SURAT CINTA TERBUKA UNTUK ISTRIKU (MERAYAKAN 23 TAHUN USIA PERNIKAHAN)

Istriku sayang,

Hari ini, kita merayakan 23 tahun usia pernikahan kita.  Sebuah perayaan tahunan yang selalu sangat berkesan karena kita menikah sehari setelah ulang tahunku. Sungguh, ini sebuah “kado” paling istimewa sepanjang hidup.

Betapa cepat waktu berlalu. Kita telah melalui masa-masa suka dan duka bersama sebagai pasangan suami istri, yang saling melengkapi, saling menggenapi. Kita tersenyum bersama mengingat masa-masa awal kita bertemu pertama kali dulu serta perjalanan kehidupan pernikahan kita yang penuh dinamika. Indah, lucu, getir dan juga mengesankan.

Kamu tertawa pelan ketika aku menceritakan kembali bagaimana aku jatuh cinta secara spontan hanya dari bening suaramu (lihat posting “Love at the first Voice”), kegundahanku menjelang pernikahan (baca “Catatan 9 tahun usia pernikahan”) , bagaimana perjuangan kita memperoleh anak yang sudah kita dambakan selama 3 tahun (baca “Desperate Seeking Child”) serta kisah ketika aku beraksi menjalankan strategi melampiaskan rasa ngidam-mu ketika hamil anak pertama kita (baca “Strategi Jitu Melampiaskan Ngidam”) dan tentu tak lupa aksi-aksi lucu menggemaskan kedua buah cinta kita, Rizky dan Alya.

Pada saat yang sama, airmatamu mengalir ketika kuceritakan pengorbanan menggadaikan cincin kawin di masa awal pernikahan (baca “Biarkan Emas itu tergadai, asal bukan cinta kita”) atau ketika Rizky, anak pertama kita mesti dirawat lama di rumah sakit karena dadanya tersiram air panas (baca “Papa, Jangan Menangis”). Semuanya terangkum dalam rangkaian mozaik indah yang mewarnai seluruh perjalanan cinta kita.

Aku tersenyum dan membawamu kedalam dekapanku.

“Semoga cinta kita berdua, tak akan berubah dan akan tetap bertahan sampai kapanpun,” sahutku pelan.  Mengarungi bahtera rumah tangga laksana mengayuh sampan bersama menuju samudera kehidupan.Kita meninggalkan “daratan” yang tenang, menempuh segala resiko yang mungkin terjadi disepanjang perjalanan.  Saat gelombang menghantam sampan, kita akan kuyup dan menggigil kedinginan.

Tangan kita yang menyatu erat saling memberi kehangatan. Ketika Badai itu reda, kita akan memahami arti kehangatan ketika tangan kita bersatu lalu menjalar hingga ke ruang hati kita masing-masing. Memberi makna dalam pada arti kebersamaan, arti cinta yang menggelora, arti kehadiran diri kita, untuk saling menguatkan, saling menggenapi.

Saat samudera diam, angin mati, ombak tak menderu kencang, kejenuhan kerap kali melanda. Sampan kita hanyut melintasi laut yang dipenuhi oleh riak air hingga kaki langit. Dalam ketenangan itu, kita toh tetap akan menemui camar yang melintas anggun menuju  biru langit atau menyaksikan sekerumunan ikan berenang riang di kedalaman tepat disamping sampan yang kita kayuh. Atau selarik pelangi warna-warni melengkung menakjubkan dibatas cakrawala.

Keindahan-keindahan yang kita temui disela rasa jenuh menikam batin, membuat kita mensyukuri berkah hidup yang kita miliki, memahami bahwa memilikimu dan memilikiku adalah sebuah anugerah yang tak ternilai, tak terlerai.

Kemudian, ketika kita memutuskan menepi disebuah pulau lalu membangun sebuah rumah mungil disana, aku akan senantiasa mengajakmu duduk di beranda. Menikmati senja, menjenguk kembali laut yang pernah kita layari serta mengenang segala pengalaman yang kita sudah alami dulu. Kita akan hanyut dalam pusaran waktu yang melenakan, yang mengajari betapa berartinya segala kenangan yang sudah pernah kita lalui bersama dalam suka, dalam duka.

Ya, memang demikianlah, cinta adalah mengalami. Merasakan. Mendalami. Meresapi.

Ketika kita menyadari untuk memilih sebagai pasangan hidup dan belahan jiwa, maka disaat yang sama, cinta itu harus senantiasa ikut bersama setiap jejak langkah kaki, sambil menautkan jemari, lalu berjalan bergandengan. Bersama.

