Matahari bersinar cerah, hari Sabtu (14/12), saat kami semua berkumpul di ruang makan Hotel Family Nur Sumenep. Badan saya relatif sudah terasa lebih segar, seusai sarapan dan tidur cukup setelah perjalanan panjang dari Surabaya, ke gerai batik gentongan Tanjungbumi hingga menonton pertunjukan tari topeng khas Madura tadi malam. Pagi itu, sebelum mengunjungi Keraton Sumenep, serta beberapa destinasi wisata budaya lainna, kami berkumpul sejenak untuk mendengarkan sharing dari budayawan muda mas JJ Rizal yang juga ikut dalam rombongan kami serta jumpa pers bersama teman-teman media.
Dibuka oleh mbak Adinda Kuntoro, perwakilan Dji Sam Soe-Sampoerna Group, pertemuan ini berjalan penuh nuansa kekeluargaan.Beliau mengungkapkan bahwa acara Cultural Trip ini diselenggarakan sebagai bagian dari kegiatan kompetisi foto dan blog Potret Mahakarya Indonesia. Selama 10 minggu berturut-turut sejak September 2013, dilaksanakan lomba blog yang mengambil inspirasi foto 24 finalis lomba foto Potret Mahakarya Indonesia. Pada minggu terakhir dipilih 4 blogger terbaik yang akan mengikuti acara Cultural Trip ke destinasi wisata budaya di Madura. Keempat blogger tersebut itu adalah saya, Dwi Ariyani alias Neng Biker, Syaifullah Daeng Gassing dan Danan Wahyu Sumirat.
Hadiah perjalanan wisata budaya ini sebagai bentuk apresiasi kepada para blogger serta diharapkan kelak mereka bisa menuliskannya kembali di blog masing-masing dan dibagikan secara luas kepada publik sebagai bagian dari upaya promosi wisata nusantara, khususnya daerah Madura. Pada kesempatan itu pula hadir Bapak Yasin Tofani Sadikin Brand Manager PT HM Sampoerna, Tbk yang khusus datang dari Jakarta tadi malam untuk mengikuti kegiatan ini.
Setelah itu tampil budayawan muda mas JJ Rizal yang juga adalah penggiat di Komunitas Bambu yang menjelaskan tentang perpaduan budaya Jawa, Cina, Arab bahkan Eropa membentuk kebudayaan Madura. “Ini terlihat jelas pada pementasan tari topeng Madura semalam termasuk corak batik yang khas seperti yang telah kita saksikan di Tanjung Bumi. Asimilasi atau perpaduan budaya ini membentuk kebudayaan Madura menjadi sosok yang unik dan khas,” kata JJ Rizal. Setelah mas JJ Rizal, ada mbak Venus–salah seorang juri lomba blog Potret Mahakarya Indonesia–yang menjelaskan bahwa blogger berada di garda paling depan sebagai duta bangsa yang mempromosikan destinasi wisata dan budaya Indonesia melalui tulisan-tulisan online di blog mereka. Olehnya itu, tambahnya lagi, seusai kompetisi foto Potret Mahakarya Indonesia diselenggarakan lomba blog yang menjaring apresiasi para blogger dengan tulisan yang berasal dari inspirasi foto para finalis.
Di kesempatan berikutnya, fotografer terkenal, Barry Kusuma, yang juga adalah salah seorang juri lomba blog Potret Mahakarya Indonesia mengungkapkan bahwa Madura sebenarnya memiliki potensi wisata dan budaya yang sangat kaya namun sayangnya kurang banyak mendapat promosi yang intens. “Saya berharap agar dengan event ini, para blogger dan media yang ikut bisa membantu untuk mempromosikan wilayah ini dengan cara masing-masing, termasuk dengan foto,” kata Barry dengan mata berbinar.
Rombongan Cultural Trip Potret Mahakarya Indonesia ke Madura kali ini mendapat kejutan menggembirakan. Masing-masing dari kami memperoleh hadiah Jam Tangan G-Shock Casio. Saya menerima hadiah tersebut secara simbolis yang diserahkan langsung oleh bapak Yasin Tofani Sadikin.
