NARSIS (14) : RAHASIA KEPEDIHAN
Sebagaimana setiap cinta dimaknai, seperti itu pula dia, dengan segala pesona yang ia punya menandai setiap serpih luka jiwanya sebagai pelajaran gemilang. Bukan kutukan. Apalagi hukuman. Perih yang ada di hati memang memberi jejak kepahitan dan warna kelam dari sebuah perjalanan.Tapi apa yang terjadi bukanlah sebentuk ketidakberdayaan dan kepasrahan menanggulangi kesedihan.
“Ini,”katanya dengan suara serak,”Bagian dari proses. Menuju cinta. Ketabahan menghadapinya adalah kemenangan atas ego dan amarah yang liar mendesak batin. Setiap waktu. Aku belajar untuk tegar dari rasa sakit, kepedihan, dan setiap tetes airmata yang jatuh. Menyimpannya rapat-rapat. Hingga waktu melerai segala gundah, hilang, hingga bahagia mengemuka. Suatu ketika”.
Senja terlihat memerah di batas cakrawala saat ia meraih cangkir cappuccino, menyeruputnya perlahan seakan meresapi setiap teguk membasahi tenggorokan.
“Hidup ini harus dirayakan, bukan diratapi. Tak ada yang patut disesali. Karena apa yang tengah dan telah kita jalani sekarang adalah hasil pilihan-pilihan kita sendiri sebelumnya. Soal apakah kelak itu adalah pilihan keliru, bukanlah jalan terbaik untuk mencari siapa yang salah. Tapi kita mesti menghadapinya, sebagai resiko atas segala konsekuensi”, katanya dengan sorot mata tajam menikam.
Ia lalu menggenggam tangan sahabatnya erat-erat seraya berkata lirih dengan intonasi tegas,”Bangkitlah!. Kamu berhak untuk bahagia! Patah hati seharusnya membuatmu kuat, bukan lembek begini. Come on my friend, hidup ini terlalu indah untuk dinikmati”.
Mereka lalu berpelukan. Erat sekali.
****
Perempuan itu menatap nanar layar monitor komputer dihadapannya.
Disampingnya tergolek pakaian badut yang kerap kali digunakannya mencari nafkah di sebuah taman bermain. Tak ada satupun keluarga maupun kawan-kawannya yang tahu apa profesi sebenarnya. Ia enggan membagi kisahnya, pada siapapun. Tidak penting dan tak ada gunanya.
Apa yang dilakoninya saat ini merupakan rahasia dirinya. Yang disimpan rapat-rapat dalam brankas hati. Mendadak ia teringat ucapan Tony Leung yang berperan sebagai Tuan Chow dalam film “In The Mood for Love” (film ini memenangkan teknik film dan aktor terbaik pada festival film Cannes tahun 2000) di adegan percakapan dengan seorang pengunjung warung tempat ia biasa makan.
“Aku akan mencari sebuah pohon tertua di hutan, melubangi batang pohonnya dan membisikkan rahasia pada lubang pohon tersebut. Aku akan menutup lubang tersebut dengan lumpur atau sejenis tanah basah lainnya. Menunggunya hingga kering seraya menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat. Dan beban itu telah terbagi. Rahasia itu telah tersimpan baik pada tempatnya”
Perempuan itu tersenyum sendiri dan membayangkan ada berapa banyak pohon yang dibutuhkan oleh penduduk dunia ini untuk menyimpan rahasia yang tak ingin dibaginya?. Lantas pertanyaan-pertanyaan lain datang mendera, bagaimana jika suatu waktu pohon itu ditebang, dipotong-potong dan menjelma jadi bentuk berbeda, apakah rahasia itu tetap akan aman disana?. Perempuan itu menghela nafas panjang. Rahasia itu mungkin tetap aman disana, dalam daging pohon, di wujud apapun, tak perduli seperti apa bentuknya. Ia lalu terkekeh pelan. Kenapa ia tiba-tiba jadi melankolis dan konyol begini?.
Jemarinya lalu menari pelan tuts-tuts keyboard netbooknya. Sebuah puisi lahir disana.
Menelisik potongan rindu yang entah kau letakkan dimana
seperti mengais serpih-serpih kenangan yang tercecer
bersama debu jalanan, belukar ilusi, hening malam dan
nyala lampu mercury yang membias hangat, memantulkan cahaya
pada genangan air di pinggir jalan
Gigil kangen ini, katamu pilu, serupa tatih langkahku yang gamang
meniti dari sunyi ke sunyi dengan tembang lirih melantunkan namamu
Kita merangkai segala kisah lama itu pada berlembar-lembar puisi
mencatatnya dengan jemari gemetar seraya meniupkan asa
pada setiap jejeran huruf yang menandai memori kolektif kita
Lembayung pucat dan semilir angin bertiup lembut
memahat getar asmara kita di langit,
menyisakan spektrum keheningan,
saat kita memulai pendakian hasrat itu sendiri-sendiri
lalu memandangnya dari kejauhan dengan tatap nanar
sambil berbisik lirih: bentang jarak adalah niscaya namun
cinta adalah episode yang tak akan usai dan
padam cahayanya di tungku hati..