Aku menjadi bagian dari dirimu, begitupun sebaliknya, Dirimu menjadi bagian tak terpisahkan dari diriku. Ikatan perasaan mutual yang ada dari hubungan kita tumbuh mekar bersama pengalaman menjalani hidup bersamamu.

Cinta mesti berada pada tataran esensi, bukan sekedar eksistensi, yang dipelihara dan dinikmati setiap detik proses melaluinya. Bahwa dalam perjalanan cinta kerap kali terjadi letupan-letupan yang mengejutkan, kita senantiasa berusaha untuk mampu melerai dan menanggulanginya. Karena kita menempatkan cinta itu tidak sebatas kenangan dan pikiran. Ia adalah bagian dari interaksi antara kita untuk menjaga harmoni. Membuat “bara” nya tetap menyala hangat dalam jagad hati kita masing-masing.

Istriku sayang,

Aku ingin menceritakan kembali padamu sebuah kisah menarik dari cerpen O’Henry (nama pena dari William Sidney Potter) berjudul “The Gift of Magi”. Diceritakan pada cerpen yang dipublikasikan pertama kali tahun 1906 tersebut, sepasang suami istri yang hidup miskin, James dan Della yang saling mencintai satu sama lain bermaksud memberikan hadiah terindah bagi pasangan masing-masing di hari Natal.

Sayang mereka tak memiliki uang. Akhirnya Della menjual rambutnya yang indah dan hitam mengkilat untuk membeli rantai emas pelengkap jam tangan emas kebanggaan James. Tak disangka-sangka, James justru menjual jam tangan emasnya untuk membeli sisir berhiaskan mutiara untuk rambut hitam mengkilat sang istri. Hilang sudah harta berharga yang mereka miliki menjadi barang yang tak berguna.

Namun, apa yang ingin dikatakan O’Henry dalam cerpen ini memiliki makna sangat dalam. Bahwa hadiah cinta, ketulusan dan kasih yang mendalam jauh lebih berharga dari sekedar sisir mutiara atau rantai emas. Mereka boleh saja menjadi lebih miskin, namun peristiwa ini membuat jiwa mereka lebih kaya.

Aku teringat peristiwa serupa ketika kita pernah menggadaikan kedua cincin kawin yang kita miliki di masa awal pernikahan dan dengan lapang dada sembari saling pandang satu sama lain ditengah-tengah kepulan asap penggorengan sambal goreng ati, cinta itu mengalir deras dari kedua kelopak matamu seperti kamupun melihat kasih yang menggelora memancar dari mataku.

Istriku sayang,

Sudah 276 purnama kita lalui. Dan aku mendadak teringat, ketika kita menyaksikan bulan purnama bulat bundar bersinar lembut dirangka langit pertengahan bulan lalu dari teras rumah mungil kita.

“Bulan yang indah, semoga kita akan selalu menikmati cahayanya. Selalu. Bersama,” katamu pelan sambil menggenggam erat jemariku. Senyum manis tersungging di bibirmu.

Aku mengangguk dan merasakan kesejukan mengalir di setiap kapiler rasa dalam tubuhku. Dan kebahagiaan meruap ke segenap semesta. Tak terlerai.

Kupeluk pundakmu dan kita berdendang kecil lagu yang kita senangi : Yen In Tawang ono Lintang.

 Yen ing tawang ana lintang, cah ayu [jika dilangit ada bintang,cah ayu ]

aku ngenteni tekamu [aku menanti hadirmu]

marang mega ing angkasa [kepada awan di langit]

ingsun takokke pawartamu [Aku menanyakan kabarmu ]

Janji-janji aku eling, cah ayu [semua janji aku ingat]

sumedhot rasane ati [terputus rasanya hati ]

lintang-lintang ngiwi-iwi, nimas [bintang-bintang mengoda aku, nimas]

tresnaku sundhul wiyati [cintaku tak berbatas, setinggi langit]

Dhek semana janjiku disekseni mega kartika [Semenjak itu janjiku di saksikan awan bintang]

kairing rasa tresna asih [teriring rasa cinta kasih]

Yen ing tawang ana lintang, cah ayu [jika dilangit ada bintang, cah ayu]

rungokna tangising ati [dengarkan rasa terdalam hatiku]

binarung swarane ratri, nimas [resapi suara diwaktu malam hari]

ngenteni mbulan ndadari [ menunggu bulan purnama]

Entahlah, disebabkan kekuatan apa yang membuatku sampai berusaha sekuat tenaga menghafal lagu ini. Aku ingat kamu seringkali terkikik geli sambil menutupi mulutmu ketika aku salah menyanyikan lagu lawas yang diciptakan Anjar Any itu. Tantanganmu ini memang sungguh berat, terutama untukku yang sudah terbiasa dengan logat daerah yang berbeda.

