CERPEN : WISUDA
Pengantar:
Cerpen ini pernah dimuat di Harian Fajar Makassar, Minggu 2 Oktober 1994. Saya tayangkan kembali disini tidak hanya sebagai arsip digital, namun menjadi bagian dari mengabadikan kenangan, semoga bermanfaat bagi yang membacanya 🙂
—
LELAKI muda itu memandang bintang berkelip di langit dengan tatap hampa. Sesekali terdengar helaan nafas berat dari hidungnya. Bulan muncul sepenggal dari sisi langit sebelah timur, menyibak awan dan perlahan bergerak ke atas, menuju puncak malam.
Sinar redupnya menyinari hamparan sawah yang kering kerontang. Hasan, lelaki muda itu, tak juga bergeming dari tempatnya berpijak. Dengan gerakan kaku ia mengambil sebatang rokok dari kantong, lalu menyalakannya. Pijar api rokoknya menghiasi pekat malam. Asapnya menguap diserap udara malam yang dingin.
Hasan beringsut lalu mengambil posisi menjongkok, kemudian melemparkan pandangan ke depan sawah di belakang rumah sederhananya terlihat begitu merana. Kemarau panjang telah menyebabkan sebagian besar padi itu, adalah tempat kehidupan segenap keluarganya bergantung.
Ia sendiri, yang cukup beruntung mengenyam pendidikan tinggi dibandingkan kedua adik perempuannya yang hanya tamat SLTA, merasa memiliki “hutang” yang teramat besar pada hamparan sawah 1 hal itu.
Kini, ia berhasil “ menebus” hutang tersebut dengan menyelesaikan study pada Fakultas Teknik Mesin. Sebuah masa yang sangat pendek bagi aktivitasnya sebagai tokoh mahasiswa terkemuka di kampus yang sangat dicintainya.
Masih tergiang di telinganya ucapan Ketua Sidang saat yudisium, minggu lalu, usai ia melaksanakan ujian Sarjana Lengkap: “ Dengan ini Anda berhak menyandang gelar Sarjana Teknik sekaligus meniggalkan atribut kemahasiswaan Anda pada jenjang pendidikan S1. Selamat!”. Tepuk riuh kemudian menggema diruang sidang sarjana ketika itu.
Sebentuk keharuan dan kebanggaan mendadak menggelepar, namun bersamaan itu ada kesedihan menohok di hatinya. Ia sedih karena kegiatannya sebagai aktivis kampus mesti ditinggalkan. Sebuah ironi yang menyesakkan.
Meski ini berlangsung secara alamiah, sebagaimana target akhir yang ada di benak setiap mahasiswa di kampus, tak urung membuat batinnya tak rela. Sepak terjang legendaris yang telah dilakukannya di kampus selama ia menyandang atribut sebagai tokoh mahasiswa itu, tak hanya menjadi wujud eksistensinya tetapi juga adalah catatan emas dan referensi yang selalu dikenang kapan saja.
Hasan menghirup dalam-dalam rokok kreteknya.
Besok, ia akan mengikuti wisuda sarjana. Suatu prosesi megah yang menandai pelepasannya dan segeap alumni universitas ini.
Ia tiba-tiba merasa gundah. Perjalanan hidup kemahasiswaannya selama lebih kurang 8 tahun itu terasa sangat singkat. Sangat singkat. Ia masih ingin betul, ketika bersama kawan-kawanya mengadakan demonstrasi ke kantor DPRD dan Rektorat, memprotes kebijakan sepihak yang merugikan mahasiswa atau diskusi hangat di kampus tentang Postmodernisme, Situasi Politik Indonesia, Kondisi Lembaga Mahasiswa sampai kecantikan mahasiswi idaman yang memikat hati para aktivis, di tengah malam dan disertai kopi panas mengepul-ngepul, atau juga liku-liku perjuangannya sebagai wartawan kampus memburu sumber berita bahkan sempat mendapat lemparan sandal dari sang calon responden yang bersangkutan
Hasan tersenyum sendiri mengenangnya.
Lantas ada juga cerita tentang Rita.
Perempuan bermata kejora yang memporak-porandakan hatinya. Kisah itu dijalin begitu mesra sejak mereka berdua saling kenal pada acara latihan Jurnalistik Mahasiswa 3 tahun yang lalu. Rita memang sangat mempesona. Parasnya yang putih bersinar membuatnya terpukau sekaligus terpuruk dalam lautan asmara.
Ia tak kuasa membendung betot magis Rita yang ketika itu menjadi salah seorang peserta kegiatan tersebut.
