CERPEN : BADAI DALAM KARUNG

Catatan:

Cerpen saya ini pernah dimuat di Harian Suara Pembaruan, Minggu, 22 November 1998 dengan judul “Badai”. Saya tayangkan kembali diblog ini untuk mendokumentasikannya secara virtual dan agar dinikmati oleh para pembaca. Terimakasih untuk rekan Yusnawir Yusuf atas fotonya yang keren

————————

OTOT – OTOTNYA menegang kencang pada dua ruas bahunya yang kukuh dan berkeringat. Dadanya yang telanjang, legam berkilat diterpa sinar mentari siang yang ganas. Luthfi, demikian nama lelaki itu, seperti pasrah dan menyerah pada nasib. Ia tak bisa menggugat apa pun atau siapa pun atas apa yang telah dialami sekarang. Sebagai buruh harian lepas pada kontraktor pembangunan gedung pusat perbelajaan, yang tak memiliki kekuasaan apa – apa, dia tak dapat menolak keputusan PHK dari atasannya.

“Proyek pembangunan gedung kita ini ditunda sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Kami kehabisan dana. Akibat krisis moneter yang berkepanjangan, harga – harga bahan bangunan melonjak naik tak terkira. Budget yang tersedia tidak cukup untuk menutupi semua kebutuhan itu. Maaf, Bapak – bapak, kami terpaksa memberhentikan Anda semua dari pekerjaan ini,” kata Ir.Umar, site Manager proyek tersebut di depan seluruh buruh harian pagi tadi dengan suara serak. “Bagi kami, ini merupakan keputusan terbaik, meski dari lubuk hati yang paling dalam kami tidak tega melakukan. Sekali lagi saya atas nama pribadi dan direksi mohon maaf. Hari ini adalah hari kerja Bapak – bapak yang terakhir kali. Semoga di waktu mendatang, Bapak – bapak cepat memperoleh pekerjaan lagi. Sekian, ” katanya mengakhiri penjelasan.

Kalimat – kalimat Ir. Umar tadi seperti tergiang – ngiang kembali ditelinga Luthfi.  Mendengung, Bagai memecah gedang telinganya. Harga dirinya runtuh. Ia lalu tertunduk lesu pada sebongkah beton sembari memandang rekan – rekannya yang sudah mulai berkemas pulang. Hari ini mereka hanya bekerja setengah hari. Terlihat oleh dia ekspresi wajah seragam ; pucat dan kuyu. Tanpa semangat hidup.

“Kamu belum pulang, Luthfi?” sapa Eko rekan sekerjanya. Luthfi menggeleng pelan. Tanpa kata – kata. Eko mengangguk maklum dan melanjutkan langkahnya. Luthfi menggigit bibir. Ia teringat Agung dan Rina, anak dan istrinya dirumah. Mereka menggantungkan harapan dan masa depan mereka pada Luthfi, tamatan SMP yang hanya bisa mengaduk semen dan mengangkat batu. Ia tidak tahu dengan apa harus melanjutkan hidup untuk besok dan seterusnya. Agung, anak semata wayangnya yang baru berusia dua tahun serta sorot mata teduh Rina istrinya yang dengan sabar dan telaten mendampingi dia dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Luthfi menunduk, menekuri tanah proyek yang berdebu.

“Luthfi, sudahlah, tak usah kamu sesali. Kita semua mengalami hal sama denganmu. Besok kita cari lagi pekerjaan diproyek yang lain. Ayo, kita pulang,” tegur Firman, mandor kepala, membuyarkan lamunannya. Luthfi mengangkat wajah. Dia tatap wajah Firman, ada raut kedamaian di sana.

“Luthfi,”kata Firman lembut, ” saya juga pernah mengalami hal sama. Saya putus asa, tidak tahu harus kemana dan berbuat apa. Tapi saya  segera sadar . Tuhan Maha Adil, selalu mendengar dan membantu hambaNya yang mau berusaha. Saya selalu menanamkan keyakinan itu”. Luthfi mengangguk. “Terima kasih, Pak Firman,” jawabnya lirih. Firman tersenyum tulus kemudian menepuk pundak Luthfi untuk beranjak dari tempat itu. Angin berhembus kencang, pohon – pohon meliuk dan debu – debu gersang beterbangan, berputar tak teratur lalu menghilang.