Acara selanjutnya adalah Jumpa Pers. Rekan-rekan media yang hadir bersama rombongan kami memberikan sejumlah pertanyaan kepada kami berempat sebagai pemenang Grand Prize lomba blog Potret Mahakarya. Saya sempat menceritakan artikel di blog saya yang berhasil memenangkan kompetisi ini, termasuk perjuangan saya untuk tetap “ngotot” berpartisipasi menulis sampai 6 artikel, hingga berakhir manis : menang di minggu kesembilan dan berhasil meraih hadiah Grand Prize Cultural Trip ke Madura.
Rombongan kami kemudian bergerak menuju Keraton Sumenep dengan menggunakan bis. Disana, kami disambut hangat oleh Pak Tadjul Arifin, sejarawan Sumenep yang juga telah menulis sejumlah buku. Beliau menjelaskan, Keraton Sumenep dibangun pada tahun 1780 di desa Pajagalan pada era Pemerintahan Panembahan Sumolo.Arsitek yang merancang bangunan keraton berasal dari etnis Cina bernama Lauw Piango, cucu Lauw Khunting, salah satu dari 6 orang Cina pertama yang datang dan menetap di Sumenep sejak melarikan diri dari huru hara di Semarang tahun 1740. Meski sudah tak dihuni lagi oleh raja, keluarga sampai para abdinya, bangunan keraton yang sudah berusia lebih dari dua abad ini tetap terjaga kelestariannya.
Seperti dikutip dari Wikipedia:
Keraton Sumenep berdiri di atas tanah milik pribadi Pangeran Natakusuma I (Panembahan Somala) (sebelah timur keraton lama milik Ratu R. Ayu Rasmana Tirtanegara). Kompleks bangunan Karaton Sumenep lebih sederhana dari kompleks Karaton kerajaan Mataram, bangunannya hanya meliputi Gedong Negeri, Pengadilan Karaton, Paseban, dan beberapa bangunan Pribadi Keluarga Karaton.
Di depan keraton, ke arah selatan berdiri Pendapa Agung dan di depannya berdiri Gedong Negeri (sekarang Kantor Disbudparpora) yang didirikan oleh Pemerintahan Belanda. Konon, Pembangunan Gedong Negeri sendiri dimaksudkan untuk menyaingi kewibawaan keraton Sumenep dan juga untuk mengawasi segala gerak-gerik pemerintahan yang dijalankan oleh keluarga Keraton. Selain itu Gedong Negeri ini juga difungsikan sebagai kantor bendahara dan pembekalan Karaton yang dikelola oleh Patih yang dibantu oleh Wedana Keraton.
Disebelah timur Gedong Negeri tersebut berdiri pintu masuk keraton Sumenep yaitu Labang Mesem. Pintu gerbang ini sangat monumental, pada bangian atasnya terdapat sebuah loteng, digunakan untuk memantau segala aktifitas yang berlangsung dalam lingkungan keraton. Konon jalan masuk ke kompleks keraton ini ada lima pintu yang dulunya disebut ponconiti. Saat ini tinggal dua buah yang masih ada, kesemuanya berada pada bagian depan tapak menghadap ke selatan. Pintu yang sebelah barat merupakan jalan masuk yang amat sederhana. Di bagian pojok disebelah timur bagian selatan Labhang Mesem berdiri Taman Sare (tempat pemandian putera-puteri Adipati) dimana sekelilingnya dikelilingi tembok tembok yang cukup tinggi dan tertutup.
Sedangkan di halaman belakang keraton sebelah timur berdiri dapur, sebelah barat berdiri sisir (tempat tidur para pembantu keraton, emban, dayang-dayang Puteri Adipati), di sebelah barat terdapat sumur. Di depan sumur agak ke arah barat berdiri Keraton Ratu R. Ayu Rasmana Tirtanegara, dan di depannya berdiri pendapa. Namun pada jaman pemerintahan Sultan Abdurahman Pakunataningrat pendapa tersebut dipindahkan ke Asta Tenggi dan disana didirikan Kantor Koneng. Pembangunan Kantor Koneng (kantor kerajaan/adipati) semula mendapat tentangan keras oleh pemerintah Hindia Belanda karena hal tersebut bertentangan dengan peraturan pemerintah saat itu. Namun, untuk menghindari tuduhan tersebut maka Sultan beninisiatif untuk mengubah seluruh cat bangunan tembok berwarna kuning selaras dengan namanya yaitu “kantor koneng” (bahasa belanda :konenglijk=kantor raja/adipati). Pada Masa Pemerintahan Sultan Abdurrahman, kantor Koneng difungsikan sebagai tempat rapat-rapat rahasia para pejabat-pejabat tinggi Karaton. Di sebelah selatan Kantor Koneng, di pojok sebelah barat pintu masuk berdiri pendapa (paseban).
