NARSIS (18) : SEMESTA KANGEN, DI BRAGA

Kita selalu nyata dalam maya.

Selalu ada dalam ketiadaan. Selalu hadir dalam setiap ilusi. Begitu katamu. Selalu.
Entahlah, terkadang aku tak pernah bisa memahami makna kalimatmu. Absurd. Aneh. Juga misterius. Bagaimanapun kamu memaknai hubungan kita, aku tetap menganggapnya sebagai jawaban atas keinginanku untuk memiliki seseorang yang bisa diajak berbagi tentang berbagai hal. Apa saja.

Mengenalmu pertama kali lewat jejaring sosial internet, membuatku merasa sangat beruntung “menemukanmu”. Sosok yang kuanggap senantiasa berada dalam mimpi-mimpiku selama ini, menjadi representasi dirimu. Ada. Nyata. Sekalipun kita belum pernah bersua. Percakapan-percakapan penting maupun tidak penting mempertautkan kita di ruang maya. Aku merasa dirimu tak berjarak denganku.

“Aku akan ke Bandung besok, mudah-mudahan bisa ketemu ya. Untuk pertama kalinya,” tulisku dengan jemari gemetar seraya menatap monitor LCD .

Jawaban tak segera datang. Dan beberapa saat kemudian…

“Oke, aku tunggu besok sore di Braga Citywalk ya,” tulismu. Aku menatap nanar barisan huruf demi huruf di ruang chatting. Tak percaya. Seperti mimpi. Kita akhirnya bertemu. Akhirnya.

Aku tersenyum-senyum sendiri dan membayangkan detik-detik saat berjumpa denganmu, sosok yang hanya hadir dalam impian dan angan-angan.

“Kok diam? Jadi gak mau ketemu nih? 🙂 ” godanya

Aku tersenyum. Kamu memiliki selera humor yang menyegarkan.

“Aku pasti datang. Tak akan melewatkan saat pertama bertemu denganmu di Braga,” balasku cepat.

“Siip…jangan lupa, bawakan aku puisi karyamu. Aku selalu senang membaca larik-larik sajakmu. Indah. Bermakna. Menggemaskan!,” sahutnya lagi.

Aku kembali tersenyum. Permintaan spesial ini harus dipenuhi, segera, gumamku bersemangat.

Malam itu aku tak bisa tidur. Waktu terasa berjalan begitu lambat. Aku sudah tak sabar ingin bertemu dengannya. Puisi pesanannya sudah aku tulis dengan cepat, hanya dalam hitungan menit cukup dengan membayangkan wajahnya saja dan betapa berharganya pertemuan pertama kami besok.

***

Kamu akhirnya datang.

Sore itu disebuah cafe Braga Citywalk aku pertama kali menyaksikan dirimu hadir secara nyata dan memaku pandanganku dengan pesona yang begitu cemerlang. Dengan perawakan tubuh yang tinggi semampai, kulit putih dan paras wajah menawan yang sekilas mirip Anne Hathaway membuatku mendadak terkesima untuk beberapa detik.

“Kamu lebih cantik dari foto-fotomu di dunia maya” pujiku tulus.

Kamu tersenyum. Tersipu.

“Yang di dunia maya tidak pakai dandanan spesial. Beda dengan sekarang, jadi persepsimu pasti akan lain,” kilahmu merendah.

“Aku sangat tersanjung, untuk sebuah pertemuan perdana, ada “persembahan” istimewa darimu. Mengejutkan, tapi menyenangkan”, sahutku sembari tersenyum.

Kamu lalu tertawa samar. “Untuk jumpa sang penulis puisi idola, kesan pertama selalu jauh lebih penting, termasuk menyiapkan diri bagi penampilan terbaik”.

Kami lalu terlibat percakapan akrab. Rasanya kami bagaikan dua kawan lama yang baru bertemu kembali setelah belasan tahun kemudian. Perkenalan kami di dunia maya sebelumnya, merekatkan hati kami berdua. Lamat-lamat terdengar “Live Music” mendendangkan lagu “Bizarre Love Triangle” dari Frente. Syahdu dan lembut, melarutkan kami pada nuansa romantis di ruang cafe yang temaram.

“Ngomong-ngomong, aku ingin baca puisi spesial darimu,” katamu pelan.

“Oh, iya..aku lupa, ini dia,” ucapku sambil mengangsurkan selarik kertas padanya.

Aku menyaksikan dengan takjub bagaimana kamu membaca satu persatu bait-bait puisiku. Matamu terlihat berbinar. Indah.