*****

SAAT hendak mengungkapkan kenyataan pahit itu pada istrinya, Luthfi merasa menjadi seorang pecundang yang kalah telak. Sepanjang jalan, ia berusaha memilih kalimat – kalimat terbaik untuk diucapkan kepada Rina, supaya ia tak terlalu “terpukul”. Tetapi ia tak bisa. Istrinya yang mengenal watak dan perangainya, secara intuitif mendapat firasat sesaat wajahnya muncul dari pintu depan. Ekpresinya adalah ungkapan yang paling jujur. Belum sempat  berkata apa – apa istrinya menghambur ke arah dia. Memeluknya erat – erat. Mengalirkan kehangatan dan pengertian wanita yang dia cintai.

“Kamu tidak usah bilang apa – apa Mas. Rina sudah tahu apa yang terjadi. Mas Luthfi jangan sedih. Tuhan akan selalu menolong kita. Rina senantiasa mendampingi Mas dalam  situasi sesulit  dan seburuk apa pun. Selalu, Mas. Selalu….,” kata Rina terbata – bata. Air matanya berlinang. Luthfi merasakan butir – butir air hangat itu jatuh di bahunya. Luthfi mempererat pelukannya. Ia terharu dan kagum pada kesetiaan yang mendalam dari Rina.

“Saya tidak tahu dengan apa saya mesti menafkahi kamu dan Agung setelah saya di-PHK. Saya seperti terjatuh ke jurang yang amat dalam,” ujar Luthfi pelan. Dadanya terasa sesak. Ada beban berat menghimpit di sana.

“Mas, berjanjilah. Jangan putus asa. Jangan patah semangat. Saya tak rela jika Mas Luthfi jadi kehilangan harapan dengan kejadian ini. Saya tahu, apa yang Mas Luthfi alami sangat mengguncangkan hati. Tapi, Mas Luthfi jangan sampai merasa ini adalah akhir dari segala – galanya. Kesempatan bekerja tetap masih ada, selama kita berusaha dan berdoa. Tolong, Mas Luthfi pahami, ini demi saya istrimu dan Agung buah hati kita,” tutur Rina seraya menatap mata Luthfi dengan sorot tajam menghunjam. Luthfi tersenyum dan mengangguk. Ia membelai rambut istrinya dengan lembut.

“Rina, saya tak keliru memilihmu sebagai pendampingku sehidup semati. Saya tidak akan mengecewakanmu. Saya akan tetap berjuang. Demi kamu dan Agung serta kehormatan keluarga kita. Saya berjanji Rina, saya berjanji,” kata Luthfi mantap. Diraihnya tubuh istrinya. Dipeluk erat – erat. Ada sebentuk kesejukan terbit disitu. Di luar jangkrik mengerik. Sampai jauh.

*****

AKHIRNYA Luthfi mendapat pekerjaan sebagai buruh harian pengangkut beras di salah satu gudang logistik, selang dua bulan setelah menganggur dari pekerjaan proyek konstruksi. Ia berusaha menikmati pekerjaannya. Meski penghasilannya saat ini jauh lebih kecil dari tempat kerjanya dulu, Luthfi menabahkan hati. Ia percaya, rezeki dari pekerjaan ini bagi dia tetap merupakan suatu kebanggaan tersendiri, karena memberikan nafkah yang halal bagi keluarganya. Istrinya pun tetap memberi dukungan moral yang tinggi. Tugas Luthfi tiap hari dari pukul 08.00 sampai 17.00 adalah mengangkut karung – karung beras dari gudang ke atas truk – truk distribusi untuk disalurkan ketempat yang membutuhkan. Dengan postur tubuh yang tinggi kekar, bukan masalah bagi dia untuk membawa sekarung beras yang maksimal beratnya 80 kilogram. Ia bekerja sama dengan buruh harian lain, yaitu Yudi, Heri dan Bambang.

Hari demi hari berlalu, tanpa terasa ia telah bekerja di tempat itu selama toga bulan. Memasuki bukan ke empat, Lithfi merasa ada yang kurang beres. Sore hari menjelang pulang, tanpa sengaja ia mendengar percakapan Hamzah, kepala gudang dan Syarif, kepala Satpam. Ia menguping pembicaraan dari balik partisi yang menghubungkan ruang staf dan gudang ketika melintasi ruang itu dari arah toilet.

