NARSIS (19) : ZIARAH PADA KELAM KENANGAN

Dalam banyak hal perempuan itu selalu merasa kalah.  Sangat telak. Terutama oleh cinta.

Pada bayangan rembulan di beranda, ia menangis. Menyaksikan cahaya lembut sang dewi malam itu menerpa dedaunan, menyelusup, lalu membias menjadi selaksa noktah-noktah kecil nyaris tak terlihat menimpa tanah pekarangan. Kali ini ia merasakan sebuah kekalahan yang sangat menyesakkan. Memang bukan yang pertama. Tapi baginya begitu menyakitkan, hingga ke rongga dada. Dan noktah-noktah cahaya kecil tadi seakan menjadi refleksi hatinya yang luluh dan terhempas.

Ia membuka kembali secarik kertas yang bertuliskan puisi karyanya sendiri. Keharuan menyentak saat perempuan itu membacakannya dengan bibir bergetar:

Kita telah begitu lama mencumbu sunyi seraya menyaksikan

pucuk-pucuk pohon trembesi di boulevard meliuk pelan diterpa angin

pada batangnya yang kokoh kita menyandarkan harapan

bermimpi keajaiban akan terjadi, memagut segala asa yang terbang

dan meninggalkannya terkulai di setiap helai daunnya

lalu kita akan memetiknya satu-satu dengan dada yang lapang

bukan dengan nafas tersengal, bersama rindu yang terbit tiba-tiba

laksana pertemuan pertama seusai gerimis

“Kita akan selalu menziarahi setiap kenangan, sekelam apapun itu,

dan menitipkan segala yang pernah kita lewati , tangis dan tawa,

luka dan duka, juga cinta, pada bait-bait sajak

yang kutuliskan dengan jemari gemetar,” katamu lirih.

Kita telah begitu lama menyampirkan angan-angan di larik pelangi

sembari menatapnya pilu dari kejauhan

sebab ingatan, terkadang membuat batas ruang dan waktu begitu samar

sementara kita terlalu terbuai melewatkan musim demi musim

tanpa pernah menduga takdir datang mengendap-endap dari belakang

menyergap segala impian yang telah kita rajut rapi, tanpa ampun

dan hanya menyisakan penyesalan yang tak jua usai

Kita akan tetap menziarahi setiap serpih kenangan dan bertukar cerita

bukan tentang apa yang telah gagal kita raih

tapi tentang masa depan yang ada di genggaman

dan selalu menjadi bagian dari dirimu, dari diriku,

sekelam apapun itu.

Perempuan itu menyeka airmata yang menetes di pipi. Tiba-tiba kenangan pahit itu seakan menjelma kembali didepan matanya. Pada temaram sebuah sudut cafe beberapa hari yang lalu:

“Sepertinya, kita tidak bisa bersama-sama lagi. Kita mesti meneruskan hidup kita sendiri-sendiri. Ada alasan yang tak bisa aku ungkapkan,” kata lelaki itu dengan nada getir sembari menatap matanya. Jemarinya gemetar saat menggenggam tangan lelaki itu. Mungkin, untuk terakhir kalinya.

“Jadi itukah alasanmu selama ini menjauh dariku?: tukas perempuan itu ketus. Airmata deras mengalir dipipinya

Sang lelaki hanya mengangguk lemah dan tertunduk.

“Maafkan aku. Terimakasih atas segala hal mengesankan yang pernah kita rajut bersama.  Terimakasih telah menjadi wanita yang sudah berusaha memahamiku dan mendampingiku. Memang itu tak mudah, tapi aku sangat menghargai apa yang telah kamu lakukan walau apa yang kamu dapatkan dariku menjadi sepedih ini. Aku harap kita tetap bisa menjadi sahabat, seburuk apapun yang telah terjadi hari ini. Kamu tetap menempati tempat terindah dihatiku. Selamanya,” ujar lelaki itu lirih.  Ia lalu menghela nafas panjang, seperti menguatkan diri lalu bangkit dari kursi.

“Aku pergi. Selamat tinggal…” katanya singkat dan melangkah keluar cafe.

“Tunggu!” seru perempuan itu dengan nada putus asa. Ia berdiri dan mencoba meraih lengan sang kekasih tapi gagal.

Lelaki itu menoleh. “Aku akan memberitahu alasannya nanti. Bukan sekarang. Tolong jangan cari aku lagi, dengan dalih atau cara apapun. Maafkan..”

Perempuan itu terduduk dikursinya. Tangisan pilu terdengar. Kehilangan yang sangat menyesakkan karena ia tak tahu alasan yang tepat dan masuk akal lelaki itu meninggalkannya. Secara tragis. Mengenaskan.

Rembulan terlihat pucat di rangka langit. Sinarnya tak lagi terasa bersahabat.

Semuanya memang tak sama lagi. Seperti dulu.

*****

Misteri itu akhirnya mendapat jawaban. Sangat tragis.

