Fenomena Metaverse menjadi salah satu trend pembicaraan hangat yang berkembang akhir-akhir ini. Teknologi yang menghubungkan dunia virtual dan fisik tersebut tampaknya akan segera bisa terwujud dalam berapa tahun ke depan. Dua raksasa dunia digital, Facebook dan Microsoft sudah melakukan riset dan implementasi metaverse sebagai bagian dari kegiatan mereka.
Konsep Metaverse berasal dari novel “Snow Crash” yang diterbitkan oleh Neal Stephenson pada tahun 1992, dan mewakili dunia virtual tiga dimensi di mana: ‘Meta’ berarti maya dan abstrak, dan ‘verse’ berarti alam semesta.
Metaverse sendiri bisa dimaknai sebagai konstruksi virtual di mana pengguna dapat berinteraksi dengan diri mereka sendiri melalui avatar yang dibuat oleh mereka sendiri untuk masuk ke dalam lingkungan metaforis virtual tanpa batasan temporal (waktu) dan spasial (ruang).
Pada dunia Metaverse ini memungkinkan pengguna dapat berinteraksi secara sosial dan ekonomis dengan lingkungan online virtual dan multi-pengguna tiga dimensi yang imersif (memiliki kesan seperti di dunia nyata).
Meski sampai saat ini metaverse masih belum sempurna namun secara pasti akan menjelma menjadi keniscayaan dengan ditunjukkan perkembangan yang luar biasa dalam bidang Augmented Reality (AR) dan Virtual Reality (VR) juga Mixed Reality (MR) yang mengakselerasi pengembangan metaverse dimana oleh banyak kalangan diyakini akan matang dalam beberapa tahun mendatang.
Lantas bagaimana peran Metaverse ini dalam dunia konstruksi?
Pada sebuah kesempatan, Presiden Joko Widodo pernah menyampaikan pernyataan bahwa pembangunan infrastruktur yang efisien dan berkesinambungan adalah salah satu kunci dalam mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Peran sektor konstruksi tentulah menjadi hal krusial dalam mewujudkan proyek pembangunan infrastruktur di berbagai daerah Indonesia yang berjalan dengan lancar dan efisien. Tentunya, pemanfaatan teknologi adalah salah satu andalan untuk merealisasikannya.
Sebagai bagian dari sektor AEC (Architecture, Engineering, and Construction) Industri konstruksi mendapatkan tantangan hebat untuk beradaptasi dengan kondisi aktual saat ini, dimana pada era transformasi digital yang terus berkembang dan mendisrupsi berbagai sektor industri.
Sektor konstruksi masih relatif lambat akselerasinya dibanding sektor yang lain seperti retail, transportasi, finansial, dan manufaktur.
Teknologi Building Information Modeling (BIM) yang disebut juga teknologi konstruksi yang berbasis industri 4.0. mau tidak mau harus diadopsi sektor konstruksi di era digital saat ini. BIM merupakan sebuah metode baru untuk permodelan di bidang arsitektur, teknik dan konstruksi untuk infrastruktur yang mengintegrasikan model virtual beserta data atau informasi teknisnya.
Sayangnya, seperti dikutip dari rilis Autodesk (15/9/2021), adopsi BIM di Indonesia masih tergolong relatif lambat. Padahal berbagai pelaku industri AEC di Indonesia sebenarnya sudah menyadari pentingnya sektor ini selama bertahun-tahun, namun implementasinya di berbagai proyek masih rendah.
Padahal, pasar konstruksi Indonesia merupakan yang terbesar di Asia Tenggara dan keempat terbesar di Asia. Sudah semestinya adopsi BIM menjadi perhatian, terlebih pemerintah juga telah mencanangkan pembangunan infrastruktur senilai US$ 450 miliar hingga 2022.
Sebagai contoh, penerapan BIM di negeri jiran Malaysia yang sudah sejak 2007 digunakan oleh Departemen Pekerjaan Umum Malaysia. Bahkan di tahun 2011, Dewan Pengembangan Industri Konstruksi diberi mandat untuk mendorong implementasi BIM di negara Jiran tersebut.
Vietnam juga tidak ketinggalan dalam adopsi BIM, di mana pemerintahnya telah menerapkan peta jalan dan kerangka kerja (framework) untuk mendorong penggunaannya sejak tahun 2015.
Sebuah studi dari McKinsey juga menemukan 75 persen perusahaan yang telah mengadopsi BIM memberikan respons positif terkait dengan investasi, siklus proyek yang lebih pendek dan peningkatan efisiensi, termasuk penghematan dokumen kerja non-digital dan biaya material.
Selanjutnya menurut Autodesk dalam rilisnya tersebut, Indonesia memiliki prospek positif dalam adopsi BIM dan kapabilitas digital lainnya di Indonesia, khususnya di sektor industri Konstruksi.
Haresh Khoobchandani, Vice President, APAC, Autodesk, kurang dari setengah perusahaan di Indonesia telah memulai proses transformasi digitalnya. Namun, khusus sektor konstruksi masih relatif lambat dalam mengadopsi teknologi digital.
Keniscayaan digital yang terjadi dimasa depan, termasuk teknologi Metaverse merupakan salah satu peluang sekaligus tantangan bagi industri konstruksi di Indonesia. Penerapan BIM bisa dikembangkan lebih luas dalam semesta virtual yang interaktif di Metaverse dengan aplikasi AR, VR dan MR berbasis “big data” yang memungkinkan proses pengambilan keputusan lebih komprehensif dan akuntabel.
Penggunaan teknologi Metaverse dimasa depan pada industri konstruksi memberikan ruang kreasi lebih besar dalam perancangan juga proses interaksi antar bagian melalui simulasi digital. Penyelenggaraan Metaverse tak hanya berhenti di tahap perencanaan, pelaksanaan hingga operasional, tapi juga mencakup tahap pengadaan barang dan jasa serta audit.
Tentu saja untuk menghadapi tantangan era Metaverse tersebut, persiapan SDM perlu dilakukan untuk menghadapi transformasi digital yang kian kencang menerpa. Tak sekedar hambatan utama transformasi digital, namun ancaman lain juga yaitu keamanan siber dan pembajakan perangkat lunak (software) perlu menjadi perhatian.
Semoga insan Nindya dengan segala kompetensi dan pengalaman yang dimiliki bisa lebih siap menghadapi transformasi digital –termasuk kehadiran Metaverse—mampu menjawab semua tantangan global dimasa depan.
Catatan:
Dimuat di Majalah Internal Nindya Karya “Think” edisi Maret 2022















Menurut saya metaverse memiliki masa depan yang sangat bagus. Terimakasih min artikel nya sangat membantu