“Agus, malam ini putauw – putauw itu kamu masukkan di karung yang sudah aku tandai. Jangan beritahu siapa – siapa. Kalau butuh bantuan, kamu panggil saja anak buahmu si Joko. Aku percaya sama dia. Beri dia honor secukupnya. Jangan panggil orang lain. Yang penting ini jangan sampai bocor ke siapa pun juga. Ingat, ini bisnis besar. Kalau berhasil, kamu pasti dapat honor gede. Lumayan besar dibanding gajimu di sini. Bos John sudah menunggu kiriman ini besok melalui truk jam 10.00 pagi. Tidak boleh telat dan gagal! Kamu mengerti kan ?” demikian suara berat Hamzah memerintah Syarif. Syarif tidak segera menjawab, ia hanya mendehem. Hamzah tampaknya tahu isyarat itu.

“Oohh… soal uang mukanya.  Nih Rp. 500.000 dulu. Sisanya nanti saya berikan setelah tugasmu selesai. Ingat Syarif, jangan kecewakan saya. Juga Bos John. Okey?” ancam Hamzah.

“Beres, Bos. Percayakan saja sama Syarif!” sahut Syarif. Suaranya terdengar riang. Kemudian terdengar langkah – langkah menjauh. Luthfi merapatkan tubuh kedinding dan berjalan mengendap kembali ke arah toilet. Jantungnya berdegup kencang. Ia melihat dari kejauhan tubuh Hamzah masuk kedalam mobil Toyota Kijangnya.

Luthfi menelan ludah. Sebentuk kegalauan bergejolak di hatinya. Ia tak menyangka bisnis kotor juga terjadi dalam lingkungan kerjanya. Tidak tanggung-tanggung, bisnis obat terlarang! Seketika bulu kuduknya meremang. Ia merasa takut. Entah pada apa. Ia lalu teringat wasiat ayahnya menjelang wafat untuk tetap memelihara dan menjaga nilai-nilai kejujuran dan keadilan serta gigih membela kebenaran.

Watak luhur jago silat kampung dan kearifan petani penggarap, memang menjadi warisan utama dari ayahnya. Luthfi memegang teguh prinsip-prinsip itu secara konsisten. Kini ia dihadapkan pada pilihan yang cukup sulit. Melaporkan kejadian ini pada polisi dengan risiko terburuk terkena PHK, atau membiarkan proses ini berlangsung terus dengan risiko mengingkari hati nurani dan amanat ayah tercintanya. Bagi Luthfi keduanya adalah pilihan yang sama sulit. Ia bimbang.

“Luthfi, kamu belum pulang?” tegur Syarif, sang kepala Satpam menyentak lamunannya. Luthfi gelagapan dan berusaha menemukan jawaban terbaik.

“Ini…, baru mau siap-siap pulang pak!” jawabnya gugup, seraya meraih tas pundaknya, lalu bergegas pergi. Syarif hanya menggeleng-gelengkan kepala kemudian berbalik kembali ke kantor. Luthfi mempercepat langkahnya. Bergegas. Nafasnya memburu. Batinnya merasa khawatir entah pada siapa. Langit kelam, dan awan hitam menggumpal. Petir pun menggelegar. Hujan akan segera turun.

*****

“MAS Luthfi Yakin dengan apa yang Mas dengar tadi?” Tanya Rina istrinya saat Luthfi menceritakan kejadian yang baru saja dialaminya. Luthfi tidak segera menjawab. Ia lalu mengambil sepotong singkong rebus di atas piring. Dikunyahnya pelan. Dan Istrinya mengamati dengan sabar saat Luthfi menceritakan kejadian yang baru saja dialaminya.

“Begitulah kejadiannya Rina.Saya benar – benar yakin dengan apa yang saya alami. Saya kaget dan hampir tidak percaya setelah mendengar kenyataan itu,” sahut Luthfi. Suaranya terdengar cemas.

“Lantas, menurut Mas Luthfi, apa yang sebaiknya Mas lakukan?” Tanya Rina lagi.

“Melaporkannya ke Polisi!” tegas Luthfi yakin. Ditatapnya lekat – lekat wajah istrinya. Rina menghela nafas panjang lalu menunduk menekuri lantai rumah kontrakan mereka. Entah kenapa jantungnya mendadak berdebar kencang. Ia merasa takut. Takut sekali.

