Ketika Kasih Sayang Bersandar pada Ketidakberdayaan: Membaca Kemanusiaan dalam “Pangku”
Ada semacam kesakitan yang tertahan di setiap adegan film Pangku. Bukan teriakan yang menggema, melainkan bisikan lirih tentang keputusasaan yang dipaksa bertahan hidup.
Dalam debut penyutradaraannya, Reza Rahadian menghadirkan kisah Sartika, seorang perempuan muda hamil yang meninggalkan kampung halamannya dengan harapan memberikan kehidupan lebih baik bagi sang anak.
Namun, harapan itu justru membawanya ke dalam lingkaran kelam yang bernama kopi pangku di pesisir Pantura, sebuah praktik sosial yang menyingkap ketelanjangan ekonomi perempuan Indonesia.
Film yang diproduksi oleh Gambar Gerak, rumah produksi milik Reza Rahadian dan Arya Ibrahim, ini bukan sekadar karya sinematik. Ia adalah cermin kejujuran yang menyakitkan, sebuah potret kemanusiaan yang dipreteli hingga ke tulang sumsum. Ketika layar gelap mulai menyala, kita tidak hanya menyaksikan sebuah narasi, tetapi mengalami perasaan kehilangan, harapan palsu, dan perjuangan yang tak pernah kunjung usai.
Claresta Taufan Kusumarina membawakan karakter Sartika dengan kejujuran emosional yang menohok. Matanya menyimpan duka yang sudah terlalu dalam untuk ditangisi. Setiap gerak tubuhnya mengisahkan penerimaan pahit atas takdir yang tidak diminta.
Dalam keheningan, Claresta berhasil membuat kita merasakan bobot kehamilan yang bukan hanya fisik, melainkan juga mental—sebuah kehidupan baru yang dibawa dengan ketakutan dan keberanian sekaligus. Penampilannya bukan akting semata, tetapi penyerahan diri pada karakter yang memaksa penonton ikut merasakan setiap rasa sakit, setiap keraguan, dan setiap percikan harapan yang hampir padam.
Lalu datanglah Christine Hakim yang memerankan Bu Maya, pemilik kedai kopi yang merawat Sartika dan membantu persalinannya. Di sinilah keahlian Reza sebagai sutradara benar-benar bersinar. Bu Maya digambarkan sebagai sosok yang penuh keramahan, namun di balik senyumnya tersimpan kepentingan tersembunyi. Christine Hakim, dengan puluhan tahun pengalaman di layar lebar, menghadirkan kompleksitas karakter yang membingungkan sekaligus menyakitkan.
Ia bukan antagonis yang hitam-putih, melainkan representasi dari sistem yang memaksa perempuan mengeksploitasi perempuan lain demi bertahan hidup. Tatapan matanya yang hangat sekaligus dingin membuat kita bertanya: apakah kebaikan yang terlahir dari kepentingan masih bisa disebut kebaikan?
Fedi Nuril hadir sebagai Hadi, sopir truk distributor ikan yang jatuh cinta pada Sartika. Dalam peran ini, Fedi menawarkan kesederhanaan yang menyentuh. Hadi bukan pahlawan berkuda putih yang datang menyelamatkan sang putri. Ia hanya seorang lelaki biasa yang melihat Sartika bukan dari masa lalunya, melainkan dari perjuangannya.
Cinta yang tumbuh di antara mereka adalah cinta yang lahir dari pengertian dan empati, bukan dari kemewahan atau janji-janji manis. Fedi berhasil membuat karakternya terasa nyata dan membumi, seperti lelaki-lelaki di jalanan yang mungkin kita temui setiap hari—manusia dengan keterbatasan, namun dengan hati yang masih bisa merasakan.
Film yang tayang serentak di bioskop Indonesia pada 6 November 2025 ini juga menampilkan deretan aktor berbakat lainnya. Ada Devano Danendra, Shakeel Fauzi, José Rizal Manua, Muhammad Khan, Nazyra C. Noer sebagai Yuna, Tj Ruth, Reza Chandika, Galabby Thahira, Lukman Sardi, Djenar Maesa Ayu, dan Heliana Sinaga. Setiap karakter, meski sebagian hanya muncul sekilas, memiliki kedalaman yang membuat dunia dalam film ini terasa hidup dan bernapas.
Yang membuat Pangku begitu kuat adalah keberaniannya mengangkat realitas sosial yang kerap ditutupi. Ide cerita ini berawal ketika Reza Rahadian melakukan syuting di daerah Pantura sekitar tahun 2020 dan melihat banyaknya warung kopi pangku di daerah tersebut.
Bagi sebagian orang, kopi pangku mungkin hanya sebuah praktik bisnis yang aneh. Namun bagi perempuan seperti Sartika, itu adalah satu-satunya jalan untuk tidak mati kelaparan bersama bayinya. Film ini tidak menghakimi, tidak berkhotbah, tetapi hanya menyajikan kenyataan dengan kejujuran yang menyakitkan.
Secara sinematik, Pangku memilih pendekatan yang realistis dan minim manipulasi visual. Tidak ada warna-warna mencolok atau musik latar yang menghentak. Yang ada adalah suara ombak Pantura, debu jalanan, dan keheningan yang lebih keras dari teriakan.