Lelaki itu menderita penyakit Leukemia stadium lanjut.  Meski terdapat usaha untuk menutupi rahasia itu, Informasi tersebut dapat diperoleh dengan menggali sejumlah informasi dari berbagai pihak.

Matahari bersinar terik ketika perempuan itu tiba dirumah sakit. Wajahnya terlihat cemas dan dengan langkah tergesa ia menuju ke kamar perawatan. Degup jantungnya berpacu kencang. Ia tertegun di pintu saat menyaksikan banyak orang terlihat disana. Mendadak tubuhnya bagai lumpuh tak berdaya saat melihat sosok lelaki itu sudah tertutup oleh kain putih diatas ranjang.

Dia telah berpulang. Selamanya.

*****

Perempuan itu berdiri tegak di pesisir pantai sepi, berpasir putih. Wajahnya memandang jauh hingga ke batas cakrawala. Rambutnya sedikit berantakan diterpa angin laut yang berdesir kencang. Senja akan tiba sebentar lagi, dan jejak cahaya merah jingga mengantar sang raja siang ke peraduannya terlihat jelas. Menyajikan keindahan yang mempesona. Pandangannya menerawang dan berusaha menyatukan kembali serpih-serpih kenangan yang terserak menjadi sebuah puzzle yang utuh dalam pikiran, dalam ingatan.

Di pantai itu, setahun yang silam kebersamaan tersebut masih ada.  Dengan sang lelaki yang telah tiada. Kini semuanya berbeda. Hanya ia sendiri disana. Dalam kesepian, dalam kerinduan yang sesungguhnya ingin ia larutkan bersama deru gelombang samudera dihadapannya. Tapi ia tak kuasa melakukannya. Ia ingin menziarahi segenap kenangan itu, menyesapnya dalam-dalam dan membiarkannya berpadu bersama kegetiran hati.

Perlahan, ia membuka secarik kertas lusuh. Puisi terakhir yang dituliskannya untuk lelaki itu yang ingin ia “kirimkan” bersama desau angin yang berhembus.

Lantas, dengan mata basah, ia membacanya lirih:

Sepasang debu yang terbang liar itu adalah kita
bersama segenap impian yang telah kita rangkai dalam ringkih hati
juga cinta yang kita pahatkan diam-diam pada tepian angan-angan

Kita melayang mengarungi siang, juga malam
sementara harapan tersengal-sengal tertinggal dibelakang
menggandeng kenangan yang telah luruh satu-satu
sepanjang perjalanan

Kita tak kuasa menangkap dan mengumpulkan
semua kembali, seperti sediakala
hanya membiarkannya menjelma serupa jejak cahaya indah
yang kita pandangi dengan rasa masygul tak terkatakan

“Bahkan waktupun tak pernah bisa menyembuhkan luka,”
kataku nelangsa
saat aku terdampar pada sebuah bintang yang bersinar redup
di sebuah malam yang biru
dan ikut menggigil, bersama dingin yang hampa
juga sunyi yang mendekap rindu…

 Cikarang, 07062012

 