Perempuan itu menangis seusai membaca kembali puisi yang baru saja ditulisnya.
Ia, sesungguhnya tak setegar seperti yang dibayangkan banyak orang. Tak sekuat dari apa yang ia sangka. Bahkan oleh sahabat terbaik sekalipun yang telah ia berikan nasehat terhebatnya untuk tetap tabah menerima segala nasib buruk yang menimpa, petang tadi di sebuah cafe.
Aku rapuh. Sangat rapuh, keluhnya pilu.
Pengkhianatan pedih yang dilakukan oleh lelaki pujaan hatinya membuatnya terpuruk dalam jurang kesedihan dan kesunyian. Ia memilih untuk diam. Menyimpan segalanya dalam hati. Membiarkannya lapuk sendiri seiring waktu. Tapi ternyata itu tak mudah. Melupakan segala kenangan manis bersama lelaki itu butuh perjuangan berat, tidak sekedar membakar foto-foto bersamanya, surat-suratnya atau menghindari untuk pergi ke tempat-tempat dimana mereka sering kesana.
Ia memang bisa berusaha terlihat tegar, kuat dan optimis, tapi itu bukan dia. Tetap saja, ia adalah perempuan yang tak bisa berdamai dengan masa lalu bahkan dengan menutupi diri sebaik mungkin sebagai badut di sebuah taman hiburan. Kenangan buruk itu senantiasa membuatnya limbung dan kehilangan kendali.
Perempuan itu menyeka air matanya. Bagaimanapun semua ini harus diakhiri. Secepatnya.
****
Perempuan itu meletakkan pisau yang baru saja dipakainya membuat sebuah lubang di pohon pada tempat tersembunyi di taman hiburan tempatnya bekerja. Kepala badut yang berat diletakkan disebelah kakinya. Ia lalu melangkah pelan, mendekatkan mulut pada lubang pohon dan berucap lirih:
Jika Suatu Ketika Kita Tak Bersama Lagi
Aku ingin kau mengenang
segala kisah tentang kita
yang telah terpahat rapi di rangka langit
bersama segenap noktah-noktah peristiwa
juga canda dan pertengkaran-pertengkaran kecil
yang mewarnai seluruh perjalanan kita
Dalam Lengang, Tanpa Kata
Jika Suatu Ketika Kita Tak Bersama Lagi
Aku ingin kau tetap menyimpan
setiap denyut nadi yang berdetak
dan degup cepat debar jantung
saat mataku memaku matamu
disela derai gerimis menyapu beranda
kala kita pertama bertemu di temaram senja
Dalam Sepi, Tanpa Suara
Jika Suatu Ketika Kita Tak Bersama Lagi
Aku ingin kita meletakkan segala perih itu
disini, pada titik dimana kita akan berbalik
dan menyimpan senyum dibelakang punggung masing-masing
lalu membiarkan waktu menggelindingkannya
hingga batas cakrawala
bersama sesak rindu tertahan didada
Dalam Diam, Tanpa Airmata
Jika Suatu Ketika Kita Tak Bersama Lagi
Aku ingin cinta itu tetap tersimpan rapi
pada larik bianglala, pada hujan, pada deru kereta,
pada embun di rerumputan, pada pucuk pepohonan
sembari memetik mimpi yang telah kita sematkan disana
lalu mendekapnya perlahan
Dalam Sunyi, Tanpa Cahaya
Jika Suatu Ketika Kita Tak Bersama Lagi
Aku ingin kita akan tetap saling menyapa
lalu merajut angan kembali
seraya meniti ulang segala jejak yang sudah kita tinggalkan
lantas menyadari bahwa menjadi tua adalah niscaya
dan untuk itu kita tak perlu ambil peduli
karena kita tahu
Dalam Lengang, Tanpa Kata
Dalam Sepi, Tanpa Suara
Dalam Diam, Tanpa Airmata
Dalam Sunyi, Tanpa Cahaya
Ada Bahagia
Untuk Kita
Hanya Kita…
Perlahan ia menutup lubang itu dengan tanah basah. Tak ada airmata mengalir.
Ia lalu melangkah ringan kedepan. Hidup ini, memang terlalu indah untuk dinikmati..
Cikarang,18 Februari 2011
Catatan:
Kisah-kisah Narsis (Narasi Romantis) lainnya bisa anda nikmati di Buku NARSIS. Silahkan baca cara memperoleh buku tersebut disini.
Sedih sekali membaca puisinya. :'( Tapi bagus banget loh puisinya, aku suka banget. Terus berkarya ya!
saya terharu