BULAN LUKA PARAH DILANGIT NAGOYA

BANDARA Hang Nadim menyongsong kedatangan saya dengan terik matahari yang menggemaskan. Udara gersang “ kota otorita”,  itu berhembus menerbang selaksa debu-debu, berputar tak teratur kemudian mewarnai Batam dalam nuansa suram  yang oritamental.

Saya menyeka paluh di kening sembari melihat sekeliling, kesibukan berada dimana mana. Orang –orang hilir mudik bagai robot. Nyaris tak punya rasa. “ Mungkin sebentuk kebudayaan baru:.

Saya membatin dengan getir.

Di dalam Taksi yang membawa saya ke hotel  di kawasan Nagoya, saya menikmati pemandangan sekeliling yang sungguh mengesankan. Taksi membela di aspal yang mulus, di kanan kiri dinding pepohonan dan rimbun bakau menyemarakkan. Sesekali terlihat aktifitas “ pembukaan tanah”, dalam rangka membangun wilayah Industri baru.

Alat-alat berat bekerja giat, dipanggang matahari. Dan beberapa buruh dengan otot berkilat berkutat serius pada pekerjaannya, diawasi dua orang mandor berdasi dengan helm proyek di kepalanya.

Saya menyadarkan  diri pada jok kursi yang empuk untuk lebih santai menikmati perjalanan ini. Saya tiba-tiba merasa tegang dan letih. Lagu “ To Love Somebody”, dari MIchael Bolton mengalun lembut dari tape taksi, melenakan saya untuk mengingat peristiwa 2 hari silam.

Hari itu kami mengadakan rapat redaksi masalah kerja. Saya merasa sangat  bosan dan sedikit mengantuk mendengar dari uraian dari direktur pelaksana yang bertele-tele, tentang disiplin wartawan, investigative reporting, dan sebagainya yang menurut saya kami sudah cukup tahu untuk itu!.

Dalam suasana kantuk yang makin berat, saya tiba-tiba tersentak kaget,  ketiks nani saya dipanggil.Saya menegok dengan acuh , memberi respon.  “ Lusa kamu berangkat ke Batam”. Liput kehidupan malam yang ada di sana  dan wawancarai salah seorang  wanita penghibur di situ. Segala biaya di tanggung perusahaan, untuk jangka waktu … hari demikian titah bung Mukhlis, sang redaktur  pelaksana majalah kami dengan tegas. “ Tapi pak….”, saya mencoba menyela. Namun Bung Muklis buru-buru memotong , “ tidak ada tapi. Surat tugasmu diambil besok pagi pada Nasrun, sekretaris redaksi. Sekalian segala urusan administrasinya. Jelas?,  Saya tiba-tiba membayangkan, Nina, pacar tercinta , akan memaki saya habis-habisan lantaran tidak menghadiri pesta ulang tahunnya.

“ Pak , sudah sampai,  pak ! , tiba-tiba pak sopir taksi membuyarkan lamunan saya. Saya kemudian keluar dan membenahi barang,  membayar ongkos taksi lalu  memasuki penginapan untuk check –in. Tiba di kamar saya langsung tertidur pulas dan bermimpi Nina datangi saya  dengan gaun putih, di lehernya seuntai kalung mutiara, rambutnya kusut masai dan meneteskan air mata. Kecantikannya memudar. Rupanya : I Have a Nightmare!.

*****

KEHIDUPAN malam di Batam betul-betul semarak. Di dekat hotel saya, kawasan Nagoya, malam seperti ditaburi cahaya. Gemerlap lampu diskotik, panti pijat  dan took berpendar-pendar penuh pukau. Nagoya seperti penuh warna dan menjanjikan kesenangan yang tiada tara.

Saya memasuki sebuah diskotik , dengan suasana hati yang tidak menentu. Musik yang berdentum keras segera menyongsong kedatangan saya dan beberapa pramuria dengan paras lumayan  mengantar saya kesebuah meja paling ujung.

Di lantai dansa sejumlah anak muda, menari dengan riang , melepas kepenakan dan membuka belenggu kehidupan. Suara musik yang membahana ditingkah kerlap-kerlip lampu disko yang pariatif serta gerak tubuh yang melenggak-lenggok mengikuti irama. Saya cukup terpesona oleh gaya mereka, tapi sama sekali tak tertarik untuk “turun” .