Aku mendadak tersadarkan, kita seringkali melupakan momen-momen “biasa” namun indah dan mengesankan karena terlalu sering tenggelam pada masalah-masalah, pertanyaan-pertanyaan atau peristiwa-peristiwa besar.

Dan malam itu, menyanyikan kembali lagu ini bersamamu, dengan cahaya lembut purnama menghiasi langit, bersama anak-anak kita di beranda, aku merasakan kehidupan ini kian terasa lengkap dan penuh semangat. Bersamamu.

Tawa anak kita yang lepas saat melihatku bernyanyi terbata-bata serta raut wajah gemasmu mengajarkanku kembali bait demi bait syair lagu tersebut, aku jadi tahu, betapa penting dan dashyatnya kebersamaan ini sebagai pilihan titik takdir kita.

Menyaksikan Alya menari dan Rizky dengan gayanya yang lucu menggoda adiknya menyadarkanku bahwa kedua buah hati kita ini menjadi bagian integral semesta kebahagiaan.

Tiba-tiba aku ingat pertanyaan seorang filsuf terkemuka Walter Benjamin “kenapa kita seringkali tak bisa menikmati waktu, tak bisa menikmati hidup ?”. Ia menjawab bahwa karena kita bagaikan jarum jam dalam arloji. Setiap saat terus berputar, mengitari angka-angka. Melewati tempat dan angka yang sama. Berulang. Terus menerus. Rutin.

Sama seperti yang kita lakukan sendiri hingga kemudian lupa memaknai apa yang telah kita kerjakan. Padahal ada begitu banyak momen-momen kecil, sederhana, remeh dan nyaris tersisihkan yang sesungguhnya memiliki makna besar bagi setiap jejak perjalanan kehidupan.

Dan saat ini, di peringatan Ulang Tahun Pernikahan kita ke-23, kita berusaha untuk tidak menjadi jarum dalam arloji. Kita mengambil jeda sejenak. “Berhenti”. Berkontemplasi. Introspeksi dan berkaca pada cermin diri.

Kemudian memahami lebih dalam makna setiap perjalanan serta bagaimana kita mengelolanya, dengan maupun tanpa rasa perih atau kehilangan.

Semua menjadi pelajaran berharga untuk menentukan kiprah selanjutnya.

Istriku sayang,

Seperti dituliskan dalam buku Plato And The Theory Of Forms, Tim Ruggiero, Philosophical Society, July 2002, Plato mengisahkan semula kita dan pasangan kita sesungguhnya dilahirkan sebagai kembar. “Mereka diciptakan Tuhan dengan dua kepala, dua leher, dua badan, dua pasang tangan, dua pasang kaki, dan seterusnya, tapi mereka hanya dikarunia satu hati, satu jiwa. Dan mereka harus berbagi”, kata Plato filsuf Yunani Kuno terkenal itu.

Suatu hari, karena takdir tertentu yang tak terjelaskan, mereka harus terpisah satu sama lainnya. Namun, sejauh apapun mereka berpisah, jiwa mereka akan saling “memanggil”, saling mengirimkan sinyal untuk saling mendekat, dan kelak—bila mereka mengikuti panggilan itu—mereka akan bertemu kembali.

Mungkin saja ada yang memaknai apa yang disampaikan Plato sebagai sesuatu yang absurd dan melankolis. Tapi tidak bagiku. Kehadiranmu disisiku, selama 18 tahun ini adalah bagian dari kesatuan hati kita yang dibagi bersama dalam suasana suka dan duka sepanjang mengarungi samudera kehidupan.

Kisah Adam dan Hawa yang diciptakan Allah SWT dalam kondisi tubuh yang lengkap namun rusuk yang terbagi. Mereka terpisah dan akhirnya bertemu kembali di Jabal Nur (Gunung Cahaya) dan menyatukan diri dalam harmoni, berbagi dalam satu hati, satu jiwa.

Istriku sayang,

Bagiku kehadiranmu menggenapi segala kekosongan dan melengkapi semua kehampaan. Menikah adalah belajar untuk saling mengerti dan memahami setiap perbedaan.

Menyadari bahwa keinginan kita untuk saling melampiaskan rasa rindu tiada akhir dengan berkomitmen bersama dan berikhtiar menggali lebih dalam esensi cinta dan kehidupan dalam setiap langkah perjalanan kita, adalah sesuatu yang niscaya.