Pada mulanya antara keraton dengan pendopo letaknya terpisah. Namun, pada masa pemerintahan Sultan Abdurrahman Pakunataningrat, kedua bangunan tersebut dijadikan satu deret. Dahulu, Paseban (pendopo ageng) difungsikan sebagai tempat sidang yang dipimpin langsung oleh sang Adipati dan dihadiri oleh seluruh pejabat tinggi karaton yang waktunya dilaksanakan pada hari-hari tertentu. Paseban sendiri diurus oleh mantri besar dan dibantu oleh kebayan.
Kami lalu menyusuri ruangan demi ruangan Keraton Sumenep. Memang sangat terasa sentuhan budaya Cina, Arab, dan Eropa di struktur bangunan, pilar-pilar besar maupun pada lekuk ornamen-ornamennya. Bubungan atap dengan model melengkung pada bagian ujung nampak mirip dengan bentuk bangunan Tionghoa. Terdapat pula ukiran Burung Hong yang merupakan lambang kemegahan bangsa Cina nampak terlihat pada beberapa bagian.
Di pendoponya yang asri dan teduh saya melihat pintu ruangan utama keraton berdiri kokoh dengan ukiran indah dan unik. Sebuah pohon beringin yang rindang berada disisi kirinya. Pada dinding tembok pendopo terpampang sebuah lambang Keraton berpigura emas dengan simbol naga dan kuda sembrani serta mahkota raja yang menjadi lambang Kadipaten Sumenep tahun 1811-1965. Museum keraton Sumenep ini menampilkan sejumlah peninggalan bersejarah seperti guci keramik, koleksi peralatan upacara tradisional, keris, kereta kencana, kotak ramuan jamu, keris, tombak perang, peralatan pertanian kuno dan lain-lain. Tidak ketinggalan pula sejumlah koleksi arca sisa dari kerajaan hindu di Sumenep.
Saya sempat menanyakan asal-usul nama Sumenep pada pemandu wisata kami di Keraton. Konon berasal dari kata Songenep. Dalam bahasa Madura, Songenep adalah gabungan dari kata Lesso dan Nginep. Dimana dalam bahasa Indonesia Lesso berarti lelah dan nginep berarti bermalam. Jadi, bisa dikatakan, setelah kita melakukan perjalanan ke kota ini maka dianjurkan untuk bermalam, dengan begitu kita bisa menjadi lebih segar seusai beristirahat serta memiliki kesempatan mengeksplorasi kekayaan wisata serta Budaya di Sumenep.
Saat memasuki museum saya mendapat penjelasan dari pemandu tentang sebuah Kitab Suci Al-Qur’an yang ditulis tangan sendiri oleh Sultan Abdurrahman hanya dalam waktu semalam. Raja Sumenep ke-30 yang menguasai 10 bahasa itu memang dikenal cerdas, bijaksana dan memiliki kemampuan luar biasa khususnya di bidang kesusastraan. Kitab Suci Al-Qur’an yang ditulis beliau diletakkan dalam sebuah kotak kaca dan kami hanya bisa melihat dari luar saja.
Sultan Abdurrahman sebagai kepala pemerintahan yang disegani dan mendapatkan bintang jasa dari Kerajaan di Daratan Eropa karena hasil karyanya yang gemilang. Beliau mendapatkan tanda jasa Letter Condige dari T.Stamford Raffles dari kerajaan Inggris karena kemampuannya menerjemahkan batu bertulis yang ditemukan di Bali dari Bahasa Sansekerta ke dalam Bahasa Inggris, sehingga dijadikan acuan dalam penulisan buku “History of Java” oleh Raffless. Selain itu Sultan yang memerintah pada tahun 1811-1854 ini mendapatkan bintang “Commandeur der Order Vander Nederlandsche Leeuw” dari Gubernur Jenderal Van Der Capellen dari Belanda.