Seperti mendengarkan dongeng cinta yang absurd

Kita selalu terbuai dalam pesona yang kerap kita sendiri tak bisa menafsirkannya

Dan pada malam, ketika bintang berkelip genit di rangka langit

serta rembulan perlahan meredup dibalik awan

Aku akan menyimak segala kisahmu tentang cinta, harapan, impian, kehilangan, juga

ketakutan dan kesunyian yang kadang membuat kita terjebak pada pilihan sulit

 

Seperti menonton film lama dengan gambar-gambar kusam didalamnya

Kita mencoba memaknai setiap serpih perjalanan dan kenangan

sebagai bagian dari jejak yang tak akan pernah kita hapus dari memori

namun akan segera tersamarkan oleh waktu yang bergegas

Dan pada siang, ketika mentari terik menyengat dan peluh mengalir deras dikening

Kau akan mendengarkan kisahku dengan mata berbinar seraya berbisik lirih

“Selalu ada ruang buatmu untuk segala kemungkinan, bahkan kemustahilan sekalipun”

 

Seperti menikmati petang yang luruh meninggalkan warna merah saga di batas cakrawala

Kita menelan segala getir bersama semesta yang tak jua ramah sejak sediakala

dan mencabik asa yang sudah kita genggam erat, tanpa ampun

Pada senja, dimana semuanya sirna tak bersisa

Tak perlu ada ratap yang menandai setiap gores luka

Karena, seperti katamu, hal yang musykil selalu punya tempat

dihatimu,

dihatiku

selalu …

“Puisi yang indah, tapi aku kok aku menangkap suasana muram didalamnya?” ujarmu sambil meletakkan kertas puisiku dimeja. Matamu yang jernih memaku pandang ke arahku. Tajam.

“Entahlah, aku tak tahu. Mendadak imajinasi dan tanganku ingin menuliskannya seperti itu. Maaf bila kamu jadi merasa tak nyaman karenanya,  aku sama sekali tidak bermaksud demikian. Aku hanya berusaha untuk jujur. Tidak lebih” sahutku rikuh.

Kamu tersenyum.

“Aku menghargai ketulusanmu. Tidak apa-apa. Puisi yang baik dan menyentuh memang seharusnya terbit dari kejujuran hati. Tidak dibuat-buat.  Aku suka kok. Suasana muram yang terbangun justru menawarkan keindahan yang berbeda meski memang bagiku sedikit terasa..hmm..aneh, ” jawabmu.

Aku menghela nafas.

Never mind, let’s take it easy. Tak usah jadi merasa gak enak seperti itu. Aku selalu suka puisi-puisimu dan mengaguminya. Sekelam apapun itu. Kamu memang penyair masa depan Indonesia yang gemilang,” ujarmu dengan nada riang.

Aku tertawa. Suasana kaku kembali cair.

Kami lalu menikmati suasana malam di kawasan Braga. Menyaksikan bangunan-bangunan tua yang tetap kokoh namun kini kian kusam warnanya. Aku menikmati eksotisme jalan yang monumental di kota kembang itu dengan rasa senang yang tak bisa kumaknai. Berjalan bersamamu, menyusuri jalan dan mendengarkanmu bercerita tentang kehidupan, impian-impian serta harapanmu  membuatku semakin mengerti sosokmu, lebih dari sekedar percakapan sekilas lewat internet.

Kamu bercerita tentang mimpimu ingin terbang mengunjungi kota-kota di berbagai belahan dunia dengan menjadi Pramugari. Kamu bertutur untuk mencoba keberuntungan melamar menjadi Pramugari disalah satu maskapai penerbangan dan keluar dari pekerjaanmu sebagai karyawati di sebuah bank swasta.

“Aku selalu punya keinginan kuat untuk mewujudkan mimpiku, sekeras apapun tantangan yang aku hadapi,” katamu tegas setelah menyeruput kopi hangat di depan sebuah supermarket salah satu sisi bahu jalan Braga.

Dan itulah malam pertama sekaligus terakhir berjumpa denganmu. Seusai mengikuti seminar di Bandung, aku mesti kembali ke Balikpapan keesokan harinya dengan pesawat pertama. 2 minggu kemudian kamu memberiku kabar bahwa akhirnya mimpimu menjadi nyata. Kamu diterima sebagai pramugari sebuah maskapai penerbangan terkemuka.

Aku ikut mengucapkan selamat atas keberhasilannya tersebut. Dan pada akhir percakapan telepon dengannya, aku memberanikan diri menyatakan perasaanku padanya.

Jawaban tak langsung tiba disaat itu.

Malam harinya, aku menerima pesan pendek:

Jawabanku, Ya !

karena hal yang musykil selalu punya tempat

dihatimu,

dihatiku

Aku melompat kegirangan. Kubaca berulang kali pesannya. Nyaris tak percaya.

Aku ingat malam itu aku tidur begitu nyenyak, dan bermimpi tentangmu.

***

Penerbangan perdanamu akhirnya tiba.

