BUKU “CELOTEHAN LINDA” : SENTILAN HUMANIS & MEMORI KEHIDUPAN DALAM CATATAN
Judul Buku : Celotehan Linda (Jurnalis, Penulis, Humanis)
Penerbit : Kaki Langit Kencana, 2012
Penulis : Linda Djalil
Kata Pengantar : Bondan Winarno
Halaman : xvii + 426 Halaman
Cetakan : Pertama, Juni 2012
ISBN : 978-602-8556-30-9
Linda Djalil memang benar-benar sudah membuktikan dirinya, tidak betul-betul pensiun jadi wartawan. Buku ini adalah salah satu wujudnya. Seperti disampaikan oleh Bondan Winarno dalam kata pengantar buku yang baru terbit akhir Juni 2012 tersebut, “Wartawan tetap akan menulis sampai akhir hayat”. Dan begitulah, rangkaian tulisan mantan jurnalis majalah TEMPO dan GATRA itu dalam buku ini tidak sekedar menunjukkan eksistensi seorang Linda Djalil dalam dunia penulisan namun lebih dari itu, era jurnalisme warga yang berkembang via internet sekarang menjadi sebuah media menuangkan opini dan ekspresi tentang banyak hal seputar kehidupan, dan disini, gelegak nyali dan naluri kewartawanannya mendapat tempat “penyaluran”-nya.
Sudah lama saya mengenal sosok wartawan senior ini, terlebih sejak orang tua saya berlangganan majalah Tempo, tempat bekerja wartawati yang bertugas di Istana Presiden selama 9 tahun ini . Sepak terjang Linda Djalil, perempuan kelahiran 23 Juni 1958 dalam kiprahnya sebagai wartawan majalah Tempo cukup fenomenal. Tulisan-tulisan yang memikat di media tersebut menjadi salah satu daya tarik saya untuk membacanya. Kegesitannya “menembus” pertahanan narasumber yang sulit ditemui serta jaringan persahabatannya yang luas terlebih sejak menjadi wartawati istana, membuat tulisan-tulisan karya wartawati yang tahun silam menghasilkan buku kumpulan puisi “Cintaku Lewat Kripik Balado” ini seakan “hidup” dan mengesankan. Tak salah bila dalam kata pengantar buku tersebut, Putu Wijaya menyampaikan: Linda tidak memamerkan keterampilan pertukangan kata. Ia tidak “memainkan”kata dan kalimatnya. Ia memilin yang diceritakannya. Ia menaburinya dengan rasa. Itulah yang membuat “reportase”-nya menjadi unik. Dan karenanya puitis.
Tulisan dalam buku “Celotehan Linda” ini tidak hanya menuangkan sejumlah pengalamannya juga pengamatan kritisnya pada fenomena sosial yang terjadi di masyarakat. Sebagian besar isi buku ini merupakan tulisan-tulisan Linda Djalil di blog Kompasiana dan juga di blog pribadinya. Penyampaiannya lugas dan sistematis. Gaya bahasa ala ibu satu anak dalam tulisannya begitu nikmat dicerna. Kita seakan diajak duduk berdua bersamanya, bercengkrama, bercakap dengan nyaman sembari menikmati teh manis panas serta biskuit, melihatnya bercerita dengan ekspresi beragam, sembari menyaksikan senja yang luruh di batas cakrawala. Mulai dari kisah seram angkernya Istana Presiden, Anas Urbaningrum yang pinjam mobil teman, bagaimana ketika mantan Pangkopkamtib alm.Sudomo marah, sampai kenangan masa kecilnya yang indah, tersaji apik pada buku ini. Saya sungguh beruntung mengenal sosok beliau melalui interaksi diblog Kompasiana bahkan kemudian bisa hadir pada peluncuran buku ini minggu lalu.
Di blog, Linda Djalil seperti mendapatkan ruang bebas untuk menyampaikan ekspresi dan fikirannya tanpa mesti melalui birokrasi penyuntingan redaksional sebagaimana yang pernah dirasakannya dulu saat masih jadi wartawan. Ia begitu lugas dan tegas menyampaikan apa yang terbit di hati lewat tulisan meskipun terkadang tidak selaras dengan “bahasa formal” di dunia jurnalistik. Linda Djalil “merayakan kebebasan” itu tentu bukan tanpa kendali, sentilan maupun ulasannya dalam tulisan terasa begitu gurih dan renyah dengan rujukan yang jeli dan gaya reportase yang tajam bahkan seringkali membuat pembaca tertawa karena lelucon yang disajikan.