Related Posts
NARSIS (17) : SEUSAI HUJAN REDA
  amu selalu bercakap bagaimana sesungguhnya cinta itu dimaknai. Pada sebuah sudut cafe yang redup dengan dendang suara Live Music terdengar pelan seraya memandang rimbun asap rokok menyelimuti hampir setengah dari ruangan, ...
Posting Terkait
NARSIS (1) : MENYAPAMU DI RUANG RINDU
Pengantar : Setelah Saberin (Kisah Bersambung Interaktif) saya mencoba sebuah ekspresimen penulisan lagi yang saya beri nama Narsis atau Narasi Romantis. Tulisan Narsis berupa rangkaian prosa puitis pendek dan (diharapkan) akan ...
Posting Terkait
NARSIS (11) : KINANTI MENANTI JANJI
Rintik gerimis senja selalu membawa lamunanku padamu. Ketika irisan-irisan air itu jatuh dari langit, kau akan senantiasa memandangnya takjub dari balik buram kaca jendela. Menikmatinya. Meresapinya. Tak berkedip. "Menikmati gerimis senja ...
Posting Terkait
NARSIS (8) : TENTANG DIA, YANG PERGI MEMBAWA KELAM DIHATINYA
"Ini untuk dia, yang pergi membawa kelam dihatinya," suara perempuan itu bergetar di ujung telepon. Aku menggigit bibir seraya menatap Sonny, sang operator lagu pasanganku, yang balas menatapku dengan senyum ...
Posting Terkait
NARSIS (12) : BALADA LELAKI PETANG TEMARAM DAN PEREMPUAN KILAU REMBULAN
Ia, lelaki yang berdiri pada petang temaram selalu membasuh setiap waktu yang berlalu bergegas dengan rindu yang basah pada perempuan kilau rembulan, jauh disana. Ditorehkannya noktah-noktah kangen itu pada setiap ...
Posting Terkait
NARSIS (10) : KESEMPATAN KEDUA
My Momma always said: Life was like a box of chocholates You never know What you're gonna get -Tom Hanks, Forrest Gump,1994 Saskia tersenyum tipis setelah membaca sekilas potongan kutipan ungkapan yang ditulis diatas sebuah ...
Posting Terkait
NARSIS (3) : PEREMPUAN YANG MENGHILANG DI BALIK HUJAN
Lelaki itu menghirup cappuccinonya. Menyesap segala rasa yang menyertai dengan perih menusuk dada. Ia lalu melirik jam tangannya. Sudah 2 jam lebih dia di Cafe tersebut. Sambil menghela nafas panjang ia melihat ...
Posting Terkait
NARSIS (15) : JARAK RINDU
Pada akhirnya, katamu, cinta akan berhenti pada sebuah titik stagnan. Diam. Walau semua semesta bersekutu menggerakkannya. Sekuat mungkin. Cinta akan beredar pada tepian takdirnya. Pada sesuatu yang telah begitu kuat ...
Posting Terkait
NARSIS (18) : SEMESTA KANGEN, DI BRAGA
ita selalu nyata dalam maya. Selalu ada dalam ketiadaan. Selalu hadir dalam setiap ilusi. Begitu katamu. Selalu. Entahlah, terkadang aku tak pernah bisa memahami makna kalimatmu. Absurd. Aneh. Juga misterius. Bagaimanapun kamu ...
Posting Terkait
NARSIS (16) : BISIKAN HATI , PADA LANGIT PETANG HARI
Dia tahu. Tapi tak benar-benar tahu bagaimana sesungguhnya cara menata hati dari kisah cintanya yang hancur lebur dan lenyap bersama angin. Dia tidak sok tahu. Hanya berusaha memahami. Bahwa luka oleh cinta bisa dibasuh ...
Posting Terkait
NARSIS (2) : BINTANG DI LANGIT HATI
Konon, katamu, secara zodiak kita berjodoh. Aku berbintang Aries, Kamu Sagitarius. Persis seperti nama depan kita : Aku Aries dan Kamu Sagita. Cocok. Klop. Pas. Kamu lalu mengajukan sejumlah teori-teori ilmu astrologi yang konon ...
Posting Terkait
NARSIS (13) : ASMARA, SUATU KETIKA..
Jakarta, 2030, sebuah teras café Lelaki tua itu tersenyum samar. Dipandangnya perempuan seusia dengannya yang duduk tepat dihadapannya dengan tatap takjub. “Kamu tak banyak berubah, walau umur telah menggerogoti tubuh kita. Kamu ...
Posting Terkait
NARSIS (9) : UNTUK PEREMPUAN BERMAHLIGAI REMBULAN
Hai Perempuan Bermahligai Rembulan, Apa kabarmu? Cuaca di awal bulan Oktober ini sungguh sangat tak terduga. Seharusnya--menurut ramalan meteorologi-- hujan akan turun membasahi bumi, dan awal bencana banjir akan tiba. Tapi ternyata ...
Posting Terkait
NARSIS (4) : M.F.E.O
M.F.E.O 4 huruf tersebut selalu tertera di akhir email lelaki itu. Juga ketika mereka mengakhiri percakapan chatting didunia maya. Made For Each Other, bisik lirih perempuan hening malam sembari menyunggingkan senyum. Matanya menerawang menatap ...
Posting Terkait
NARSIS (6) : TENTANG CINTA, PADA TIADA
Dia, yang menurutmu tak pernah bisa kamu mengerti, adalah dia yang kamu cinta. “Jadi apakah itu berarti, kamu membencinya?” tanyaku penuh selidik suatu ketika. “Ya, aku menyukai dan membencinya sekaligus, dalam sebuah ...
Posting Terkait
NARSIS (14) : RAHASIA KEPEDIHAN
Sebagaimana setiap cinta dimaknai, seperti itu pula dia, dengan segala pesona yang ia punya menandai setiap serpih luka jiwanya sebagai pelajaran gemilang. Bukan kutukan. Apalagi hukuman. Perih yang ada di ...
Posting Terkait
NARSIS (17) : SEUSAI HUJAN REDA
NARSIS (1) : MENYAPAMU DI RUANG RINDU
NARSIS (11) : KINANTI MENANTI JANJI
NARSIS (8) : TENTANG DIA, YANG PERGI MEMBAWA
NARSIS (12) : BALADA LELAKI PETANG TEMARAM DAN
NARSIS (10) : KESEMPATAN KEDUA
NARSIS (3) : PEREMPUAN YANG MENGHILANG DI BALIK
NARSIS (15) : JARAK RINDU
NARSIS (18) : SEMESTA KANGEN, DI BRAGA
NARSIS (16) : BISIKAN HATI , PADA LANGIT
NARSIS (2) : BINTANG DI LANGIT HATI
NARSIS (13) : ASMARA, SUATU KETIKA..
Protected: NARSIS (9) : UNTUK PEREMPUAN BERMAHLIGAI REMBULAN
NARSIS (4) : M.F.E.O
NARSIS (6) : TENTANG CINTA, PADA TIADA
NARSIS (14) : RAHASIA KEPEDIHAN

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.