Sedih maupun Gembira. Suka maupun Duka. Kita “mewarnai” semuanya dengan indah, dengan corak yang kita sukai.

Satu hati, Satu jiwa.

Aku ingin kita “tumbuh” hingga tua bersama, menyaksikan kedua buah hati kita Rizky dan Alya meniti masa dewasa, meraih impiannya, mengawal mereka ke masa depan dan kelak akan mempersembahkan kepada kita cucu-cucu yang cantik dan ganteng.

Kita berdua akan duduk di serambi depan rumah, menyaksikan kilau mentari menuju peraduannya dan aku akan membisikkan larik-larik puisi buatmu

Kerapkali kita menyempatkan diri duduk di beranda

bercakap tentang hal-hal tak penting dan upaya-upaya menanggulangi kegetiran

seraya menatap gelap yang luruh perlahan dipelupuk mata

dan kunang-kunang melintas anggun membawa kerlip harapan

sementara rindu memantul-mantul gemas lewat debar lirih di jantung kita

Bintang tersipu dipelukan awan saat kisah-kisah manis kuceritakan

terbang bersama desir lembut angin yang menyibak rambut tipis di keningmu

“Kita telah menoreh malam dengan angan-angan,” ucapku haru

lalu hening melingkupi segenap semesta

Kerapkali aku mengajakmu menatap kelam di lanskap langit

seraya berusaha merengkuh impian yang berkelebat bersama gegas waktu

dan memori yang selalu kita catat dengan hati riang,

senantiasa menjadi jejak menandai kehadiran dan ketidakhadiran,

juga perih kehilangan sepanjang perjalanan

karena kita selalu yakin, indah, selalu tiba pada saatnya,

 

senyata hembusan nafas dan delik cemburu rembulan diatas sana

janji yang telah dan akan kita tunaikan, tanpa rasa enggan

merasuk pada rangkaian musim dimana kiprah kita terpacak jelas

tak akan pernah ada rasa sesal

karena rasa telah nyata mengalir lewat kata-kata dan realita

dan hidupmu, hidupku, hidup kita menyatu dalam gemuruh cinta

pada impian gemilang serta pendar asa

yang telah kita toreh dengan jemari gemetar di pucuk malam..

Istriku sayang,

Perubahan yang terjadi dalam setiap jejak perjalanan kehidupan adalah keniscayaan. Dan setiap hari, perubahan itu terjadi, termasuk pada diri kita.Setiap hari pula aku berusaha untuk mengenali sisi dirimu yang lain, yang berubah itu dan begitu pula sebaliknya. Semua menjadi tak sama seiring waktu yang terus berderak riuh.

Wajahmu tak seperti dulu lagi, ada keriput di sudut mata dan sedikit uban pada rambut. Kamu menjadi lebih bawel ketika anak-anak kita beranjak besar dan kerapkali membuatmu kesal karena ulah mereka. Kamupun terlihat semakin cerewet mengkhawatirkan kesehatanku.

“Hati-hati Pa, dijaga pola makannya. Semakin tua, makin banyak penyakit,”katamu seraya mengangsurkan segelas juz Alpukat kepadaku. Dua bulan kamu akhirnya memakai kacamata yang justru membuatmu nampak lebih cantik. Sungguh, istriku, aku menyukai dan menikmati perubahan-perubahan itu. Membuatku semakin cinta kepadamu.

Perubahan serupa tentu terjadi pula padaku. Aku mungkin menjadi tak setampan dulu saat pertama kali kita bertemu. Tatkala ubanku tumbuh di sisi kepala, kamu tersenyum dan mencubit pinggangku saat kubisikkan bahwa wajahku menjadi lebih mirip George Clooney, artis film idolamu itu.

Saat aku pertama kali memakai kacamata, secara berseloroh kamu berkata tampangku jadi mirip penyanyi Afghan gagal diet. Kita lalu tertawa bersama. Tak ada rasa perih disana. Kita menikmati dan memahami bersama setiap perubahan itu, sebagai bagian dari keniscayaan kehidupan. Bahkan menjadi bagian dari upaya “menggenapi” dan “melengkapi” setiap “puzzle” yang tak kita punya dalam diri masing-masing.

Istriku sayang,

Beberapa waktu lalu, aku menonton film lama di TV berjudul “Click”. Film komedi yang diproduksi dan diedarkan tahun 2006 ini menceritakan tentang kisah keluarga Michael Newman (diperankan oleh Adam Sandler) dan istrinya Donna (Kate Beckinsale).