Saya kemudian beranjak menuju lokasi pemandian putri Keraton Taman Sare. Air dari Taman Sare ini berasal dari air tanah dengan tiga tangga dan masing-masing mempunyai khasiat/kekuatan yang berbeda. Tangga pertama konon bisa membuat seseorang awet muda dan enteng jodoh serta mudah mendapatkan keturunan saat mencuci muka disana, tangga kedua dipercaya mampu meningkatkan karir maupun kepangkatan, tangga ketiga adalah meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. “Mustahil meraih semuanya tanpa kerja keras dan usaha yang tekun,”kata pemandu kami sambil tersenyum. Saya melihat sejumlah ikan menghuni lokasi kolam pemandian ini.
Dari Keraton Sumenep kami kemudian bergerak menuju Masjid Agung Sumenep yang merupakan salah satu dari sepuluh Masjid tertua di Indonesia. Masjid ini dimulai pembangunannya pada tahun 1779 M dan selesai pada tahun 1787 M oleh Panembahan Sumolo. Letaknya tak jauh dari Keraton Sumenep dan berada ditengah-tengah kota. Akulturasi desain nampak jelas pada bagian gerbangnya dengan pilar-pilar besar nan kokoh bergaya ala Benteng Romawi Kuno dipadu dengan ornamen ala Tiongkok. Arsitektur Masjid ini merupakan perpaduan budaya Arab, Jawa, Eropa dan Cina. Warna kuning yang dominan menghiasi Masjid Jami’ Sumenep sungguh indah dan mempesona.
Kami tiba di lokasi Masjid Jami’ Sumenep bertepatan dengan waktu sholat Dhuhur. Saya dan teman-teman kemudian menunaikan sholat di Masjid eksotis dan bersejarah itu. Masjid Jami’ Sumenep ini adalah masjid kedua yang dibangun oleh keluarga keraton, dimana sebelumnya kompleks masjid berada tepat di belakang keraton yang lebih dikenal dengan nama Masjid laju yang dibangun oleh Kanjeng R. Tumenggung Ario Anggadipa, penguasa Sumenep XXI. Didalam mesjid terdapat 13 pilar yang begitu besar yang mengartikan rukun sholat.
Pada pelataran depan Masjid Jami’ terdapat prasasti yang ditulis tahun 1806M. Penulisan prasasti tersebut juga bertepatan dengan ditetapkannya Pangeran Abdurrachaman Tirtodiningrat putra Panembahan Somala sebagai Nadir Wakaf sebelum beliau naik tahta menjadi Adipati Sumenep XXXII. Adapun isinya adalah:
Masjid ini adalah baitullah, berwasiat Pangeran Natakusuma penguasa Negeri/Karaton Sumenep. Sesungguhnya wasiatku kepada orang yang memerintah (penguasa) dan menegakkan kebaikan. Jika terdapat masjid ini sesudahku (keadaan) aib, maka perbaiki. Karena sesungguhnya masjid ini adalah wakaf, tidak boleh diwarisi dan tidak boleh dijual, dan tidak boleh dirusak.
Seusai menunaikan sholat, saya memandang kemegahan Masjid Jami’ Sumenep ini dengan decak kagum. Hati saya tergetar dan sangat bersyukur memiliki kesempatan mengunjungi masjid tua namun masih terpelihara bagus ini. Wasiat yang diamanahkan benar-benar dilaksanakan dengan baik dengan tetap menjaga serta melestarikan kekayaan mahakarya budaya leluhur secara intens dan konsisten.
(Bersambung)






Ini baru Sumenep, padahal Madura punya tiga kabupaten yang lain yang ngga kalah menarik. Mau kesini lagi?
Masih mau dong mas, penasaran pengen tahu lebih banyak kekayaan budaya Madura yg unik & eksotis
kalo ke situ lagi ngga tanya kan nengbiker yg mana? 😀
Hahaha..nggak kok mbak, sudah tahu doong 🙂
Baru tau asal usul kata sumenep dari sini, makasih kakak dah sharing 🙂 kayak nya wajib nich madura di explore lebih dalam
sangat bagus, Tiket pesawat Murah di Poencak Tours and Travel http://puncakroomhotel.com
mesjidnya bagus dan terawat dengan baik, yang seperti ini memang harus dilestarikan
wah seru banget ini madura , apa lagi sate nya enak banget haha 😀
nga pernah bosen ane ke sana , kmrn sih kesana murah meriah gan.. Mungkin bisa jadi rekomendasi agan – agan disini , kmrn ane booking tiket di airpaz.com , menurut ane sih tiket di sana murah di banding tetangga laen. Must TRY !