“Diuji?”
“Ya. Diuji. Semakin besar keinginannya untuk memohon kesempatan kedua, maka semakin besar pula tingkat ujian yang diberikan”.
“Tega amat sih kamu?. Koq bukan malah sebaliknya?”
“Mesti begitu jalannya, Sas. Menurutku, kita akan mengerti dalamnya sebuah ketulusan hati adalah ketika yang bersangkutan berhasil melalui tantangan paling berat yang kita berikan. Bentuk dan parameter pengujiannya ditentukan dari diri kita sendiri termasuk untuk menentukan apakah ia lulus dari ujian yang kita berikan” sahut Ria diplomatis.
Saskia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
“Kamu udah seperti seorang psikolog handal yang memberi ceramah seorang psikopat kambuhan”, ucapnya spontan.
Ria tertawa lepas.
“Sas, harga sebuah ketulusan itu mahal. Sangat mahal malah. Persoalannya, kita terkadang terbuai dan akhirnya tertipu pada ketulusan yang semu. Ini berbahaya. Terlebih ketika kita mencoba membangun kembali puing-puing komitmen yang pernah hancur dimasa lalu. Menjadi sia-sialah adanya. Kesempatan kedua itu ibarat keping mata uang dengan dua sisi berbeda. Ia bisa menjelma menjadi bumerang yang mematikan atau sebaliknya menjadi cahaya kebahagiaan,” tutur Ria.
Saskia menggigit bibir dan mencerna kalimat demi kalimat Ria dengan seksama.
“Tapi perlu kamu tahu Sas, aku senantiasa memegang prinsip, tidak akan memberikan kesempatan kedua pada lelaki yang telah menyia-nyiakanku, menelantarkanku dan membuatku menderita. Tak akan. Aku lebih baik membuka lembaran baru kehidupan dan berusaha untuk tidak mengulangi kebodohan dimasa lalu. Tak ada kesempatan kedua dalam kamusku,” ucap Ria tegar.
“Meski lelaki yang kamu maksud tadi sudah mengungkapkan penyesalan, menyampaikan maaf dan berjanji tidak akan mengulang kesalahan serupa dimasa datang?. Kamu koq jadi kejam begitu sih?”tanya Saskia heran.
Ria terkekeh. Ia meraih tangan sahabatnya dan menggenggamnya erat-erat. Mengalirkan keyakinan. Juga kekuatan.
“Sas, seperti ungkapan Forrest Gump di “post-it” ku, kehidupan yang kita jalani terkadang tidak persis sama seperti yang kita inginkan. Namun itu tidak berarti kita menyerah pada keadaan. Maksudku begini, ketika ada kesempatan untuk mengelak dari ketidakberuntungan dan nasib buruk di masa lalu, why not?. Toh dunia telah menawarkan begitu banyak pilihan. Juga kemungkinan. Dan kita, pada saatnya harus siap menghadapi resiko atas pilihan yang kita buat dan kemungkinan yang menyertainya,” ujar Ria setengah berbisik.
Saskia mendengarkan penuh minat.
“Jadi soal kesempatan kedua itu, my dear Saskia,” tambah Ria seraya mempererat genggamannya,”kembali ke setiap pribadi masing-masing orang untuk menerimanya atau tidak. Itupun sebuah pilihan yang berisiko, sama ketika aku menentukan untuk tidak akan memberikan kesempatan kedua bagi lelaki yang telah membuat hatiku luka berdarah-darah. Jika kamu menentukan pilihan yang berbeda denganku. That’s fine. Itu adalah hak setiap individu. Siapa tahu justru itu jalan terbaik dan membuat hidupmu jauh lebih bermakna. Namun aku hanya mengingatkan, be careful, watch up your step!,” sambung Ria menyambut kontak mata takjub dari Saskia.
“Tak kusangka kamu punya perspektif secerdas ini, Ria,” goda Saskia seraya mencubit gemas pipi tembem kawan dekatnya itu.
“Ngawuuurr..aku memang udah cerdas dari sononya koq!” balas Ria sambil meleletkan lidah.
Mereka tertawa berderai.
“Nah, Sas. Tell me. Apakah perumpamaan yang kamu ceritakan tadi, sama seperti yang terjadi padamu sekarang ?” tanya Ria setelah tawa mereka mereda.
Saskia menghela nafas panjang. Terasa ada beban berat menghimpit dadanya. Ria menatap prihatin sahabat dekatnya itu terlebih saat melihat pelupuk mata Saskia mulai basah oleh airmata.
“It’s OK, say. Kalau berat kamu ungkapkan padaku, no problem. Aku akan selalu memastikan ada disampingmu, untuk mendengarmu dan membagi bebanmu padaku. Any time,” hibur Ria sambil menyeka air mata di pipi Saskia dengan punggung tangannya.
“Thanks, Ria,” ucap Saskia lirih. “Aku balik dulu ke meja kerjaku ya,” lanjutnya sambil beranjak dari kursi.
Ria mengangguk dan mengambil selembar tisu dari dekat mejanya lalu menyerahkannya ke Saskia.
“Sas,” panggil Ria pelan.
“Ya?” tanya Saskia yang baru saja akan meninggalkan meja kubikal Ria.
“Be Strong!” ujar Ria sambil mengepalkan tinjunya ke udara dan memamerkan senyum manisnya.
Saskia balas tersenyum. “Pasti!” sahutnya mantap.
-***-
Saskia tersenyum tipis. Keputusan sudah ditetapkan. Hidup ini memang seperti sekotak coklat, kamu tak akan pernah tahu apa yang kelak akan kamu dapatkan, gumam gadis manis itu lirih, mengulang ungkapan Tom Hanks pada “post-it” Ria.
Diliriknya lagi monitor komputer dihadapannya. Kepuasan menggayuti batinnya.
Ada email buat “seseorang” di file “Sent Item”-nya. Ia baru saja mengirimkan email penting pada lelaki itu. Sebuah Puisi:
Adakah kerlip bintang di langit
dan spektrum cahayanya yang berkilau
menerangi jernih bola matamu
adalah tanda
harapan masih terbersit disana?
Setelah luka kehilangan itu perlahan pudar jejaknya
dan kita kembali mengais-ngais remah-remah kenangan
yang tersisa
lalu menyatukannya kembali di kanvas hati
“Rindu selalu bisa melenyapkan jarak, juga pilu,” katamu pelan
Kita lantas merayakan kesempatan itu
dengan menatap langit malam bersama
mengamati setiap pijar noktah bintang
yang pendarnya membasuh lembut perih batin
dari dua tempat yang berbeda
hingga rintih ratap
lenyap mengendap
Pada akhirnya, memang,
kita tak bisa memutar waktu kembali
pada titik dimana kita menginginkannya
dan ketika bentang jarak antara kita
kian jauh menggapai cakrawala
kuhayati setiap pancaran bening nuansamu
bagai mendekapmu erat
dalam mimpi yang tak berkesudahan