“Maaf, aku tak bisa mendampingimu untuk melepasmu di penerbangan ini. Pada saat itu aku masih bertugas di anjungan minyak lepas pantai. Tapi aku janji, akhir bulan, aku akan mengambil cuti dan datang menemuimu,” kataku lirih, beban rasa bersalah menggayuti hatiku.

“Tidak apa-apa, doakan saja semuanya lancar ya,” sahutmu di ujung telepon.

Dan, itulah percakapan terakhir denganmu.

Bencana itupun tiba. Pesawat yang kamu tumpangi –yang menjadi penerbangan perdanamu, jatuh. Tak ada seorangpun yang selamat dalam kecelakaan tersebut.

Kini, dipusaramu aku menangis pilu. Kesedihan melandaku begitu panjang. Padahal rencana untuk melamarmu sudah kusiapkan sejak awal.

Mengenang saat-saat yang begitu singkat namun bermakna bersamamu membuat dadaku sesak dalam kegetiran. Di remang cahaya senja, seusai membacakan do’a,  perlahan aku membuka secarik kertas yang sudah kusiapkan. Sebuah puisi sederhana untukmu yang kemudian kubaca dengan mata basah

Memindai kembali jejakmu di sekujur tubuh Braga

pada pagi ketika embun baru saja melapisi atas aspalnya

dan halimun putih tipis yang melingkupi bagai sayap bidadari erat mendekap

seperti melihatmu lagi tersenyum menyongsong hangat mentari yang muncul malu-malu

kemudian memandangku nanar dengan rindu meluap

“Kita telah menghitung jejak waktu bagai mengeja satu-satu barisan huruf

pada papan nama bangunan tua di sepanjang jalan ini,

dari Toko De Vries hingga persimpangan Javasche Bank

bersama geliat kangen menyesak dada

dan harapan yang kerap luluh dalam kegetiran, seperti jalan ini

yang makin pilu tergerus zaman”, katamu lirih

Kita berdua sudah lama menikmati kepahitan dari rasa perih kehilangan

serta ketabahan yang kita bangun dengan dada sesak

Dan kini, saat kakiku terpacak kokoh di bahu Braga, aku bagai melihat bayangmu

terbang melayang menyongsong cahaya fajar yang lembut

memantul kemilau pada permukaan tembok-tembok kusam

lalu terburai lepas bersama segala episode kenangan tentang kita di kota ini

Oh, adakah pagi masih akan merindukan malam?

Catatan:

–Teriring duka cita mendalam untuk seluruh korban pesawat Sukhoi Superjet 100 yang jatuh di Gunung Salak, 9 Mei 2012. 

