NARSIS (16) : BISIKAN HATI , PADA LANGIT PETANG HARI
Dia tahu.
Tapi tak benar-benar tahu bagaimana sesungguhnya cara menata hati dari kisah cintanya yang hancur lebur dan lenyap bersama angin.
Dia tidak sok tahu.
Hanya berusaha memahami.
Bahwa luka oleh cinta bisa dibasuh dan pulih begitu saja laksana menghapus setitik debu pada kelembutan permukaan kain sutra. Punah sekejap hanya dengan satu sapuan tipis. Sayangnya, ia tak pernah bisa mengerti pemahamannya sendiri ketika menyadari bahwa semuanya tak sesederhana yang ia kira. Segalanya menjadi sangat berbeda ketika ia meyakini, luka itu, sakit itu, ternyata begitu jauh terbenam dalam hatinya, dalam fikirannya. Yang membuatnya terperangkap pada sebuah labirin, yang menyesatkan dan membuatnya seakan menyusuri lorong panjang tanpa ujung.
Perempuan itu menghela nafas panjang. Seperti melepaskan beban berat yang berada di pundak, tapi anehnya nafasnya tetap terasa sesak. “Beban” itu masih ada disana. Tak beranjak. Ia lalu memejamkan mata sebentar. Mengurai semuanya dalam helai-helai kenangan yang berlari cepat dan berkelebat difikirannya, sampai akhirnya berhenti pada satu titik. Satu wajah lelaki dimana ia pernah mendamparkan hati di “dermaganya”. Lelaki yang sesungguhnya kini ingin ia lupakan. Selamanya. Tapi tak bisa.
Ia mengenal lelaki sederhana bersorot mata teduh itu sebagai teman kuliah yang hangat dan menyenangkan. Baginya, berada selalu di dekatnya senantiasa menerbitkan rasa nyaman dan selalu membuatnya merasa dunia begitu ceria berwarna. Selera humor lelaki itu sangat menghiburnya, termasuk keluguannya dalam menyikapi sesuatu.
“Jadilah perempuanku dan bakal ibu untuk anak-anakku,” kata lelaki itu pelan pada sebuah senja yang basah oleh gerimis. Pada keteduhan matanya ia menangkap kepastian dan keyakinan.
Perempuan itu menggigit bibir. Mereka berdua sesungguhnya sangat dekat, tapi berjarak.
“Maaf, aku belum bisa menjawab. Setidaknya untuk saat ini,” jawabnya dengan air mata berlinang.
Kesenjangan sosial yang terjadi diantara mereka menjadi alasan ia mesti menghentikan hubungan ini. Memang ini bukan kehendaknya, namun desakan kedua orang tuanya membuat perempuan itu berada pada sebuah posisi yang sulit dan dilematis. Sebuah persimpangan dan membuatnya bingung menentukan pilihan. Sebagai putri seorang konglomerat terpandang, ia diminta oleh kedua orang tuanya untuk dinikahi oleh putra seorang sahabat mereka yang juga menjadi salah satu orang terkaya di negeri ini.
Sementara lelaki itu, kekasih pujaan hatinya, hanyalah lelaki biasa dan sederhana, putra tunggal seorang petani miskin di sebuah pelosok desa yang jauh. Tapi ia, memiliki segala yang diinginkannya dan itu bukan semata-mata tentang uang. Lelaki itu menawarkan kesempatan mengarungi bahtera kehidupan yang penuh tantangan dan segala dinamikanya, dengan cinta dan kerja keras. Lelaki itu, dengan keyakinannya yang paripurna menyodorkan perlindungan menyeluruh untuknya, sepanjang hidup.
Dia Tahu
Tapi tak benar-benar tahu bagaimana mesti memutuskan untuk keluar dari segala kesulitan ini.
Lelaki itu mendesah pelan, dan mengeluarkan secarik kertas dari kantung jaketnya. Kekecewaan menggelayut di teduh matanya.
“Baca ini, sebuah puisi yang kubuat khusus untukmu. Semoga bisa meredakan segala galau, kecemasan dan keresahan. Percayalah pada bisikan hatimu,” kata lelaki itu sambil mengangsurkan kertas tersebut kepadanya.
“Jangan menangis,” ujar lelaki itu tegas seraya menghapus air mata dipipinya dengan punggung tangan.
“Aku menghormati segala keputusanmu, karena aku yakin itulah pilihanmu yang terbaik. Aku tak akan menghalaunya apalagi meragukannya, sepahit apapun itu, “lanjutnya lagi dengan nada getir. Ia lalu pamit, berbalik dan melangkah pulang. Perempuan itu menatap punggung lelaki itu berjalan menjauhinya dengan hati pilu.
Dia Benar-Benar Tak Tahu.
Bahwa kemudian segalanya bisa berubah begitu cepat. Tak terduga.
Andai saja waktu bisa diputar kembali kebelakang, ia akan segera mengambil keputusan. Sepahit apapun itu. Tapi semua terlambat. Sepulang dari rumahnya, lelaki itu mengalami kecelakaan drastis. Motor yang dikendarainya menghantam truk yang melaju dari arah berlawanan. Nyawanya tak tertolong lagi.
Perempuan itu sangat terpukul. Ia menangis sepanjang hari, menyesali semuanya.
Dia Tahu
Bisikan hatinya bertutur lirih bahwa ia seharusnya memilih lelaki itu. Dan langit petang hari yang sesungguhnya bisa menjadi saksi kebahagiaannya kini larut bersama kelam yang menggantikan senja. Bayangan kenangan indah bersama lelaki itu berlalu di benaknya. Perlahan, ia membuka larik kertas puisi yang diberikan lelaki itu kepadanya. Ia membacanya dengan lirih, dan hati terluka:
Langit dan senja, katamu, adalah paduan cerita tentang harapan dan rindu
yang terserak antara tepian cakrawala hingga batas dimana mentari meredupkan cahayanya
Kita menyaksikan detik-detik berguguran bersama alunan musim yang berlalu dengan perih
Seperti sayatan biola kidung melankolis seorang violis, menyanyikan bait demi bait sajak
tentang asmara yang mengapung pada sebatas pandang
tentang gigil kangen yang kerap membeku pada lidah kelu
tentang asa yang luluh dan jatuh satu-satu disepanjang perjalanan
juga tentang sekeping hati yang rapuh dan sendiri di pucuk malam
Mendung dan hujan, katamu, adalah sebuah lanskap kesunyian
yang menjelma lirih dalam setiap rintik air menerpa kaca jendela
bersama airmata yang merebak bening di tebing pipimu
sementara semesta seakan bersekutu untuk tak peduli
seperti langkahmu, langkah kita, yang juga mencoba abai
pada desir angin yang menghempas deras dan gemuruh ombak yang menghadang
karena pada senja, hujan, detik yang berguguran bersama alunan musim
kita mendendangkan lagu, bersama, melalui selasar waktu tanpa berpaling
Catatan:
Baca kisah-kisah Narsis atau Narasi Romantis lainnya di buku saya. Silahkan lihat cara pemesanannya disini
Pingback: Narsis 16 Bisikan Hati Pada Langit Petang Hari | Ayo Semangat!!!
Pingback: Narsis 16 Bisikan Hati Pada Langit Petang Hari | Ayo Semangat!!!