BUKU “SHOCKING JAPAN” : DAYA KEJUT JEPANG DAN SENSASI YANG MENGIKUTINYA
Judul Buku : Shocking Japan (Sisi Lain Jepang yang Mengejutkan)
Penulis : Junanto Herdiawan
Penerbit : B-First (PT Bentang Pustaka)
Penyunting : Sophie Mou & Ikhdah Henny
Halaman : x + 162 halaman
ISBN : 978-602-8864-64-0
Senang rasanya menerima kiriman buku ini langsung dari penulisnya mas Junanto Herdiawan akhir bulan lalu. Di halaman depan, blogger aktif yang saya kenal pertama kali lewat interaksi di Kompasiana dan sekarang bertugas sebagai analis Ekonomi di Tokyo Jepang ini menulis dengan ucapan ringkas “Daeng Amril yg baik, Thanks atas bantuan dan inspirasinya di dunia blog, Selamat membaca catatan2 kecil ini”.
Saya tiba-tiba teringat tahun silam, mas Jun mengutarakan niatnya kepada saya untuk minta bantuan dibuatkan blog dengan hosting dan domain sendiri. Alhamdulillah sejak Desember 2011, blog www.junantoherdiawan.com sudah aktif.
Sosok Mas Jun–demikian saya memanggilnya–memang inspiratif. Sebagai pembaca setia blognya sejak aktif menulis di Kompasiana tahun 2008, mas Junanto senantiasa menghadirkan corak tulisan yang ringan, cerdas dan bernas. Untaian kalimat yang tertata dan renyah dibaca membuat saya seringkali terpaku untuk membaca seluruh tulisannya hingga tuntas. Setelah buku “Japan After Shock” yang sempat saya hadiri peluncurannya akhir Januari silam dimana pria yang juga penggiat ilmu filsafat ini menulis bersama Hani Yamashita dan membahas tentang bagaimana masyarakat Jepang bangkit dari keterpurukannya pasca bencana gempa dashyat tahun 2011, mas Jun sepertinya tergelitik untuk mengkompilasi tulisan-tulisannya sendiri menjadi sebuah buku.
Dalam kata pengantar bukunya mas Jun menulis,”Buku ini memuat pemikiran-pemikiran saya tentang masyarakat Jepang dari sudut pandang saya. Berbagai hal, mulai cara mereka berfikir, kehidupan sosial, pribadi, budaya, ekonomi, hingga kuliner dan jalan-jalan, saya tuangkan dalam buku ini. Kadang gaya ceritanya juga bermacam-macam karena sifatnya yang permenungan”.
Perspektif berkisah yang diterapkan mas Jun dalam penulisan di blog ini yang disajikan dengan pendekatan personal justru menjadi keunggulan tersendiri karena dengan begitu pembaca seakan diajak “bercakap-cakap” dan larut dalam gaya berceritanya. Culture Shock yang dialami saat di Jepang disajikan dengan gaya ringan dan kocak, pun ketika mas Jun menyajikan keselarasan budaya kita dan negeri Matahari Terbit itu.
Lihat saja dalam tulisannya berjudul “Japanese Are Like Javanese” di halaman 76 (judul di blog : “Orang Jepang Tak Bisa Bilang Tidak”) mas Jun menguraikan:
Tinggal di Jepang membuat saya belajar banyak tentang aspek-aspek personal dan kultural dari masyarakat Jepang. Salah satu yang menarik perhatian saya adalah adanya kemiripan budaya antara orang Jepang dan orang Jawa. Saya kerap berkata pada teman-teman Jepang bahwa “Japanese are like Javanese”.
Tentu kemiripan yang saya cermati ini berlaku terbatas dari pengamatan sehari-hari. Bukan dilandasi oleh kajian mendalam tentang antropologi, sosiologi, maupun riset ilmiah lainnya. Namun, seperti yang diajarkan oleh salah satu dosen saya, Romo Magnis Suseno, pencermatan saya lebih dilatarbelakangi oleh konsep etika yang nampak dalam keseharian.
Orang Jepang dan orang Jawa memiliki nilai, etika, dan budaya yang mirip di beberapa aspek. Hal tersebut mungkin ditentukan pula oleh aspek geografis (geographical determinism) Jepang dan Jawa yang hampir sama. Dahulu, masyarakat Jepang dan Jawa adalah masyarakat pertanian. Mereka tinggal di wilayah kepulauan yang kontur tanahnya sama, didominasi oleh sawah dan pegunungan.
Dengan latar belakang tersebut, masyarakat Jawa dan Jepang dituntut untuk mampu hidup bersama dan bekerja secara harmonis antara satu dan lainnya. Prinsip yang berkembang kemudian adalah prinsip “kerukunan”. Menanam padi misalnya, tak akan bisa berhasil tanpa kerjasama dan kerukunan dari seluruh elemen yang ada desa. Dalam masyarakat itu, sifat menyakiti orang lain, akan merugikan diri mereka sendiri dan sejauh mungkin dihindari.