Related Posts
NARSIS (7) : BIARKAN AKU MENCINTAIMU DALAM SUNYI
Catatan Pengantar: Narsis kali ini saya angkat dari Cerpen saya yang dimuat (sekaligus menjadi judul utama kumpulan cerpen Blogfam yang diterbitkan Gradien Mediatama tahun 2006 dalam judul "Biarkan Aku Mencintaimu Dalam ...
Posting Terkait
NARSIS (2) : BINTANG DI LANGIT HATI
Konon, katamu, secara zodiak kita berjodoh. Aku berbintang Aries, Kamu Sagitarius. Persis seperti nama depan kita : Aku Aries dan Kamu Sagita. Cocok. Klop. Pas. Kamu lalu mengajukan sejumlah teori-teori ilmu astrologi yang konon ...
Posting Terkait
NARSIS (9) : UNTUK PEREMPUAN BERMAHLIGAI REMBULAN
Hai Perempuan Bermahligai Rembulan, Apa kabarmu? Cuaca di awal bulan Oktober ini sungguh sangat tak terduga. Seharusnya--menurut ramalan meteorologi-- hujan akan turun membasahi bumi, dan awal bencana banjir akan tiba. Tapi ternyata ...
Posting Terkait
NARSIS (8) : TENTANG DIA, YANG PERGI MEMBAWA KELAM DIHATINYA
"Ini untuk dia, yang pergi membawa kelam dihatinya," suara perempuan itu bergetar di ujung telepon. Aku menggigit bibir seraya menatap Sonny, sang operator lagu pasanganku, yang balas menatapku dengan senyum ...
Posting Terkait
NARSIS (6) : TENTANG CINTA, PADA TIADA
Dia, yang menurutmu tak pernah bisa kamu mengerti, adalah dia yang kamu cinta. “Jadi apakah itu berarti, kamu membencinya?” tanyaku penuh selidik suatu ketika. “Ya, aku menyukai dan membencinya sekaligus, dalam sebuah ...
Posting Terkait
NARSIS (12) : BALADA LELAKI PETANG TEMARAM DAN PEREMPUAN KILAU REMBULAN
Ia, lelaki yang berdiri pada petang temaram selalu membasuh setiap waktu yang berlalu bergegas dengan rindu yang basah pada perempuan kilau rembulan, jauh disana. Ditorehkannya noktah-noktah kangen itu pada setiap ...
Posting Terkait
NARSIS (1) : MENYAPAMU DI RUANG RINDU
Pengantar : Setelah Saberin (Kisah Bersambung Interaktif) saya mencoba sebuah ekspresimen penulisan lagi yang saya beri nama Narsis atau Narasi Romantis. Tulisan Narsis berupa rangkaian prosa puitis pendek dan (diharapkan) akan ...
Posting Terkait
NARSIS (10) : KESEMPATAN KEDUA
My Momma always said: Life was like a box of chocholates You never know What you're gonna get -Tom Hanks, Forrest Gump,1994 Saskia tersenyum tipis setelah membaca sekilas potongan kutipan ungkapan yang ditulis diatas sebuah ...
Posting Terkait
NARSIS (17) : SEUSAI HUJAN REDA
  amu selalu bercakap bagaimana sesungguhnya cinta itu dimaknai. Pada sebuah sudut cafe yang redup dengan dendang suara Live Music terdengar pelan seraya memandang rimbun asap rokok menyelimuti hampir setengah dari ruangan, ...
Posting Terkait
NARSIS (4) : M.F.E.O
M.F.E.O 4 huruf tersebut selalu tertera di akhir email lelaki itu. Juga ketika mereka mengakhiri percakapan chatting didunia maya. Made For Each Other, bisik lirih perempuan hening malam sembari menyunggingkan senyum. Matanya menerawang menatap ...
Posting Terkait
NARSIS (13) : ASMARA, SUATU KETIKA..
Jakarta, 2030, sebuah teras café Lelaki tua itu tersenyum samar. Dipandangnya perempuan seusia dengannya yang duduk tepat dihadapannya dengan tatap takjub. “Kamu tak banyak berubah, walau umur telah menggerogoti tubuh kita. Kamu ...
Posting Terkait
NARSIS (16) : BISIKAN HATI , PADA LANGIT PETANG HARI
Dia tahu. Tapi tak benar-benar tahu bagaimana sesungguhnya cara menata hati dari kisah cintanya yang hancur lebur dan lenyap bersama angin. Dia tidak sok tahu. Hanya berusaha memahami. Bahwa luka oleh cinta bisa dibasuh ...
Posting Terkait
NARSIS (15) : JARAK RINDU
Pada akhirnya, katamu, cinta akan berhenti pada sebuah titik stagnan. Diam. Walau semua semesta bersekutu menggerakkannya. Sekuat mungkin. Cinta akan beredar pada tepian takdirnya. Pada sesuatu yang telah begitu kuat ...
Posting Terkait
NARSIS (3) : PEREMPUAN YANG MENGHILANG DI BALIK HUJAN
Lelaki itu menghirup cappuccinonya. Menyesap segala rasa yang menyertai dengan perih menusuk dada. Ia lalu melirik jam tangannya. Sudah 2 jam lebih dia di Cafe tersebut. Sambil menghela nafas panjang ia melihat ...
Posting Terkait
NARSIS (11) : KINANTI MENANTI JANJI
Rintik gerimis senja selalu membawa lamunanku padamu. Ketika irisan-irisan air itu jatuh dari langit, kau akan senantiasa memandangnya takjub dari balik buram kaca jendela. Menikmatinya. Meresapinya. Tak berkedip. "Menikmati gerimis senja ...
Posting Terkait
PADA SAMPAN YANG SENDIRI
Inspirasi foto : Suasana Sunset di Pantai Losari Makassar, karya Arfah Aksa Dji Sam Soe Potret Mahakarya Indonesia ada sampan yang sendiri. Terdampar di sisi pantai Losari yang sunyi. Kita menyaksikan rona ...
Posting Terkait
NARSIS (7) : BIARKAN AKU MENCINTAIMU DALAM SUNYI
NARSIS (2) : BINTANG DI LANGIT HATI
Protected: NARSIS (9) : UNTUK PEREMPUAN BERMAHLIGAI REMBULAN
NARSIS (8) : TENTANG DIA, YANG PERGI MEMBAWA
NARSIS (6) : TENTANG CINTA, PADA TIADA
NARSIS (12) : BALADA LELAKI PETANG TEMARAM DAN
NARSIS (1) : MENYAPAMU DI RUANG RINDU
NARSIS (10) : KESEMPATAN KEDUA
NARSIS (17) : SEUSAI HUJAN REDA
NARSIS (4) : M.F.E.O
NARSIS (13) : ASMARA, SUATU KETIKA..
NARSIS (16) : BISIKAN HATI , PADA LANGIT
NARSIS (15) : JARAK RINDU
NARSIS (3) : PEREMPUAN YANG MENGHILANG DI BALIK
NARSIS (11) : KINANTI MENANTI JANJI
PADA SAMPAN YANG SENDIRI

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.