“ Anda perlu teman?” ,  tiba-tiba terdengar suara empuk terdengarkan. Saya menoleh. Di depan saya berdiri seorang gadis berusia sekitar 23 tahunan. Ia memakai baju You Can See berwarna merah bertuliskan Woman ‘ s Lib dengan parfum menyengat hidung serta Blue Jeans  ketat . Wajahnya cukup cantik, tetapi tidak lebih cantik dari Nina .

 

“ Kebetulan saya memerlukan teman duduk. Mari, silahkan !, “ saya mempersilahkan dengan ramah. Iapun duduk dengan anggun tepat di depan saya.

“ Kenalkan. Silvia”., katanya mengulurkan tangannya dengan hangat sambil memperkenalkan diri.

“Sendirian?” .   Tanya Silvia.

“ Seperti kamu lihat saya lagi solo karier,” saya menyahut, sedikit bergurau . Silvia tertawa samar.

“ Kayaknya, anda orang baru di Batam. Benar  kan?:, Silvia menebak. Saya mengangguk.

“ Saya baru tiba tadi pagi dari Jakarta, saya istirahat, lantas ke sini”, kata saya menjelaskan. Silvia mengguk-mangguk.

“ Kalau boleh saya tahu ada urusan apa di Batam ?” selidik Silvia. Saya tersenyum. Kayak detektif saja main interogasi segala. Saya membatin.

“ Cuma jalan-jalan. Sekalian bisnis sedikit”. Saya menjawab enteng. Kemudian Silvia manggut-manggut.

“ Kamu kerja disini, ya?”, saya bertanya. Tenang. Benar, sudah 3 tahun”, jawab Silvia tenang. Dia melemparkan pandangan ke lantai dansa, seperti menghindarkan diri dari pertanyaan selanjutnya yang terkait. Lagu disko Humpin Around  milik Bobby Brown  menghentak keras . Tak ada kata kata anatara kami.

Naluri wartawan saya tiba-tiba membisikkan sesuatu.

“ Silvia  kamu tidak keberatan menemani saya keluar, menikmati malam di kota Batam? Soalnya,…. di sini pengap sekali”, saya berkata dengan sangat hati-hati

“ Silvia tersenyum dan mengiyakan.

Tiba –tiba saya merasa sangat bahagia. Saya akan cepat pulang.

Pada kawasan Batu Ampar.

Di seberang sana, Kerlap-kerlip lampu kota Singapura seakan menghimbau. Di langit bulan purnama bersinar penuh, berkilau mempesona menambah suasana romantis.

“ Ada bisnis apa kamu di sini?” , Tanya Silvia memecah keheningan. Suaranya terdengar jernih. Saya menghela nafas panjang.

Saya merasa harus terus terang akan keberadaan saya disini, bersamanya.

“ Saya wartawan majalah Teropong ,” kata saya akhirnya.

Silvia memandang saya lekat-lekat. Saya seperti mau ditodong.

“ Saya ditugaskan untuk melipiut kehidupan malam di koto ini untuk materi penerbitan kami selanjutnya, lalu …”, saya menjelaskan.

“ Kamu ingin mewawancarai saya?,” potong Silvia tajam.

“ Kurang lebih begitu, kalau kamu tidak keberatan, saya menjawab dengan perasaan tidak enak. Terdengar resah angin gersang bertiup di sekeliling kami.

“ Saya tak keberatan,” jawab Silvia datar. Saya seperti kejatuhan durian runtuh. Ini peluang baik!.

Maka wawancarapun berjalan lancar . Kisahnya mengalir sendu. Silvia, yang dulu bernama asli  Ratna , adalah produk keluarga miskin–papa. Dia – sebagai anak sulung  – adalah satu – satunya tumpuan keluarga dan adik-adiknya.

Saat ini dia memutuskan untuk mengadu nasub di Batam sebagai seorang buruh harian pada sebuah kawasan industri, ia telah bertekat tak akan pulang dan biaya kehidupan di Batam., penghasilan sebagai tenaga buruh harian terasa tak cukup untuk makan sehari-hari. Seorang kawan mengajaknya teriun menjadi “penghibur” malam yang menjajikan honor lumayan.

Maka demikian, sejak 2 tahun lalu, ia bergelut dalam kehidupan maksiat, pemuas nafsu laki-laki, sekaligus tetap bekerja sebagai tenaga buruh harian pada pagi hari, meski ini tak sesuai dengan hati nuraninya, ia tak kuasa menolak deraan tuntutan hidup yang makin kejam.

