NARSIS (17) : SEUSAI HUJAN REDA
Pada sebuah sudut cafe yang redup dengan dendang suara Live Music terdengar pelan seraya memandang rimbun asap rokok menyelimuti hampir setengah dari ruangan, kamu mendesah pelan : “Cinta itu adalah fantasi”. Lalu tersenyum. Misterius. Ah, lagi-lagi kamu mengutip ucapan Summer () kepada Tom () dalam film . Ucapan yang selalu aku anggap absurd karena tampaknya itu hanyalah sejenis apologi atas ketidakmampuanmu menepis bayangnya, lelaki yang konon kamu anggap sebagai kekasih sejati tetapi justru hanya menganggapmu tak lebih sekedar teman bercakap belaka dan tak pernah memberi harapan apapun terhadap kelanjutan hubungan kalian.
Entahlah, setelah kepergian lelaki itu, kamu selalu mengidentikkan dirimu sebagai sosok “Summer” dalam film tersebut. Perempuan yang tidak percaya cinta sejati dan menganggap bahwa hidup harus dinikmati sepuasnya, dan karena memang itu sudah seharusnya. Namun aku selalu menangkap kilat mata sedih disana, dibalik segala upayamu untuk tetap tampil sebagai sosok yang tegar.
“Kamu masih mencintai lelaki itu. Matamu tak dapat berdusta,” kataku sambil menatap tajam kearahnya.
Lamat-lamat terdengar sang penyanyi cafe menyanyikan lagu “I’m Yours” dengan nada menghentak tapi terdengar pilu ditelingaku.
Kamu terkekeh pelan. Setelah menyeruput minuman ringan didepanmu kamu bertutur:
“Seperti semua orang yang berusaha menilaiku, kamu tak akan pernah tahu bagaimana diriku sebenarnya, saat ini dan seterusnya,” katamu dengan nada santai. Aku mendesah. Dia masih seperti dulu. Terlalu angkuh untuk mengakui kejujuran yang mengalir lewat matanya yang indah dan selalu kukagumi, diam-diam.
“Oya, aku menemukan puisi ini di tasku kemarin. Entah siapa yang melakukannya. Tapi aku suka,” ujarmu tiba-tiba sembari mengangsurkan selembar kertas ke arahku.
Aku menelan ludah seraya membaca bait demi bait puisi tersebut:
Semburat cahaya senja merah jingga menerpa sendu wajahmu
ketika jemari lentikmu lemah menuding langit
Pada sebuah titik yang engkau namakan “ujung penantian”
dan tak pernah bisa kumaknai secara jelas
apakah itu akan menjadi akhir perjalanan atau justru awal bahagiamu
Disanalah, lanskap kesunyian dan getar kecemasan berpadu bersama kelam malam
ketika langkahmu terpacak jelas pada lembut pasir di pantai Kuta
kau menandainya sebagai kenangan yang kelak akan terhapus oleh deru ombak
dan saat bulan purnama dengan rona pucat di angkasa kau tatap nanar
laksana selaksa perih yang tersimpan lama dalam dada luruh satu-satu bersama kilau sinarnya
“Semestinya, kaulah semestaku,” ucapmu lirih, pada desau angin
Kita telah lama berbincang tentang pilihan-pilihan
juga tentang kemungkinan-kemungkinan yang musykil
Dan sesungguhnya bersama rentetan musim yang telah kita lalui
Segalanya kelak akan menjadi bagian masa lalu tepat ketika kuucapkan salam perpisahan
“Semestinya, kaulah semestaku,” katamu gusar, pada debu yang menderu
Dan aku tetap akan pergi, meninggalkanmu
sembari membawa keping-keping kerinduan tentangmu
yang telah kupunguti satu-satu dengan hati pilu,
pada sudut cafe di Legian, alunan ombak di Sanur dan
gerimis yang menetes di Gianyar
karena sebenarnya,
engkaulah semestaku juga,
semestinya ….
“Bagaimana menurutmu? Sepertinya aku punya penggemar diam-diam ya? Tapi aku yakin itu bukan kamu kok,” tanyamu santai. Aku tersenyum kikuk.
“Puisi yang lebay,” sahutku singkat. Dan kamu menyambutnya dengan tertawa lepas. Aku menghela nafas.
“Aku akan tahu siapa orangnya. Nanti. Dan itu pasti,” katamu tegas seraya merapikan tasmu.
“Mau kemana? Kenapa harus buru-buru?” tanyaku heran.
“Aku mau pulang. Ada keperluan. Yuk, sampai ketemu lagi nanti,” jawabmu bergegas kemudian beranjak pergi.
“Tapi puisi ini?” kataku dengan raut muka bingung sambil memperlihatkan lembar kertas ditanganku
Kamu menoleh sebentar. “Simpan saja. Tidak penting,” tukasmu cepat lalu berbalik dan menghilang.
Aku kembali mendesah pelan. Lembaran puisi itu kutatap lekat dan kulipat rapi lalu kusimpan sebagaimana aku telah meletakkannya di tasmu diam-diam kemarin sore.
Mendadak, hatiku merintih. Perih.
******
Aku menyaksikan derai hujan dan angin menghempas jendela ruang kerjaku. Dari kaca yang buram aku seperti menyaksikan wajahmu disana. Tersenyum lalu menghilang. Aku menggigit bibir. Bayangan parasmu yang cantik selalu mengikutiku kemana saja. Upaya untuk menepisnya termasuk menganggapmu tak lebih sebagai sahabat dan teman kerja saja semuanya sia-sia. Kamu terlalu mempesona dan susah untuk dilupakan.
