XLNETRALLY(5) : JEJAK LAKSAMANA CHENG HO DI KAWASAN SAM POO KONG
Memasuki kawasan ini, kami semua seperti diantar pada nuansa Tiongkok yang kental. Bangunan-bangunan yang didominasi warna merah dan bercorak arsitektur Cina tiba-tiba mengingatkan saya pada film-film kungfu Shaolin kegemaran saya. Tentu sangat jauh berbeda dengan apa yang kami temui sebelumnya di Lawang Sewu yang didominasi arsitektur Art Deco ala Eropa.
Terdapat sejumlah anjungan yaitu Klenteng Besar dan gua Sam Po Kong, Klenteng Tho Tee Kong, dan empat tempat pemujaan (Kyai Juru Mudi, Kayai Jangkar, Kyai Cundrik Bumi dan mbah Kyai Tumpeng). Klenteng Besar dan gua merupakan bangunan yang paling penting dan merupakan pusat seluruh kegiatan pemujaan. Gua yang memiliki mata air yang tak pernah kering ini dipercaya sebagai petilasan yang pernah ditinggali Sam Po Tay Djien (Zheng He)
Pada situs Visit Semarang disebutkan:
Menurut cerita, pada awal abad ke-15 Laksamana Zheng He sedang mengadakan pelayaran menyusuri pantai laut Jawa dan sampai pada sebuah semenanjung. Karena ada awak kapal yang sakit, ia memerintahkan mendarat dengan menyusuri sebuah sungai yang sekarang dikenal dengan sungai Kaligarang. Ia mendarat disebuah desa bernama Simongan. Setelah sampai didaratan, ia menemukan sebuah gua batu dan dipergunakan untuk tempat bersemedi dan bersembahyang. Zeng He memutuskan menetap untuk sementara waktu ditempat tersebut. Sedangkan awak kapalnya yang sakit dirawat dan diberi obat dari ramuan dedaunan yang ada disekitar tempat itu.
Setelah ratusan tahun berlalu, pada bulan Oktober 1724 diadakan upacara besar-besaran sekaligus pembangunan kuil sebagai ungkapan terima kasih kepada Sam Po Tay Djien. Dua puluh tahun sebelumnya diberitakan bahwa gua yang dipercaya sebagai tempat semedi Sam Po runtuh disambar petir. Tak berselang lama gua tersebut dibangun kembali dan didalamnya ditempatkan patung Sam Po dengan empat anak buahnya yang didatangkan dari Tiongkok. Pada perayaan tahun 1724 tersebut telah ditambahkan bangunan emperan di depan gua.
Perayaan tahunan peringatan pendaratan Zheng He merupakan salah satu agenda utama di kota Semarang. Perayaan dimulai dengan upacara agama di kuil Tay Kak Sie, di Gang Lombok. Setelah itu kemudian dilanjutkan dengan arak-arakan patung Sam Po Kong di kuil Tay Kak Sie ke Gedong Batu. Patung tersebut kemudian diletakkan berdampingan dengan patung Sam Po Kong yang asli di Gedong Batu.
Tradisi unik ini bermula sejak pertengahan kedua abad ke-19. Pada masa itu, kawasan Simongan dikuasai oleh seorang tuan tanah yang tamak. Orang-orang yang hendak berkunjung ke kuil Sam Po Kong diharuskan membayar sejumlah uang yang harganya sangat mahal. Karena kebanyakan peziarah tidak mampu membayarnya, kegiatan pemujaan kemudian dialihkan ke kuil Tay Kak Sie. Sebuah replika patung Sam Po Kong kemudian dibuat dan diletakkan di dalam kuil Tay Kak Sie. Setiap tanggal 29 atau 30 bulan keenam menurut penanggalan Imlek Cina, patung duplikat tersebut diarak dari Tay Kak Sie ke Gedong Batu yang dimaksudkan agar patung replika tersebut mendapat berkah dari patung asli yang berada di dalam kuil Gedong Batu.
Pada tahun 1879 atau tahun kelima Guang Xu, kawasan Simongan dibeli oleh Oei Tjie Sien. Oei Tjie Sien merupakan ayah dari Oei Tiong Ham, penderma yang juga dikenal sebagai “Raja Gula†Indonesia. Sejak saat itu, para peziarah dapat bersembahyang di kuil Gedong Batu tanpa dipungut biaya apapun dan urusan pengurusan kuil diserahkan kepada Yayasan Sam Po Kong setempat. Pawai Sam Po Kong itu dihidupkan kembali pada tahun 1937 dan terus menjadi daya tarik hingga sekarang.