“ Jadi selama ini kamu merasa tidak tentram?” saya bertanya, Silvia menghembuskan asap rokoknya kuat-kuat. Ia  seakan melepaskan beban batin yang mengekang.

“ “ Saya cukup tentram, tapi tidak cukup tenang apalagi bahagia,” tukasnya diplomatis. Saya tersenyum mahfum.

“ Hidup harus lebih dari hanya sekedar karena dia adalah pelaksana cita-cita dan harapan. Juga karena ia adalah karena cinta dan keinginana memahami. Saya sangat percaya itu!” saya sangat percaya itu tuturnya dengan suara serak. Ia seperti menyimpan duka yang dalam.

“ Kamu pernah merasa terhina  oleh pekerjaanmu?”.

“ Sedikit, tapi cukup menyakitkan. Dan itu membuat saya untuk lebih tegar menghadapinya. Saya merasa cukup kuat dan tidak perlu menangis. Meski saya telah penuh luka. Sangat parah, “ Suara Silvia terdengar lirih. Ia lalu melempar puntung rokoknya jauh-jauh.

“ Bagaimana cara kamu merasakan suka  dan duka ?, saya tiba-tiba seperti melemparkan pertanyaan bodoh. Silvia  menyeringai, tapi tidak melecehkan , ia bagai mengejek angin.

“ Saya memandang bulan. Dia lambang kelembutan sekaligus keperkasaan alam, kemampuan bertahan, “ Silvia bertutur sembari menatap bulan yang sinarnya keperakan menerpa tempat kami. Ia menyulu rokok kedua.

“ kalau bulan tidak muncul?”, saya iseng bertanya.

“ Saya memandang langit. Dia lambang kepasrahan dan kelapangan menerima ,” jawabnya datar.

“ Apa selama ini kamu bahagia?”.

“ Selalu,. Tapi semu,” jawabnya  singkat.

“ Mengapa semu?”.

“ karena kebahagiaan yang saya miliki, adalah kebahagiaan yang diwujudkan dengan materi, uang bahkan nafsu. Bukan cinta”.

“ Kamu pernah jatuh cinta?”.  Silvia tersenyum. Ia mengisap rokoknya dalam-dalam. Matanya menerawang jauh seperti mengenang sesuatu.

“ Pernah. Tapi saya berfikir itu tidak ada gunanya,” ujarnya getir. Namun bibirnya bergetar. Dia menyimpan keharuan yang dalam.

“ Mengapa?”.

“ Sebab saya adalah cinta itu sendiri,’ kata Silvia dengan mata berkaca-kaca. Saya tercenung. Dia terlalu pintar untuk seorang WTS .”

“ Kamu tidak pernah berfikir untuk menjalani kehidupan berkeluarga yang lazim seperti wanita-wanita seusiamu?”.

“ Itu juga, bagi saya, tidak berguna.  Saya cukup puas dengan keadaan saya sekarang. Saya tidak ingin untuk menambah dan menguranginya.”

“ Pernah ada keinginana untuk…insaf kembali ke jalan yang benar dan lurus?”.

“ Saya pernah memutuskan untuk melakukannya . Tapi tak jadi. Saya selalu kotor hina dan penuh luka. Dan saya menganggap itu…itu…itu…juga tak akan berguna, jawab Silvia tersendat, air mata mengalir di pipinya. Ia menunduk.

“ Maaf, saya telah membuatmu menangis,” saya berkata dengan penuh penyesalan , Silvia menengadah, dan menyeka air matanya. Bibirnya kembali menyungingkan senyum.

“ Tak apa. Saya tiba-tiba merasa berharga,” ucap Silvia nyaris tak terdengar. Saya menepuk pundaknya.

“ Jangan berkata begitu. Semua orang berharga di mata Tuhan, Pencipta Alam Semesta. Tinggal bagaimana kita, menempatkan diri lebih istimewa  pada penghargaaNya, tergantung dari seberapa jauh kita mengikuti perintahNya, taqwa padaNya dan senantiasa sadar kita dalam pengawasanNya.” Saya bertutur panjang menghibur Silvia. Dia tiba-tiba menatap saya dengan tajam menghujam. Seperti mencari makna dan kepastian . Mendadak sontak ia memeluk saya erat-erat , menangis tersedu-sedu  di dada saya.