“Mas Luthfi, sudah berpikir risikonya?”

“Rina saya memegang teguh prinsip hidup saya dan keluarga saya. Menentang kezaliman . Tentang resiko, saya piker, itulah yang mesti kita pikul ketika menentukan suatu pilihan. Kita tak dapat mengelak dari itu!” kata Luthfi dengan mata menyala.

“Mas Luthfi rela mempertaruhkan saya dan Agung, anak kita?” Tanya Rina lagi.

“Saya tidak mengatakan ini sebagai suatu pertaruhan, Rina! Ini adalah soal mempertahankan prinsip. Saya tidak suka dan tidak rela mereka memanfaatkan fasilitas kantor untuk melakukan tindak kejahatan. Kalau hal ini sampai terjadi terus dan suatu waktu ketahuan belangnya oleh pihak berwenang saya toh juga diciduk. Dan tak punya harapan apa – apa lagi untuk dapat kembali bekerja. Cepat atau lambat semua ini akan terjadi , Rina. Kamu mesti paham itu. Saya sama sekali tidak punya maksud mengorbankan, apa lagi melibatkan kamu dan anak kita si Agung dalam kasus ini. Sungguh Rina. Sungguh!”jawab Luthfi seraya memegang bahu Rina erat – erat lalu menatap dalam – dalam wajah teduh istrinya. Rina terdiam. Ia tak bisa berkata apa – apa lagi. Luthfi lantas mengelus lembut rambut istrinya.

“Terlalu mahal harga yang harus dibayar untuk menempuh langkah itu Mas,”ucap Rina lirih. Air matanya mulai menggenang. Luthfi meraih tangan istrinya. Digenggamnya erat – erat.

“Mas Luthfi mesti memikirkan juga komplotan itu tahu bahwa yang melaporkan kegiatan mereka ke polisi adalah Mas Luthfi. Berbahaya sekali. Mereka pasti tidak akan segan – segan membunuh Mas Luthfi. Rina takut hal ini terjadi. Rina tak ingin kehilangan Mas Luthfi,” tutur Rina tersedu – sedu. Tenggorokannya tersekat. Luthfi tersenyum bijak. Ia kemudian memeluk istrinya. “Rina saya sudah berpikir langkah paling aman untuk mengungkap hal ini tanpa harus mengorbankan nyawa. Saya tidak bodoh. Kamu tak usah cemas. Yang paling penting buat saya saat ini adalah dukungan dan doa kamu agar saya memiliki kemantapan hati dan jalan yang lapang melaksanakannya. Itu saja,” kata Luthfi dengan lembut menenangkan istrinya. Rina terdiam. Untuk beberapa saat ruang  tamu kontrakannya yang sempit begitu sepi. Luthfi mencium kening istrinya. Malam kian larut dan mendung menggantung dilangit.

*****

LUTHFI dengan teliti dan hati-hati menyelidiki aksi komplotan itu bersama Letnan Indra, Sersan Yudo dan Kopral Yanto dari kepolisian yang menyamar sebagai salah satu distributor pelanggan gudang logistik itu, sambil mengumpulkan bukti – bukti yang akurat. Dalam waktu tidak terlalu lama polisi langsung membongkar kehatan penyeludupan putauw via karung beras itu dengan sukses. Hamzah, sang kepala gudang juga Syarif, kepala Satpam serta anak buahnya, Joko ditangkap dengan bukti nyata berupa selundupan mereka.

“Terima kasih, Pak Luthfi. Berkat Pak Luthfi kita berhasil membongkar jaringan pengedar obat – obat terlarang di gudang ini. Sayang sekali gembong penyeludupan ini yang mereka sebut – sebut Bos John berhasil kabur keluar negeri. Kami akan coba menangkap dan mendeportasinya ke sini. Sekali lagi  terima kasih atas kerjasama anda,” kata Letnan Indra dengan mata berbinar menjabat tangan Luthfi.

“Terimakasih kembali, Pak Indra. Saya akan selalu siap membantu Bapak kapan saja jika diminta,” sahut Luthfi sembari membalas jabatan tangan Letnan Indra dengan hangat.