Lihatlah tulisan berjudul : Sjafrie Sjamsoeddin : Dari Pramugari Sampai Nenek Jompo Naksir Dia Lho..! (halaman 12)
Sebelum saya bercerita panjang lebar ini, rasanya saya ingin menghabiskan gelak tawa dulu sepuas hati. Lucu bagi saya rasanya, punya pengalaman dengan ‘yang kata orang’ keren ini, Sjafrie Sjamsoeddin. Buktinya, kemarin dulu ada postingan di Kompasiana yang judulnya “Jenderal Ganteng”. Waduh, saya pikir masanya sudah lewat nih, Sjafrie hanya ‘digilai’ zaman sepuluh tahun lewat. Tapi ibarat kepala eh kelapa maksud saya, makin tua makin berminyak. Rupanya Sjafrie masih banyak ( atau makin banyak ? ) penggemarnya. Cihuy…!!
Postur tubuhnya memang tegap, jangkung dan jalannya pun trap-trap-trap.. he, kayak lagu Aku Seorang Kapiten.. kalau berjalan trap-trap trap…!! Saya nyaris bersama-sama dengannya tiap hari saat bertugas di Istana. Dia kan penjaga eh pengawal Suharto, sebagai Komandan Grup A menggantikan pak kumis Subagyo HS yang amat ramah itu. Semula saya pikir, ah kurang asyik nih pengganti mas Bagyo HS, kayaknya kok kaku buanget. Tapi ternyata tidak. Kebetulan akhirnya saya tahu anak saya satu sekolah dengan anak Sjafrie di Sekolah Pelita Harapan Lippo Karawaci. Dan kami kalau sedang sedikit menganggur, mengobrollah tentang sekolah milik James Riyadi itu.
Enaknya dulu kerja di Istana, rasanya sih sesama wartawati yang ada di sana tidak ada deh yang kecentilan kepada para sumber, pejabat, atau tamu-tamu Istana. Kami bekerja secara korek, pas, profesional dan terukur sekali. Jadi, saya agak kaget juga kalau hampir saban hari teman-teman di luar bertanya, asyik dong lu ya tiap hari sama-sama orang keren tentara Sjarfie itu? Naksir nggak lo? – Waduh, sangking seringnya pertanyaan itu , lama-lama saya cerita kepadanya. Gue heran mas, apa kerennya elo, kok peyeum-peyeum pada banyak yang demen? – Sjafrie hanya ngakak tertawa tanpa beban. Begitulah memang dia. Tidak gede rumongso, dan napak bumi banget. Kami para wartawati pun acapkali mengobrol dengannya seputar pekerjaan , sampai hal-hal remeh temeh dan rencana acara Pak Harto seharian itu.
Atau di tulisan lain “Moerdiono Bicara Terbata-Bata Hanya Pura-Pura” (halaman 301) :
Menjadi wartawan yang ngepos di Istana, selain juga saya harus berkeliling ke Balai Kota DKI, Departemen Pertambangan dan Enerji serta Parpostel, tentu banyak kenangan yang masih lengket hingga kini. Saya masuk ke Istana/ Sekneg/ Bina Graha tahun 1989. Di situlah saya mulai berkenalan dengan menteri yang berkuasa di wilayah itu. Moerdiono baru setahun menjadi Mensesneg, dalam deretan Menteri Kabinet Pembangunan V. Saya juga masih menyaksikan selesainya tugas lelaki yang hobi main tenis ini pada tahun 1998 sebagai Menteri Kabinet Pembangunan VI. Artinya, nyaris 10 tahun saya hampir bertemu setiap hari dengannya. Saya dan seorang sahabat saya yang juga wartawan di lingkungan Istana, Iin Retno, memanggil dia Mr M. Juga salah satu staf Moerdiono yang selalu setia menemaninya main tenis sampai pukul satu malam, Rildo Ananda Anwar. Dialah yang juga membahasakan Moerdiono sebagai Mr M. Sebaliknya, ia juga memanggil saya ‘Lince’ dan memanggil Iin Retno ‘Ince’. Kami memang sangat akrab tanpa mengurangi rasa hormat dan tetap saja tidak pernah ‘diplintir’ olehnya dalam pemberitaan. Pak Moer tahu persis saya tidak bisa diatur-atur dalam menulis berita. Dekat boleh, mengatur tidak bisa! Itulah yang selalu saya katakan kepadanya, dan disepakati.
Ia sangat hati-hati dalam menyampaikan pernyataan dan menjawab pertanyaan wartawan. Sehingga, cara berbicaranya yang terbata-bata itu hanyalah untuk konsumsi publik. Begitu kamera menyorotinya, alat perekam diletakkan di depan meja, langsung ‘aaaa…eeeee…..eeee…aaaaa….hhhhhhmmm..eeee..’ muncul dari bibirnya. Sering kami hampir tergelak menghadapi situasi itu setiap saat. Begitu kamera dimatikan, bicaranya lancar bagai kereta api ekspress tanpa rem sedikitpun. Kadang kami protes kepadanya, mengapa selalu berbicara gagap begitu. “Nanti Bapak dikira orang memang begok lho!”, ujar saya. Pak Moer tergelak, “Hahahaaa… masa bodoh, biar saja…!! Daripada ngomong kilat tapi isinya gebleg dan ngaco!”
