REVIEW FILM KETIKA MAS GAGAH PERGI : TENTANG KOMITMEN & KEPEDULIAN YANG TAK TERLERAI
Hari Minggu siang, 31 Januari 2016 akhirnya niat saya untuk menonton film “Ketika Mas Gagah Pergi” (KMGP) kesampaian juga. Bersama keluarga tercinta saya menyaksikan film yang diangkat dari karya cerpen legendaris Helvy Tiana Rosa yang ditulis tahun 1992 dan terbit pertamakali sebagai buku tahun 1997 ini di bioskop Cinemaxx Orange County Cikarang.
Tentu saja saya membawa ekspektasi tersendiri saat menonton film yang oleh Harian Republika dan The Straits Times dianggap sebagai pelopor fiksi Islami kontemporer di Indonesia ini. Cerpen KMGP saya baca 10 tahun silam setidaknya mengundang rasa penasaran saya bagaimana gerangan presentasi cerita hebat itu saat “diterjemahkan” ke layar perak?
Adegan dibuka dengan interaksi hangat yang terjalin antara Gagah (Hamas Syahid) dan sang adik Gita (Aquiono Umar) yang tomboi dan ceria. Setelah ditinggal wafat sang ayah, Gagah bertindak sebagai tulang punggung keluarga membantu sang ibu (Wulan Guritno) yang menjadi orang tua tunggal untuk mereka berdua. Di mata Gita yang keras kepala namun kocak, Gagah berhasil menggantikan sosok almarhum ayah dan menjadi panutan terbaik dalam setiap langkahnya. Gagah yang tampan, modern,santun dan cerdas tumbuh menjadi pemuda yang populer terlebih saat ia menjadi salah satu foto model terkenal.
Perubahan yang sangat drastis terjadi sepulang Gagah melakukan riset skripsi di Ternate, Maluku Utara dan dirasakan sangat menganggu oleh Gita. Gagah begitu bersemangat belajar dan menyampaikan ajaran-ajaran Islam, bahkan hingga ke penampilan sekalipun, Gagah nampak terlihat berbeda ketika memelihara janggut di dagunya. Gita menganggap perubahan yang terjadi pada diri sang abang tercinta begitu norak. Ia tidak menemukan sosok Gagah yang dulu lagi.
Gagah tidak menyerah untuk menghimbau Gita maupun ibunya untuk mempelajari, menghayati dan mengamalkan keindahan ajaran Islam. Bersama kawan-kawannya, Gagah menggagas pembangunan “Rumah Cinta” yang menjadi rumah singgah bagi anak-anak kurang mampu serta menyediakan perpustakaan mini untuk mereka disana. Gagah menunjukkan kepedulian dan komitmennya membantu kaum dhuafa dengan cara yang nyata dan simpatik.
Sementara itu, Gita yang kian sebal pada perubahan yang terjadi pada sang kakak dalam beberapa kali pertemuan menyaksikan sosok Yudi (Masaji Wijayanto) menyampaikan dakwah kepada penumpang di bis kota. Pada sosok Yudi ia bagai melihat sosok Gagah disana dan kian menambah kebenciannya. Gita bahkan melayangkan protes secara langsung ke Yudi ketika lelaki itu sedang menyampaikan dakwah di atas bis kota.
Gita makin stress tatkala menyaksikan sahabat dekatnya, Tika memakai jilbab setelah mendapatkan pencerahan dan teladan dari kakak sepupunya; Nadia yang justru mengenakan jilbab saat kuliah di Amerika Serikat. Perlahan rasa simpati Gita kian tumbuh pada Yudi yang ceramah-ceramah Agamanya di atas bis kota disajikan secara sistematis dan menghibur kian membuka ruang sadarnya.
Secara umum saya melihat film KMGP menyampaikan pesan-pesan tauhid dan moral dengan bersahaja serta tak terkesan menggurui. Dikemas melalui dialog yang lugas, cerdas, membumi, sederhana serta dekat dengan keseharian kita, film KMGP menyajikan tontonan sekaligus tuntunan yang apik serta bisa dinikmati semua tingkatan umur. Kedua anak saya, Rizky & Alya, sungguh terpikat pada sajian film yang ditayangkan terlebih diramu pula dengan adegan humor yang mampu memicu tawa secara spontan.