Rombongan dari kepolisian kembali ke markas mereka  sambil menggiring ketiga orang tersangka penyelundup itu. Sekilas, Luthfi melihat tatapan Sinis Hamzah dan Syarif kepadanya. Ia tak peduli dan tak mau peduli. Hatinya lega. Akhirnya semua telah usai dan tuntas. Dalam bayangannya ayahnya tersenyum bangga kearah dia. Ia telah melaksanakan amanah beliau.

Luthfi kemudian bergegas pulang ia akan mengabarkan berita baik ini pada Rina.”Saya menang, saya menang, saya bukan pecundang!”. Luthfi membatin sambil memanggul tas pundaknya Luthfi mengayunkan langkah dengan ringan.

Tanpa disadarinya sebuah sepeda motor pengendara dengan berhelm yang menutupi kepala merapat kearahnya dari belakang. Pengendara itu mengacungkan pistol Revolver kepunggung Luthfi. Dan … door !” letusan pistol menyalak. Luthfi tersungkur jatuh diaspal. Pengendara motor tadi langsung memacu motor sekencang-kencangnya.

Darah mengalir dari dada Luthfi. Terasa sakit. Seketika ia menyadari apa yang baru saja terjadi. Orang-orang sekitar jalan itu mengerubunginya. Samar-sama Luthfi melihat wajah teduh Rina tersenyum kearahnya, wajah Agung anak semata wayangnya dengan mata bulat lucu menatap penuh harap. Ia meraba dadanya yang bersimbah darah. Lalu ia tak ingat apa-apa lagi.

“Ikutlah nak..”, terdengar suara yang begitu dia kenal bergema. Suara ayahnya. Begitu dekat. Begitu nyata. Wajah jernih ayahnya terlihat bercahaya. Sambil tersenyum, ayahnya menggandeng tangannya terbang menuju mega. Melintasi awan putih. Meniti pelangi….

 