Michael adalah seorang arsitek yang penuh ambisi dan pekerja keras sehingga jarang menghabiskan waktu bersama keluarganya. Suatu ketika, ia bertemu dengan Morty (Christopher Walken) yang memberinya sebuah remote control universal nan ajaib. Dengan remote tersebut, Michael bisa mengendalikan kehidupan karir dan pribadinya.

Hal-hal yang dianggapnya merepotkan dan menganggunya seperti perdebatan dengan istri, mengurus anak-anak,interaksi bersama atasan dan kliennya bisa diatur sedemikian rupa melalui remote ajaib tersebut. Cukup menekan tombol “fast forward” maka ia akan melewatkan semuanya dan hanya menikmati hal-hal menyenangkan yang diinginkannya. Segala kesusahan hidup lewat begitu saja.

Mulanya, Michael sangat bahagia, namun belakangan ia merasa begitu hampa karena melewatkan banyak keindahan kehidupan yang seharusnya  bisa ia nikmati bersama Donna dan kedua anaknya.

Dia bahkan melewatkan kematian sang ayah serta perpisahannya dengan sang istri yang memilih berumahtangga dengan Billy (Sean Astin), pelatih renang keluarganya karena ia terus tergoda memencet tombol “fast forward” dari remote ajaibnya saat kesulitan datang menghadangnya.

Tak ayal, Michael menjelma menjadi pria tua tanpa memori indah. Dia merasa hidupnya begitu hampa karena telah melewatkan semuanya, hanya dengan menekan tombol remote ajaib yang dimilikinya.

Dibalik segala kekonyolan yang ditampilkan dalam film fiksi komedi itu, aku menangkap makna yang begitu dalam tentang betapa pentingnya kita menikmati segala kebersamaan dalam kehidupan berkeluarga, menghayati segenap prosesnya–bahagia maupun sedih–dengan penuh cinta, diiringi doa dan harapan. Aku bersyukur, mendapatkan banyak hikmah dan pelajaran hidup dalam mengarungi 23 tahun pernikahan bersamamu

Kalaupun ada seseorang yang menghadiahkan remote ajaib seperti yang dimiliki Michael kepadaku, aku akan menolaknya mentah-mentah bahkan membuangnya jauh-jauh. Biarkan aku menikmati segala pengalaman kehidupan, susah maupun senang serta menjalani prosesnya dengan tabah sembari belajar mengatasinya secara cerdas dan bijaksana.

Selalu ada keindahan yang tumbuh mekar dari kesulitan yang kita hadapi.

Ada kebahagiaan yang timbul dalam hati ketika kita menghadapi serta mengatasi kesusahan itu secara tegar dan berani, bersama-sama.

Duapuluh Tiga tahun sudah kita mengarungi bahtera rumah tangga. Bukan hal yang mudah untuk memahami dan menjalani setiap perubahan yang terjadi dalam diri kita.

Tak urung perubahan yang terjadi kerapkali memicu perbedaan pendapat diantara kita. Tapi tak apa.

Kita menikmatinya semua sebagai proses tak hanya untuk menjadi lebih dewasa, namun lebih dari itu, menjadi bagian dari upaya menyatukan “puzzle-puzzle” dalam diri kita, melengkapi ruang-ruang kosong, “menggenapi”-nya sebagai sebuah kesatuan yang koheren. Kukuh. Tak tergoyahkan. Hingga akhir waktu.

Aku bersyukur kepada Allah SWT memilikimu disampingku, merawat cinta dan mendidik anak-anak kita dalam susah maupun senang. Kamu selalu berada disisiku ketika menghadapi semuanya, membuatku merasa berharga dan senantiasa meyakinkan kita akan kuat mengatasi segala kendala yang ada.

Terimakasih istriku sayang …untuk 23 tahun hebat dan menjalaninya,

selalu…selamanya.

Bersamaku, lelakimu…

 

Related Posts
SURAT CINTA TERBUKA UNTUK ISTRIKU (16 TAHUN USIA PERNIKAHAN) : MENGHAYATI CINTA DAN MENIKMATI KEBERSAMAAN
Istriku Sayang, Tepat tanggal 10 April 2015, kita telah memasuki tahun ke-enambelas pernikahan kita. Surat Cinta ini merupakan surat cinta terbuka ketujuh sejak pertama kali merilisnya tahun 2009 silam. Aku tak ...
Posting Terkait
SURAT CINTA TERBUKA UNTUK ISTRIKU (16 TAHUN USIA

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.