“ Saya selalu berusaha mencari ketenangan dan kearifan memandang hidup. Dan saya menemukannya kini.,” kata Silvia sesunggukan. Saya menghela nafas. Terlalu banyak yang saya peroleh malam ini.

“ Silvia,. Sudalah , mari saya antar pulang, sudah malam, “ kata saya mengajak. Kamipun beranjak pergi. Saya sempat melirik bulan di atas sana. Bulan seperti berdarah, dan luka parah. Saya tidak mampu menjelaskan peristiwa ini. Terlalu samar atau bahkan sama sekali tidak berharga.

Maros, 12 Desember 1993 

Related Posts
CERPEN : WISUDA
Pengantar: Cerpen ini pernah dimuat di Harian Fajar Makassar, Minggu 2 Oktober 1994. Saya tayangkan kembali disini tidak hanya sebagai arsip digital, namun menjadi bagian dari mengabadikan kenangan, semoga bermanfaat bagi ...
Posting Terkait
PURNAMA DI MATA ARIMBI
LETNAN Dua Aryo Bimo memandang batu nisan didepannya dengan kepedihan tiada tara. Dibacanya berulang-ulang nama yang tertera disana dengan nada pilu. Arimbi Wulansari, bibirnya bergetar menyebut kekasih tercintanya itu penuh kerinduan ...
Posting Terkait
CERPEN : PENSIUNAN
Pengantar Cerpen dibawah ini saya tulis untuk menyongsong masa pensiun ayah saya dan dimuat 15 tahun silam di Harian Fajar Makassar edisi Minggu 24 April 1994. Selamat membaca.. ---------- HIDUP tanpa sempat berbuat ...
Posting Terkait
JATUH CINTA DI KILOMETER DUA PULUH TIGA
Cinta adalah sebuah jaring yang menjerat hati bagaikan seekor ikan (Muhammad Ali, Mantan Juara Dunia Tinju Kelas Berat, dari “Reader Digest Indonesia” edisi Januari 2005)           HUJAN masih menyisakan gerimis sore itu. ...
Posting Terkait
CERPEN : GEGER KAMPUS 2025
TAHUN 2095, Kampus Universitas Amburadui (UNBUL), Gempar! Sang Rektor dinilai mengeluarkan tindakan sepihak dengan mengeluarkan surat keputusan dengan mengeluarkan Gedung Jasa Boga dan membangun lagi kantin dari pondok-pondok bambo beratap ...
Posting Terkait
CERPEN : LUKA SANG BIDADARI
Pengantar: Cerpen ini pernah dimuat di Harian Fajar Makassar tahun 1996 (saya lupa tanggalnya kapan karena arsip klipping saya hanyut dibawa banjir tahun 1998). Untunglah masih menyimpan file arsipnya di Makassar ...
Posting Terkait
CERPEN : SALJU DI KYOTO
YOTO masih seperti dulu, saya bergumam dalam hati ketika menapak tilas perjalanan saya kembali ke kota kebudayaan di negeri Matahari Terbit itu. Gedung kuno dengan ornamen yang sarat imaji kontemporer seperti kuil Higashi Honganji,Sanjusangendo, ...
Posting Terkait
MENGABADIKAN CERPEN-CERPEN TERPILIH DI “STORIAL”
"Cinta Dalam Sepotong Kangkung" adalah cerpen yang pernah saya tulis dan dimuat di Suratkabar Pedoman Rakyat Makassar, 15 April 1991. Pada Hari Sabtu, 9 Desember 2006, cerpen ini diadaptasi menjadi ...
Posting Terkait
FROM CERPEN TO SINETRON : SEORANG PELACUR DAN SUPIR TAKSI
Catatan Pengantar Dibawah ini adalah Cerita Pendek saya yang dimuat di Harian Fajar Makassar 22 Mei 1994. Alhamdulillah, cerpen ini diangkat ke layar kaca dalam sinetron Pintu Hidayah RCTI 6 November ...
Posting Terkait
CERPEN : WISUDA
PURNAMA DI MATA ARIMBI
CERPEN : PENSIUNAN
JATUH CINTA DI KILOMETER DUA PULUH TIGA
CERPEN : GEGER KAMPUS 2025
CERPEN : LUKA SANG BIDADARI
CERPEN : SALJU DI KYOTO
MENGABADIKAN CERPEN-CERPEN TERPILIH DI “STORIAL”
FROM CERPEN TO SINETRON : SEORANG PELACUR DAN

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.