Related Posts
KERETA SRIBILAH DAN MENIKMATI SENSASI BERKERETA DI SUMATERA
aya selalu menyukai perjalanan dengan menggunakan kereta api. Selain karena relatif aman dan nyaman, juga perjalanan berkereta senantiasa menyajikan sensasi perjalanan yang berbeda dengan moda transportasi lain seperti pesawat terbang, ...
Posting Terkait
JADI BLOGGER ITU MEMBAHAGIAKAN…
Mata saya mendadak basah membaca email yang tiba di sekitar pertengahan bulan Agustus 2007. Email tersebut datang dari seorang suami yang tinggal di Jakarta dan telah 10 tahun menjalani kehidupan ...
Posting Terkait
DARI PELUNCURAN BUKU PAK CHAPPY HAKIM & KOPDAR KETIGA KOMPASIANA : WHAT A WONDERFUL WORLD !
I see trees of green........ red roses too I see em bloom..... for me and for you And I think to myself.... what a wonderful world. I see skies of blue..... clouds ...
Posting Terkait
Kemarin pagi sebuah email yang cukup menghentak masuk ke inbox saya. Judulnya "I'm (offically) taking off my high heels". Email itu datang dari sahabat saya, Sandy Tiara, Application Engineer pada ...
Posting Terkait
BERKAH HADIAH DI BULAN APRIL
lang Tahun saya ke 41 tahun ini yang saya rayakan tiap tanggal 9 April memberikan kesan yang sangat mendalam. Setelah sebelumnya menang Ipod Nano pada lomba Twitter bertagar #WanitaMasaDepan dalam ...
Posting Terkait
NOSTALGIA MENONTON DI BIOSKOP PINGGIRAN MAKASSAR
Sejak menjadi kontributor konten di Yahoo OMG Indonesia khususnya mengenai resensi film, kenangan saya kerap melayang pada kegemaran menonton film di masa lalu. Sekitar 20 tahun silam, di kota Makassar. ...
Posting Terkait
Kali ini biarlah gambar dulu yang bercerita mengenai perjalanan bersepeda 24,5 km bersama tim Cikarang Baru Cycling hari Minggu (23/10). Sebuah pengalaman mengesankan menempuh jarak yang relatif jauh dengan tantangan ...
Posting Terkait
TERIMAKASIH YA DELL!
3 Degrees Club yang terletak di lantai 7 FX Mall Jl.Jend.Sudirman Jakarta begitu semarak, kemarin malam (16/12). Sejumlah standing banner dan logo DELL, salah satu produsen komputer terkemuka di dunia, berada ...
Posting Terkait
MAJU TERUS BLOGGER NUSANTARA !
anggal 9-11 November 2012 mendatang sebuah momen penting akan digelar di Kota Daeng, Makassar. Kopdar Blogger Nusantara yang untuk kali kedua diadakan setelah sebelumnya dilaksanakan di Sidoarjo, menjadi momentum penting ...
Posting Terkait
AMPROKAN BLOGGER 2010 (9) : KEMESRAAN INI JANGANLAH CEPAT BERLALU
Waktu berakhirnya acara Amprokan Blogger 2010 datang juga. Menjelang saat ditutupnya acara ini, dilaksanakan pengumuman lomba blog dan foto yang masing-masing dilaksanakan oleh juri kedua lomba tersebut yaitu Mas Antyo Rentjoko ...
Posting Terkait
FILM HABIBIE AINUN : ROMANTISME DALAM BINGKAI CINTA SEJATI
udah lama sebenarnya niat untuk menonton film ini bersama istri tercinta terpendam dalam hati. Akhirnya, pada hari libur Maulid Nabi Muhammad SAW, Kamis (24/1), kami sekeluarga akhirnya menonton film ...
Posting Terkait
SAMSUNG 3D SMART TV F6400, TERNYATA LEBIH “SMART” DARI DUGAAN !
elakangan ini kegemaran saya nonton film dan main video game kian lama kian menjadi. Di akhir pekan, saya kerapkali menikmatinya bersama keluarga. Bermain game bersama anak tercinta terasa kian seru ...
Posting Terkait
THERE’S SOMETHING PINKY IN MY HEART
Saya dan Rahman bernyanyi duet dalam acara perpisahan SMPN 2 Maros, Juli 1986 "ADA bagian merah jambu yang romantis dalam hatimu, pik" ,ujar kawan saya di SMP Negeri 2 Maros, Abdul Rahman pelan ...
Posting Terkait
1. Fiksi Mini Di Harian Kompas kemarin, Minggu (11/4), dibahas tentang fenomena "Fiksi Mini" di Twitter. Seperti dituliskan pada artikel tersebut: Fiksimini adalah ruang berbagi cerita yang terbuka bagi semua orang yang mengikutinya—biasa ...
Posting Terkait
ALYA DAN DUNIA CERIA YANG DIBANGUNNYA
Hari ini, 10 November 2009, adalah hari ulang tahun kelima putri bungsu saya, Alya Dwi Astari. Sungguh begitu cepat waktu berlalu. Alya tumbuh menjadi gadis kecil yang manis dan montok. ...
Posting Terkait
14 TAHUN YANG SELALU MENGESANKAN BERSAMA XL
ejak tahun 2001 saya telah menjadi pelanggan setia XL. Sebagai pelanggan pasca bayar, saya sangat menikmati beragam kemudahan dan fasilitas yang ditawarkan oleh provider telekomunikasi terkemuka di Indonesia ini. Pada ...
Posting Terkait
KERETA SRIBILAH DAN MENIKMATI SENSASI BERKERETA DI SUMATERA
JADI BLOGGER ITU MEMBAHAGIAKAN…
DARI PELUNCURAN BUKU PAK CHAPPY HAKIM & KOPDAR
SHE JUST TAKING OFF HER HIGH HEELS
BERKAH HADIAH DI BULAN APRIL
NOSTALGIA MENONTON DI BIOSKOP PINGGIRAN MAKASSAR
PETUALANGAN BERSEPEDA MINGGU BERSAMA TIM CIKARANG BARU CYCLING
TERIMAKASIH YA DELL!
MAJU TERUS BLOGGER NUSANTARA !
AMPROKAN BLOGGER 2010 (9) : KEMESRAAN INI JANGANLAH
FILM HABIBIE AINUN : ROMANTISME DALAM BINGKAI CINTA
SAMSUNG 3D SMART TV F6400, TERNYATA LEBIH “SMART”
THERE’S SOMETHING PINKY IN MY HEART
YANG “MELENGKING” DARI BLOGWALKING (34)
ALYA DAN DUNIA CERIA YANG DIBANGUNNYA
14 TAHUN YANG SELALU MENGESANKAN BERSAMA XL

7 comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.