Hal yang menonjol dari masyarakat Jepang adalah konsep “harmonis” atau “Wa”. Dalam komunitasnya, orang Jepang sangat menjaga keharmonisan di antara mereka. Kalau ada orang yang mengganggu keharmonisan, terancam diasingkan dari lingkungan.
Atau pada postingan”Hari Belut Nasional” halaman 116, mas Jun berkisah tentang tradisi masyarakat Jepang yang dimusim panas memiliki tradisi makan belut atau doyo no ushi no hi. Pada hari itu, seluruh masyarakat Jepang memakan belut bersama-sama. Belut atau Unagi, adalah makanan populer bagi masyarakat Jepang. Selain kaya akan lemak dan protein, belut dipercaya mampu menjaga stamina di tengah udara musim panas yang menyengat. Mas Jun menuliskan pengalamannya menyantap makanan belut bernama Hitsumabushi
Hitsumabushi menggunakan belut khusus yang diambil dari danau sekitar Shizuoka. Umur belut juga tidak boleh terlalu tua, maksimal dua tahun. Belut usia dua tahun memiliki kerenyahan dan kelembutan yang pas di lidah. Setelah dibersihkan, belut dipanggang dengan menggunakan tusuk sate. Bumbunya juga sederhana, cukup dengan kecap Jepang dan beberapa bumbu lokal.
Daging belut Nagoya yang tebal dan lembut tadi kemudian diletakkan di atas nasi. Hal yang membedakan adalah kerenyahan dagingnya. Tekstur daging Hitsumabushi lebih renyah dan crispy dibandingkan unagi biasa, sehingga rasanya juga lebih gurih.
Ritual memakan Hitsumabushi harus melalui tiga tahapan. Tidak boleh langsung dimakan semua. Masing-masing tahapan memiliki sensasi dan gelinjang sendiri-sendiri yang mampu membawa anda merasakan ekstase kenikmatan. Tahap pertama, makanlah nasi dengan unagi bersama-sama. Dengan cara ini, cita rasa unagi yang asli tetap terjaga tanpa campuran kondimen apapun.
Setelah selesai, saya memulai tahap kedua, unagi dan nasi ditaburi dengan bumbu daun bawang, rumput laut (nori) dan wasabi. Cara memakannya adalah dengan mencampur ketiga bumbu tadi dengan nasi dan unagi. Saya mencoba memasukkan sesendok ke mulut. Setelah beberapa saat, hmmmm… rasakan gabungan aroma daun bawang, nori, wasabi, dan gurihnya unagi. Betul-betul membawa melayang menuju kenikmatan
Tahap ketiga adalah mencampur sisa nasi, unagi, dan semua bumbu tadi dengan kuah sup yang disediakan. Kuah sup menjadikan sensasi rasa Unagi tadi bertambah nikmat. Gurih, manis, lembut, pedas, renyah, bercampur baur dalam langit-langit mulut anda. Nikmaaat.
Buku ini memang benar-benar membawa kita pada suasana Jepang sesungguhnya. Dibagi menjadi 4 Bab (masing-masing terdiri atas 7-8 tulisan) yakni “Tak Disangka-Sangka” , “Perlu Tahu,Nih!”, “Bukan Kuliner Biasa” dan “Belajar Dari Sini,Yuk!”, buku “Shocking Japan” mengantar kita dalam sebuah petualangan budaya dan sensasi kuliner di negeri Sakura. Mas Jun secara atraktif menyajikan tulisannya secara populer dan mudan dicerna.
Tak salah bila kemudian Duta Besar Jepang untuk Indonesia, Yoshinori Katori memberikan apresiasi khusus untuk buku “Shocking Japan” ini dengan menuliskan surat khusus kepada mas Jun (lihat copy suratnya diatas yang saya ambil dari halaman Facebook beliau). Tentu saja ini memiliki makna penting karena komunikasi budaya konstruktif antar bangsa bisa “dijembatani” oleh buku “Shocking Japan”.
Sayangnya disetiap akhir tulisan pada buku ini tidak mencantumkan tanggal postingan diblog. Menurut saya ini penting agar pembaca bisa melihat aktualitas tulisan–sebagaimana ciri dari sejumlah buku yang diterbitkan dari blog. Terlepas dari itu, saya sangat menikmati membaca buku “Shocking Japan”. Terbayang kembali saya mengalami banyak hal serupa (terutama soal “kejutan budaya”) saat berkunjung ke Jepang tahun 1996 dalam sebuah training satu bulan di Kyoto. Terimakasih mas Jun, buku ini memang “mengejutkan”. Dan sensasional :). Ditunggu kehadiran buku berikutnya !
Salam kenal
Selain budaya harmoni, hal apalagi yang bisa dipetik manfaatnya ?
Banyak. Termasuk interaksi sosial dan kulinernya
Membaca alenia pertama itu, bikin saya tahu, ternyata mas Amril tak hanya menjadi inspirasi saya dalam ngeblog dan menulis, tapi juga telah menginspirasi penulis buku Shocking Japan ini 🙂
Thanks ya Rien, sudah mampir disini..yuk nulis buku !