Membaca buku ini menggiring kita para pembaca untuk mengetahui lebih dalam sejumlah memori kehidupan seorang Linda Djalil yang begitu “berwarna”. Sentuhan humanis dengan gaya celoteh yang “gue banget” lewat tulisan-tulisannya menjadikan pembaca bisa larut dalam pesonanya. Saya sendiri yang memang sudah menjadi pembaca tetap tulisan beliau di Kompasiana dan pada blog pribadinya, merasakan nuansa persahabatan yang begitu kental lewat kalimat-kalimatnya yang mengalir dan apa adanya.
Buku ini dibagi dalam 5 bab yang masing-masing berisi 24 tulisan yakni : Umum, Sosial Budaya, Sosok, Mainstream Media & Hiburan dan Politik. Bab mengenai “Sosok” bagi saya merupakan bagian paling berkesan karena, wartawati yang menulis sejak masih SD untuk majalah Kuncung dan rubrik anak “Sinar Harapan” ini, begitu lincah, dramatis dan menyentuh mengangkat sisi-sisi humanis sosok yang akrab dalam kehidupannya. Lihat saja, bagaimana penulis biografi mini sejumlah tokoh terkenal ini menggambarkan sosok alm.Titie Said, pada tulisan “Titie Said: Saya Harus Meresensi Bukumu, Linda” (Halaman 311) :
Titie Said adalah aset Indonesia. Betapa tidak. Hidupnya senantiasa disumbangkan bagi kecerdasan bangsa. Berapa banyak sudah wanita Indonesia yang membaca majalah Kartini, hampir tiap penerbitannya membaca berbagai hasil karya Titie Said. Cerita bersambungnya, ”Jangan Ambil Nyawaku” selalu ditunggu-tunggu kaum wanita, dan membuat bulu kuduk merinding. Saya ingat, sebelum karya itu dibukukan sebagai novel, saya membacanya di Rumah Sakit Carolus sambil terbaring di tempat tidur. Betapa cerita “Jangan Ambil Nyawaku” mengerikan, menyedihkan, tapi sekaligus memberikan semangat bagi orang-orang yang sedang menderita sakit. Air mata saya bergulir di dalam kamar Rumah Sakit yang hening. Majalah Kartini itu saya simpan di samping bantal. Saya juga ingat bagaimana seorang suster Rumah Sakit memergoki saya sedang menangis membaca cerita Titie Said itu, lalu saya katakan, “Iya suster…, yang ngarang cerita ini luar biasa sekali. Sepertinya cerita ini betulan. Padahal ini kan hanya fiksi”
Novel hasil karya wanita yang nama aslinya Sitti Raya Kusumawardani ini memang sudah puluhan yang diterbitkan. Tahun ‘60 an juga sudah muncul kumpulan cerpennya. Sebagian naskahnya sempat musnah bersama harta berharga, mangkok antik, dokumentasi pribadi, foto-foto kenangan, saat rumahnya yang luas di atas tanah 1200 m2 itu dilalap api beberapa tahun silam. Sebagaimana penggambaran tokoh hebat dalam novel “Jangan Ambil Nyawaku”, Titie Said menghadang petaka itu dengan ketegaran yang mencengangkan. Ya, ia memang wanita Indonesia yang luar biasa. Janjinya kepada saya, untuk meresensi buku puisi saya, entah sudah sempat dibuat atau belum, buat saya tidak masalah. Yang penting, makna terbesar adalah ia sempat memberikan apresiasi atas hasil karya saya dengan tulus, dan menginginkan sebuah resensinya dari tangannya sendiri. Bahwa itikad itu tak tersampaikan, tentu semua karena ketentuan Allah semata-mata.
Selamat jalan, tante Titie Said…….. , peluklah dia ya Allah…. peluklah dia dengan segenap cinta….
Catatan-catatan kritisnya tentang kondisi sosial yang terjadi beberapa waktu terakhir dituliskan alumni Fakultas Sastra Universitas Indonesia ini, dengan cermat dan membumi. Saya sempat tersenyum dan kemudian termenung sendiri membaca tulisan “Harga Melambung, Bingung Tidak sih?” (halaman 27
Membaca halaman muka beberapa surat kabar hari ini, membuat kepala pagi-pagi ‘ngebul’ rasanya. Harga kebutuhan pokok membumbung melambung tinggi, tarif dasar listrik yang ditinggikan mulai berlaku, harga tabung gas yang semakin naik tapi makin seru juga tingkat bahayanya, dan sebagainya dan sebagainya.
