INTELIJEN BERTAWAF : ULASAN DALAM KEBERSAHAJAAN ARTIKULATIF
Judul Buku : Intelijen Bertawaf , Teroris Malaysia dalam Kupasan
Karya : Prayitno Ramelan
Editor : Pepih Nugraha
Penerbit : Grasindo, 2009
Tebal : 227 halaman
Cetakan : Pertama, November 2009
Kisah Intelijen, selalu menarik, karena laksana kisah alam gaib. Banyak yang merasa tahu tapi hanya bisa mengira-ngira. Demikian prolog tulisan Pak Prayitno Ramelan di salah satu artikelnya dalam buku “Intelijen Bertawaf” (selanjutnya saya sebut sebagai IB) dibawah judul “Adam Malik Agen CIA?”.
Ya, saya setuju dengan pernyataan ini.
Dunia Intelijen bagi saya sebagai orang awam sekaligus “orang sipil” tak ubahnya bagai sebuah dunia penuh misteri, penuh teka-teki, tapi selalu bikin penasaran. Daya tariknya membetot dan membangkitkan rasa ingin tahu , namun kerapkali menimbulkan rasa gentar di hati, layaknya menyelami lebih dalam dunia gaib.
Sebagai salah satu penikmat tulisan-tulisan Pak Prayitno di Blog Kompasiana, kehadiran buku IB melengkapi sebuah “puzzle” dalam pemikiran saya untuk memahami—dalam kerangka fikir lebih sederhana—mengenai sisi menarik dari dunia Intelijen. Pak Pray—demikian “nama mesra” Pak Prayitno Ramelan yang pada tanggal 22 Oktober 2009 lalu dinobatkan sebagai Bapak Publik Kompasiana—dengan lancar dan tangkas bertutur tentang banyak hal mengenai beragam aspek mulai soal Perang Intelijen dalam Pilpres, Kisah sang teroris payah, Cerita dibalik jatuhnya Helikopter TNI AU, Narasi seputar terorisme, aksi Noordin M Top dan kawan-kawan, soal Penyadapan Rani dalam kasus Pembunuhan Nazruddin Zulkarnain hingga Pengalaman Pak Pray terhindar dari bom di JW Marriot.
Seluruh rangkaian kisah ini di “hidangkan” kepada pembaca dengan racikan yang gurih, analisa yang cerdas mendalam disertai humor renyah yang kerap membuat kita menyunggingkan senyum. Sebagai Pensiunan Perwira Tinggi TNI AU dengan pangkat Marsekal Muda, Pak Pray meramu pengalamannya sebagai mantan Penasihat Menteri Pertahanan Bidang Intelijen dengan kemampuan penulisan ala blogger dengan perspektif jurnalisme warga dalam rangkaian tulisan-tulisan di buku IB yang menghasilkan sebuah produk “dashyat” : meneropong “dunia misteri” intelijen secara komprehensif, tajam dan lugas dalam kebersahajaan artikulatif, independen dan memiliki sentuhan personal yang menyentuh. Gaya bahasa populer yang disajikan Pak Pray dalam buku yang diluncurkan pada tanggal 5 Desember 2009 di apartemen Essence Jakarta Selatan ini, membuat pembaca tidak merasa “berjarak”, karena disampaikan secara lancar mengalir dan “gaul”. Membaca buku ini laksana sedang bercakap akrab dengan Pak Pray di sebuah beranda menjelang senja sembari menikmati teh manis serta hidangan pisang goreng hangat.
Judul buku yang cukup “menggelitik” menjadi salah satu daya tarik awal buku ini dan mungkin saja akan melecut kontraversi. Pak Pray mengulasnya dengan lincah serta dikaitkan dengan contoh aktual yang ada. Pada halaman 63, Pak Pray menjelaskan mengapa Intelijen itu harus bertawaf.: Tawaf itu, menurut Pak Pray yang juga adalah putra dari Ran Ramelan seorang tokoh betawi dan oleh pemerintah dianugerahi sebagai “wartawan tiga zaman” negeri ini, adalah kodrat Ilahi, jangankan manusia, alam semesta saja bertawaf. Bulan bergerak mengelilingi bumi, bumi mengelilingi matahari. Matahari sebagai bagian salah satu Bimasakti mengelilingi induknya. Bimasakti juga bergerak. Jadi hakikat tawaf adalah “gerak.” Yang patut diingat, gerak dalam hakikat tawaf adalah gerakan yang teratur dan terstruktur. Baik itu gerakan yang sudah menjadi ketentuan Tuhan, seperti gerakan jagat raya tadi. Disisi lain ada pula katagori gerakan, dimana Tuhan memberi manusia keleluasaan untuk menentukan polanya. Konsekuensi logisnya, ya harus ditanggung sendiri oleh si manusia itu.
Banyak contoh, misalnya perjalanan industri minyak kita. Pada awal 70-an, Pertamina adalah guru yang mengajari Malaysia membangun “oil industry.” Lihat kini, setelah 40 tahun, kondisinya berubah drastis. Petronas sudah ’sprint’, pertamina masih saja ‘warming up’. Dengan sumber daya alam Indonesia yang sangat kaya raya, agak aneh kalau kita masih import minyak. Mungkin ini disebabkan kebijakan masa lalu, atau sebab-sebab lainnya. Apapun alasannya, hakikatnya sangat jelas. Petronas melakukan tawaf secara sistematis dan terstruktur pada 40 tahun terakhir. Sebaliknya pengelolaan Pertamina, mungkin bertawaf, mungkin juga tidak. Andaipun bertawaf pasti memakai gaya bebas.