Reza, yang sebelumnya pernah menyutradarai film pendek Sebelah pada 2011 dan serial mini Sementara, Selamanya pada 2020, memperlihatkan kematangan visinya. Ia memahami bahwa kisah seperti ini tidak memerlukan embel-embel berlebihan. Kedalaman emosi sudah cukup berbicara sendiri.
Prestasi film ini di kancah internasional pun tidak main-main. Pangku berhasil meraih empat penghargaan di Busan International Film Festival 2025, yakni Face of the Future Award, FIPRESCI Award, KB Vision Audience Award, dan Central Asia Cinema Award dari Bishkek International Film Festival.
Pencapaian ini membuktikan bahwa cerita tentang perjuangan perempuan Indonesia memiliki daya resonansi universal. Kesakitan yang dialami Sartika bukan hanya milik perempuan di Pantura, tetapi juga perempuan di berbagai belahan dunia yang terjebak dalam sistem ekonomi yang tidak adil.
Yang paling menyentuh dari Pangku adalah bagaimana film ini menggambarkan ibu. Sebagai seorang ibu tunggal, Sartika terpaksa bekerja di kedai kopi pangku demi membesarkan putra tunggalnya, Bayu.
Keibuan di sini bukan lagi sesuatu yang romantis atau penuh cahaya. Ia adalah perjuangan telanjang untuk bertahan, kadang dengan cara yang merendahkan martabat. Namun justru di situlah keagungannya—dalam ketidakberdayaan itu, Sartika tetap memilih untuk bangkit. Ia tidak menyerah pada keputusasaan, meski dunia seolah tidak memberikan pilihan lain.
Naskah yang ditulis oleh Reza Rahadian bersama Felix K. Nesi berhasil menangkap nuansa kehidupan dengan jujur tanpa jatuh pada melodrama murahan. Dialog-dialognya sederhana, namun tajam.
Tidak ada kata-kata puitis yang berlebihan, karena kehidupan Sartika memang tidak puitis. Ia hanya ingin anaknya kenyang, memiliki masa depan, dan tidak harus mengulang jalan yang sama dengannya.
Pangku juga berhasil menggarisbawahi bagaimana perempuan sering kali menjadi korban dari perempuan lain. Hubungan antara Sartika dan Bu Maya adalah representasi dari lingkaran setan yang sulit diputus. Bu Maya bukan penjahat; ia hanya produk dari sistem yang sama yang pernah menjerat dirinya.
Dan kini, untuk bertahan, ia melakukan hal yang sama pada perempuan lain. Ini adalah tragedi yang lebih dalam—ketika yang tertindas menginjak yang lebih lemah, bukan karena jahat, tetapi karena tidak ada pilihan lain.
Film ini mengajak kita untuk tidak berhenti pada kemarahan atau simpati semata. Ia menuntut kita untuk melihat struktur sosial yang membuat perempuan seperti Sartika dan Bu Maya terjebak dalam siklus kemiskinan dan ketidakberdayaan. Ia mempertanyakan sistem yang membuat cinta dan kemanusiaan menjadi barang mewah yang tidak semua orang bisa memilikinya.
Dengan durasi sekitar 100 menit, Pangku tidak terasa membosankan. Setiap adegan terasa penting, setiap dialog memiliki beban. Reza Rahadian membuktikan bahwa ia tidak hanya aktor berbakat, tetapi juga sutradara yang memiliki kepekaan mendalam terhadap isu kemanusiaan. Ia berhasil membuat film yang tidak hanya menghibur, tetapi juga mengusik kesadaran kita.
Di penghujung film, kita dibiarkan dengan pertanyaan yang menggantung. Apakah Sartika akan menemukan kebahagiaan? Apakah cinta Hadi cukup kuat untuk mengubah nasibnya? Film ini tidak memberikan jawaban yang mudah, karena memang kehidupan tidak pernah memberikan jawaban yang mudah. Yang diberikan hanya secercah harapan—bahwa di tengah kegelapan, manusia masih bisa menemukan cahaya, meski sekecil apapun itu.
Pangku adalah film yang penting. Ia tidak hanya menceritakan kisah satu perempuan, tetapi kisah ribuan perempuan yang suaranya tidak pernah terdengar. Ia adalah pengingat bahwa di balik setiap wajah yang kita lihat di pinggir jalan, ada cerita panjang tentang perjuangan dan pengorbanan. Dan yang paling penting, ia mengajarkan kita untuk tidak cepat menghakimi, karena kita tidak pernah tahu beban apa yang dipikul oleh orang lain.
Bagi siapa pun yang ingin memahami Indonesia lebih dalam, yang ingin merasakan kemanusiaan dalam bentuknya yang paling telanjang, Pangku adalah tontonan wajib. Ia bukan film yang mudah ditonton—ia akan membuat dada sesak, air mata mengalir, dan pikiran terus bergulat.
Namun justru di situlah kekuatannya. Film ini tidak mencari kenyamanan, tetapi kejujuran. Dan dalam kejujuran itulah, kita menemukan keindahan yang sesungguhnya.