Saya bukan ahli ekonomi, politikus apalagi. Saya hanyalah wanita biasa, ibu rumah tangga yang setiap saat bergaul dengan cabe keriting kol buntet dan bumbu dapur. Saya juga cukup paham harga minyak goreng kemasan bermerk yang dulu hanya di atas Rp 10 ribu rupiah tiap dua liter sekarang mencapai hampir dua kalinya. Juga minyak goreng curah yang semula Rp 6000 sekarang mencapai Rp 9500,- satu liternya. Belum lagi ayam potong yang harganya tak pernah dipotong lebih murah sedikitpun, telor yang dari Rp 8000,- makin hari makin membumbung dan hari ini mencapai Rp 14.500,- sekilogramnya. Bawang putih yang biasanya satu ons bisa dibeli dengan harga Rp 800,- sekarang hampir Rp 3000,- . Belum lagi bahan terpenting dalam masakan, bawang merah, yang harganya sungguh menyakitkan. Jagung? Dulu Rp 500,- sebatang sekarang lebih dari Rp 2000,-. Gula pasir rasanya kini pahit bagi orang yang betul-betul punya kondisi keuangan cekak. Dari Rp 8000,- kembali naik.. naik.. ke puncak gunung .. dan sekarang mencapai Rp 11 ribu. Mau tahu harga labusium? Biasanya Rp 400 per butir, sekarang bisa mencapai Rp 3500,-. Hebat kan? Bagaimana dengan cabe rawit yang biasanya seribu perak bisa dapat segepok? Kini jangan sebut kata seribu perak…, bisa-bisa kita dilempar oleh si penjual sayur di pasar.
Kadang saya tersenyum sendiri memandang para ibu yang masih mengejar penjualan obral tas baju sepatu bermerk tengah malam hari di beberapa pertokoan mewah. Kebutuhan primerkah semua itu? Mungkin bagi segelintir wanita, iya. Penampilan memang harus nomor satu, nyonyah ! Aha.., saya sendiri masih bergelut di bisnis salon kok. Para ibu merawat bukan hanya melulu untuk dilihat cantik, namun untuk yang sadar diri kebersihan, perawatan yang apik, tetap memang membutuhkan pengerjaan yang dibantu oleh yang ahlinya. Rambut rontok ada solusinya, pipi lebam bercak hitam ada cara mengatasinya. Semua butuh biaya memang, meski ada kadar mahal dan tidaknya. Bagaimana dengan pembelian shampo, sabun, krim untuk pijat rambut dan kulit tubuh? Semuapun bagai berlari naik ke puncak pohon cempaka.. trilili..trilili……. tralala..tralala….. naik..naik ke puncak gunung.. tinggi.. tinggi sekali…. duuuh, pusyiiiiiiiiing… !!
Ironi sosial yang terjadi dipaparkan secara gamblang dan blak-blakan. Ekspresi kejujuran dan kepedulian disajikan secara bernas, cerdas, juga menggemaskan. Saya sepakat dengan testimoni wartawan senior Kompas Budiarto Shambazy dihalaman belakang buku ini yang menyatakan: “Linda Djalil adalah wartawati senior selama sekitar 30 tahun terakhir produktif meliput dan menulis semua aspek kehidupan: politik, sosial dan budaya. Ia jeli memilih topik dan membuatnya menjadi karya jurnalistik yang menarik dan mendalam. Karya-karyanya paripurna karena rasa ingin tahunya tak pernah surut. Jaringannya luas serta kepeduliannya terhadap bangsa dan negara sungguh besar. Di atas segala-galanya, karya-karyanya bisa dinikmati siapa pun karena senantiasa kritis dan dikerjakan dengan mengedepankan akal sehat serta hati nurani”.
Sukses selalu untuk buku “Celotehan Linda” !
wah bahasanya memang sangat memikat, langsung mampir ke blognya mbak linda nih 🙂
Pingback: Resensi Buku “Celotehan Linda” | Catatan Linda Djalil
karean tulis menulis tidak jauh dari kehidupannya dan selalu diasah, wartawan senior.
Pingback: WAWANCARA BERSAMA LINDA DJALIL : “NGEBLOG ITU MEMBUAT BAHAGIA !” / Catatan Dari Hati
kalo orang dengan kecerdasan linguistik mudah aja menulis buku idenya berdatanagan bertubi tubi, kalo saya kadang untuk update artikel web aja bingung mau nulis apa ya…. hehe ada yang bisa ngasih saran