Uraian pragmatis Pak Pray disertai contoh kasus (plus sentilan kritis) didalamnya mengantar pemikiran pembaca untuk mendapatkan sebuah lanskap nyata tentang paparan sederhana analisis intelijen ala Pak Pray. Pada beberapa tulisan lain Pak Pray juga mencantumkan ulasan-ulasan yang jernih dan tangkas. Dalam tulisan “Perang Intelijen dalam Pilpres” di halaman 22 misalnya, Pak Pray menuliskan adanya dugaan bahwa BIN dan TNI ikut berperan dalam Pilpres 2009 bahkan konon ada pihak intelijen luar negeri ikut “bermain”. Pak Pray mengulas topik ini dengan lebih dulu menguraikan filosofi intelijen yang seperti saya kutip dari tulisan beliau “Apabila dilihat dari fungsinya maka intelijen melakukan kegiatan penyelidikan, pengamanan dan penggalangan. Baik sebagai organisasi, kegiatan maupun fungsinya maka semuanya itu harus dimulai dengan recruitment, seleksi, pendidikan dan penugasan. Dari sederet panjang tuntutan mutlak yang ada pada tiap calon rekrut ialahintegritas pribadi, loyalitas dan kemampuan profesional. Integritas pribadi merefleksikan sosok seorang yang jujur, dapat dihandalkan, satu kata dengan perbuatan, memiliki keberanian moral, adil dan bijaksana. Loyalitas, atau kesetiaan, mengandung keteguhan akan komitmen seseorang kepada misi yang diembannya, kepada etika profesinya, kepada organisasinya, dan terutama kepada bangsa dan negaranya, diatas segala-galanya tanpa pamrih. Sosok dan lembaga intelijen tidak boleh menyimpangkan kesetiaannya kepada kelompok atau golongan, atau kepentingan-kepentingan sempit di luar kepentingan nasional. Memang dalam “pakem” intelijen, kesetiaan intelijen hanyalah kepada “user” atau pengguna, disebut sebagai single client. Dalam kedudukan BIN, organisasi akan setia penuh kepada Presiden sebagai user, bukan kepada pribadi”.
Pada ulasan selanjutnya, Pak Pray menampilkan analisis betapa istilah terjadinya “Perang Intelijen dalam Pilpres” sungguh bukanlah merupakan terminologi yang tepat. Penggunaan ilmu intelijen, ungkap Pak Pray, seperti pembentukan opini, negative campaign, black campaign memang nampak telah digunakan. Tetapi dinilai bukan sebagai sebuah hasil dari operasi intelijen lingkup besar yang terencana dengan matang. Menutup ulasannya, Pak Pray menyatakan,”Yang penting kini bagi para calon presiden dan wakil presiden sebaiknya lebih hati-hati dengan masukan yang nampaknya baik tetapi kemudian justru menimbulkan polemik yang merugikan citranya”.
Hal menarik yang terdapat dalam buku ini adalah adanya rangkaian komentar terpilih para pembaca di Blog Kompasiana, yang–seperti ciri khas Pak Pray–dibalas satu persatu dengan pembahasan yang komprehensif, santai dan cerdas.
Saya dan Pak Pray saat peluncuran buku karya Pak Chappy Hakim”Cat Rambut Orang Yahudi” di Airman Planet Lounge , Hotel Sultan 1 Agustus 2009
Diskusi tentang materi yang ditulis Pak Pray terjadi secara spontan dan interaktif. Kelebihan Blog yang memiliki unsur “percakapan” didalamnya melalui komentar pembaca menjadi nilai tambah tersendiri. Dan dengan mencantumkan “percakapan” tadi dalam buku justru akan memperkaya perspektif materi yang dibahas bahkan semakin memperdalam esensi materi yang dipaparkan. Hanya saja, saya menangkap ada kekurangan disini, dimana ada komentar yang ditayangkan dibuku merujuk pada komentar sebelumnya, akan tetapi komentar tersebut tidak terpilih dan “beruntung” untuk dipajang dibuku ini. Terkesan ada “missing link” memang, tapi secara umum tidak terlalu signifikan, karena uraian yang diberikan Pak Pray menanggapi komentar tersebut relatif sudah menjelaskan dan merangkum semuanya.
Akhir kata, selamat dan sukses untuk Pak Pray atas buku IB ini. “Old Soldier never die, they just fade away,” demikian kutipan Jenderal Douglas Mc Arthur yang dikutip pada pengantar buku ini. Terbukti, meski sudah memasuki masa purnawira, Pak Pray tidak “redup” (atau “fade away”) bahkan menghasilkan karya yang bernas dan bermanfaat untuk generasi sesudahnya.
Saya tetap menantikan kehadiran Buku Pak Pray berikutnya.
Pingback: WAWANCARA BERSAMA BAPAK BLOGGER KOMPASIANA, PRAYITNO RAMELAN : “MENULIS ADALAH BAGIAN IBADAH SAYA” / Catatan Dari Hati
Pingback: Wawancara Bersama Bapak Blogger Kompasiana, Prayitno Ramelan: “Menulis Adalah Bagian Dari Ibadah Saya” | Komunitas Blogger Bekasi
Pingback: Wawancara Bersama Bapak Blogger Kompasiana Prayitno Ramelan: “Menulis Adalah Bagian dari Ibadah Saya”
Pingback: BUKU KOPI SUMATERA DI AMERIKA : MENGEJA AKSARA KEHIDUPAN DI NEGERI PAMAN SAM / Catatan Dari Hati