“ Kamu siap menjadi kekasih seorang aktivis?” tanyanya pada Rita, suatu sore di Pantai Losari, saat hubungan mereka sudah “ jadi”. Rita tak segera menjawab, ditatapnya debur ombak yang menghempas di bibir pantai.
“ Saya akan siap menaggung segala resiko Bang Hasan. Syaratnya Cuma satu: Jangan pernah mengabaikan saya. Itu saja, “ sahut Rita akhirnya sembari merebahkan kepalanya di bahu Hasan. Wangi rambut gadis cantik itu menyeruak ke indera penciuman Hasan dan menggetarkan segenap pori-pori tubuhnya. Seketika langit seperti dihiasai warna-warni pelangi.
Kalau kemudian Rita memutuskan hubungan secara sepihak, sebabnya segera  dapat ditebak. Ia mengabaikannya!. Bagaimana tidak? Ia lebih memilih menghadiri diskusi mengenai Dinamika Partai Politik Indonesia di kampus ketimbang menghadiri acara Ulang Tahun Rita. Dan tidak hanya itu, banyak event-event penting yang sangat didambakan Rita bisa dilakukan bersama Hasan terpaksa harus batal.
“ Saya selalu menetapkan skala prioritas saya, Rita. Tolong kamu pahami itu. Dan ingat kamu sudah siap menerima resiko itu bukan?” ujarnya memberikan penjelasan.
Tapi Rita tak mendengar. Esoknya ia menerima suratsingkat dari Rita. Isinya: “Kita putus. Silahkan kamu bercinta dengan cara kamu sendiri. Tidak dengan saya. Selamat Tinggal!”.
Berikutnya, Perempuan-perempuan setelah Rita, seperti Santi, Heny, Tina dan Candra, juga melakukan tindakan serupa.
Tampaknya mereka tidak terlalu siap menghadapi resiko pacar seorang aktivis kampus lebih-lebih jika diabaikan. Dan berdasarkan alasan itu Hasan ahkirnya memutuskan “ memilih untuk tidak memilih,” sampai sekarang.
Hasan terkekeh sendiri. Seekor jengkrek mengerik di sudut pematang . Ia menyalakan rokok kedua. Bulan di atassanasudah menampakkan bentuknya secara keseluruhan. Bulat bundar dengan sepotong awan tipis mengait pinggirnya.
“ San, togamu mau disetrika nggak?” terdengar ibunya bertanya dari pintu rumah yang terletak tidak jauh dari tempatnya berpijak. Ia menoleh.
“ Nggak. Nggak perlu, biar begitu saja!” sahut Hasan setengah hati. Ibunya tak bertanya lagi setelah itu.
Kembali Hasan menekuni rokoknya.
Lalu kenangan kembali berlari di benaknya.
Waktu itu, ia dengan mata menyala-nyala, menghadap ke Dekan Fakultas mempertanyakan dan memprotes sejumlah Dosen yang tidak pernah berikan kuliah.
“Itu tak adil, pak. Mereka telah dibayar untuk menunaikan kewajibannya. Kok mereka seenak perut tidak hadir tanpa pemberitahuan sebelumnya?. Inikan merugikan mahasiswa, Pak?” kata Hasan mewakili rekan-rekannya yang segera disambut tepuk riuh.
Seketika ia menikmati kejadian itu, perasaannya melambung . Ia seperti jadi pahlawan. Sekurang-kurangnya di mata kawan-kawan.
Kembali Hasan mengisap rokoknya dalam-dalam. Kali ini lebih Khidmat dan bergetar hingga ke tulang sum-sum. Besok, saat wisuda, sebuah etape telah diakhiri untuk kemudian melanjutkan ke etape berikutnya.
Saya akan ke mana, saya tidak tahu, batin Hasan. Jejak-jejak sepak terjang semasa menjadi aktivis mahasiswa tinggal kenangan manis belaka. Hasan mengigit bibir. Mendadak ia kepingin bermimpi menjadi mahasiswa lagi . Dan ternyata ia membuktikannya dengan sukses.
Esok harinya, Ayah dan Ibu Hasan yang telah berpakain rapi yakni jas hitam dan kebaya ungu berdiri melongo ke depan pintu kamar Hasan yang terkunci rapat. Pada pintu yang terbuat dari tripleks itu tertempel tulisan di atas secarik kertas lusuh. Isinya: Buat Ayah dan Bundaku tersayang. Maafkan ananda tak bisa ikut wisuda sekarang. Karena ananda ingin tidur dan bermimpi jadi mahasiswa lagi.