Mendadak pintu ruang kerjaku diketuk pelan. Aku menoleh dan kaget saat melihat kamu ada disana. Berdiri di terpaku. Menangis.
“Boleh aku bicara?” katamu sembari terisak.
Aku mengangguk. “Boleh, ayo silakan masuk”.
Kamu lalu duduk dihadapanku dengan anggun, menyeka air mata yang menetes dipipi lalu menunduk.
“Ada apa? Apa yang terjadi?” tanyaku dengan nada pelan.
Kamu menghela nafas, menatapku dalam-dalam dan berkata lirih: “Tak ada gunanya menaruh harapan pada sesuatu yang tak pasti. Dan itu menyedihkan. Sakit sekali”
“Kamu bicara tentang lelaki itu?”, tebakku
Kamu mengangguk kemudian menatap hampa ke arah jendela. Rinai hujan masih terlihat disana. Kian deras dengan “jarum-jarum” airnya laksana “memaku” bingkai kaca.
“Dia tidak berminat untuk melanjutkan hubungan lebih serius denganku dan lebih memilih untuk pergi melanjutkan studi ke Amerika bulan depan. Kami sudah berakhir, lebih tepatnya, berakhir secara sepihak,” ujarmu dengan suara serak.
Aku melangkah mendekati, lalu duduk di tepian meja tepat disampingmu.
“Seperti katamu dulu, bukankah cinta adalah fantasi?. Jadi anggap saja kamu baru terbangun dari mimpi indah dan bangkit penuh semangat menghadapi realita. Move on girl!. Seusai hujan berharaplah kita bisa menatap keindahan pelangi dilangit and get your own new fantasy. Aku tahu, itu tak mudah, tapi yakinlah, akan selalu ada cahaya dibalik kelam “, kataku mencoba menghibur.
Kamu menghela nafas sembari tersenyum.
“Kamu sahabat terbaikku, terimakasih atas nasehatmu,” sahutmu tulus.
“Keep your fantasy “On” and get to re-new it, always, my friend“, kataku sambil bercanda.
Kamu tertawa renyah lalu bergegas menghapus air mata disudut pipi.
“Aku pamit dulu, tapi…aku mohon bantuanmu lagi”
Aku mengernyitkan dahi. “Apa itu?”.
Kamu lalu meraih tas, mengambil sesuatu didalamnya dan mengangsurkan secarik kertas ke arahku.
“Puisi misterius lagi dari seseorang?”, tebakku bimbang
Kamu mengangguk mantap.
Aku melihat sekilas kertas tersebut dan segera mengenalinya.
“Terus, bantuan apa yang kamu harapkan dariku?” tanyaku dengan nada resah.
Kamu mendekat kearahku, lalu berbisik lirih.
“Aku tahu kamu mengenal siapa yang mengirimnya, tolong katakan padanya, aku ingin menikmati pelangi bersamanya seusai hujan reda nanti, membangun fantasi dan melerai kelam, selamanya…”.
Aku tercekat dan terpaku saat menyaksikanmu pergi meninggalkan ruang kerjaku dengan langkah ringan.
Perlahan aku membuka kertas puisi itu yang sesungguhnya kuselipkan diam-diam di tasmu kemarin, lalu membacanya, bait demi bait..
Ketika harapan tak terjelmakan dan ilusi tentangmu hanyalah bagian
dari noktah kecil yang bersinar redup di langit malam,
maka segala impian yang telah kita bangun mendadak sirna diterpa angin
sementara kerlip kunang-kunang tetap tak kuasa mempertahankan cahaya
dan lenyap perlahan dalam senyap, dalam gulita yang menyesakkan
Kita menyaksikan kerinduan yang dulunya lekat dalam dekapan,
melayang satu-satu ke pelukan langit bersama tatapan nanar, bisu dan tak rela.
“Entahlah, apakah kamu masih menyimpan residunya dihatimu,” katamu pilu
Sebab cinta, katamu lagi, kelak menemukan bentuknya, kapanpun itu,
pada redup bayang-bayang kepergianmu
juga pada kemilau hadirmu yang sesungguhnya semu
“Entahlah,” kataku getir
Kita akan memaknai residu rindu ini, sebagai lukisan jejak kenangan yang terpatri kekal dihati
atau hanyalah segores luka kecil yang kelak akan pulih dan terbenam bersama lalu waktu
Dan pada pagi dimana kita berdua terbangun nanti
Aku yakin, kita akan sama-sama tersenyum menyaksikan semburat mentari di ufuk
terang menyelusup ruang kamar hingga ke bawah bantal
dimana rasa itu kita simpan rapi
dalam pilu
dalam rindu..
Aku tersenyum. Hujan baru saja reda. Dari balik buram kaca jendela aku menyaksikan selarik pelangi indah melengkung di angkasa. Sembari menghela nafas panjang –berusaha menguatkan diri sendiri, aku membuka pintu ruang kerja. Melangkah pasti menuju ke ruang kerjamu.
Mengajakmu menyaksikan indah pelangi dan melerai kelam. Bersama.
Selamanya..
Cikarang,21 Maret 2012
Foto oleh : Achmad Yasir Baeda
Wahh… Keren…. Ini nyata apa fiksi ya? Tapi nyata ataupun fiksi, kesanku pada postingan ini tetap Keren! great post, senang bisa nyantol disini, hehehe…
Thanks ya atas apresiasinya. Cerita ini murni fiksi kok..
Wow mantap, saya suka kata2 puitisnya
wah, 2 kali aku baca tulisan om yang berbeda judul, bagus banget semuanya om.
Terimakasih ya atas apresiasinya. Yuk beli buku Narsis. Baca caranya di http://daengbattala.com/f-a-q-buku-narsis/