Adegan yang menurut saya cukup “menganggu” adalah tidak diceritakan secara rinci apa yang terjadi pada diri Gagah selama ia di Ternate dan kembali ke Jakarta dengan perubahan karakter yang sungguh signifikan. Hanya digambarkan saat Gita dan Ibunya mengantar Gagah ke Bandara, dan tak lama kemudian, Gagah kembali dari Ternate dengan penampilan dan sikap yang jauh berbeda. Menurut saya ini adegan sangat penting serta krusial untuk memahami lebih dalam latar belakang kejadian yang dialami oleh Gagah hingga ia tiba-tiba berubah drastis. Substansi “kepergian” Gagah sesungguhnya tergambar disana dan sayangnya tidak dielaborasi lebih jauh. Kalaupun kemudian ini kelak akan ditampilkan sebagai “flash-back” di KMGP bagian kedua, terasa jadi kurang relevan dan kehilangan “greget”. Sementara itu narasi yang dipaparkan Gita sebagai prolog di bagian awal film terasa begitu panjang dan bertele-tele, padahal sebenarnya bisa dituturkan lewat spot-spot adegan yang bisa menggambarkan situasi yang ingin disampaikan.
Kehadiran bintang-bintang baru potensial di KMGP seperti Hamas Syahid, Aquiono Umar dan Masaji Wijayanto begitu mempesona. Aquino Umar tampil natural memerankan sosok Gita yang tomboi, ceria dan keras kepala, sementara Masaji terlihat begitu menjiwai perannya sebagai Yudi. Adu aktingnya bersama artis beken Mathias Muchus yang berperan sebagai ayah saat berkonflik di film ini sangat memikat. Penampilan Hamas juga tak kalah menariknya memerankan Gagah meski pada beberapa adegan terlihat sedikit kaku dengan raut wajah yang terkesan datar dan kurang ekspresif.
Secara sinematografi, terus terang, film ini menyajikan gambar-gambar yang indah dan tajam. Salut pada Sutradara Firmansyah yang meracik rangkaian adegan di film KMGP dengan piawai. Perpindahan antar adegan berjalan mulus. Penampilan beberapa bintang Indonesia terkemuka sebagai Cameo di film ini seperti Sule, Epi Kusnandar, Irfan Hakim, Joshua, Shireen Sungkar dan Virzha”Idol” sungguh sangat memeriahkan suasana,
Tata suara juga dibangun apik terlebih ditambah lagi dengan soundtrack lagu “Rabbana” yang dibawakan begitu merdu oleh Indah Nevertari kian menggetarkan sanubari.
Kehadiran film KMGP di blantika perfilman Indonesia sungguh membawa angin segar yang sangat berarti. Tidak hanya karena ini adalah film pertama yang diproduksi dari hasil patungan pembacanya serta tidak tergantung pada Production House besar, namun juga film KMGP menuturkan pesan moral yang dalam serta universal : tentang komitmen, tentang kejujuran, tentang kepedulian pada sesama dan tentang kebaikan yang bisa dilakukan semua orang tanpa melihat strata sosial tertentu serta dari mana ia berasal. Tak terlerai.
Salah kutipan menarik dari Gagah di film ini yang terus melekat di benak bahkan ketika saya meninggalkan kursi bioskop adalah “Jika kita tidak setuju dengan suatu kebaikan yang belum kita pahami, cobalah untuk bisa menghargainya.”. Kutipan yang kemudian bisa menjadi esensi utama film KMGP dan layak menjadi referensi kehidupan untuk kita semua.
Sukses untuk film KMGP dan maju terus film Indonesia !
Catatan:
Review ini diikutkan dalam lomba Review film “Ketika Mas Gagah Pergi” yang diselenggarakan oleh Forum Lingkar Pena (FLP)
wah cerita kayaknya bagus nih, sayangnya aku belum nonton
Nunggu Review film nya Surga menanti dari Mas Amril Taufik Gobel. Saya sudah nonton. Asli film nya bagus..walau film nya menurut saya kurang klik ceritanya. Terutama tokoh anak kecil yg buta dan ayahnya. Coba kalau dibuat sebagai temennya saat di pesantren..pasti lebih bagus. Kurang di tonjolkan peran nya dalam cerita itu. Tapi asli saya ikut terharu dan menangis melihat film itu.
Pingback: 5 Hal yang Membuatmu Menolak Untuk Dijodohkan | Kepolagi.com
Boleh juga nih di jadikan daftar kunjungan