Kharisma kebesaran nama Laksamana besar Cheng Ho tersirat jelas dalam kawasan ini. Sebagaimana disebutkan di Wikipedia Indonesia, Cheng Ho adalah seorang kasim Muslim yang menjadi orang kepercayaan Kaisar Yongle dari Tiongkok (berkuasa tahun 1403-1424), kaisar ketiga dari Dinasti Ming. Nama aslinya adalah Ma He, juga dikenal dengan sebutan Ma Sanbao /Sam Po Bo , berasal dari provinsiYunnan. Ketika pasukan Ming menaklukkan Yunnan, Cheng Ho ditangkap dan kemudian dijadikan orang kasim. Ia adalah seorang bersuku Hui, suku bangsa yang secara fisik mirip dengan suku Han, namun beragama Islam.
Cheng Ho memimpin tujuh ekspedisi ke tempat yang disebut oleh orang China Samudera Barat (Samudera Indonesia). Ia membawa banyak hadiah dan lebih dari 30 utusan kerajaan ke China – termasuk Raja Alagonakkara dari Sri Lanka, yang datang ke China untuk meminta maaf kepada Kaisar.
Catatan perjalanan Cheng Ho pada dua pelayaran terakhir, yang diyakini sebagai pelayaran terjauh, sayangnya dihancurkan oleh Kaisar Dinasti ching. Majalah Life menempatkan laksamana Cheng Ho sebagai nomor 14 orang terpenting dalam milenium terakhir. Perjalanan Cheng Ho ini menghasilkan Peta Navigasi Cheng Ho yang mampu mengubah peta navigasi dunia sampai abad ke-15. Dalam buku ini terdapat 24 peta navigasi mengenai arah pelayaran, jarak di lautan, dan berbagai pelabuhan.
Kami sangat beruntung datang ke Kawaan Sam Po Kong, karena masih sempat menyaksikan sosok Patung Laksamana Cheng Ho terbesar di dunia yang akan diresmikan Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo, besok malam, Jum’at (29/7). Seperti diberitakan oleh Harian Republika kemarin (27/7) patung setinggi 12,7 meter (tinggi patung 10,7 meter ditambah tempat patung 2 meter) tersebut menggantikan patung lama yang hanya berukuran 1,8 meter.
Patung tersebut sudah tiba dan langsung ditempatkan di Kelenteng Sam Poo Kong sekitar tiga bulan lalu.
Ketua Panitia Penataan Kelenteng Sam Poo Kong, Tutuk Kurniawan,menceritakan pergantian patung Laksamana Cheng Ho tersebut merupakan keinginan kuat dari Gubernur Jateng, Bibit Waluyo. Gubernur menginginkan ada tempat wisata yang dapat menjadi tujuan utama wisata dan terpilihlah Kelenteng Sam Poo Kong.
Demi menjadikan Kelenteng Sam Poo Kong sebagai tempat tujuan wisata, Gubernur menginginkan patung Laksamana Cheng Ho diganti dengan ukuran besar. Keinginan tersebut disambut salah satu umat yang ada di Batam yang menyumbangkan patung Laksamana Cheng Ho.
“Patung tersebut didatangkan langsung dari China. Awalnya mau dibantu patung berukuran 20 meter, akan tetapi karena kesulitan dalam pengiriman akhirnya diputuskan 10,7 meter,” katanya.
Setelah sempat mengabadikan foto dibawah patung Laksamana Cheng Ho yang legendaris dan fenomenal itu, kami, rombongan XL Net Rally bergerak menuju Soto Pak Man yang merupakan tempat kunjungan terakhir kami di Semarang sebelum kembali ke Jakarta.
Bersambung
Catatan:
Foto-foto diambil dari Koleksi Pribadi dan foto mas Priyadi
Saya orang semarang asli.. belum pernah masuk ke sampokong… jaman saya yang berbau sara sangat kental… sekarang sudah jaman demokrasi sehingga orang mudah untuk mengenal dan mengetahui.. Selamat jalan-jalan di kota ‘Semawis’
Pingback: Priyadi’s Place » Blog Archive » XLNetRally 2011