Saya dan Ibu (disamping kiri) serta guru dan murid-murid TK Aisyah Makassar saat merayakan ulang tahun saya kelima, tahun 1975.
“KAMU tahu, nak, kenapa kami menyematkan “Taufik” pada namamu?”, kata ayah pada saya, di suatu malam yang kuyup diguyur hujan (sekitar tahun 1990) saat kami sekeluarga tengah duduk bercengkrama diruang keluarga.
Saya menggeleng pelan. “Kenapa Pa?”, tanya saya penasaran.
Ayah saya menoleh pada ibu seperti memberi isyarat. Ibu tersenyum dan dengan lembut beliau menjawab.
“Taufik itu berarti Pertolongan Allah SWT. Saat kamu lahir dulu, kepalamu sungguh besar,nak. Dokter terpaksa melakukan tindakan yang cukup drastis agar bisa mengeluarkanmu dari kandungan. Ibu sampai mengalami pendarahan yang cukup parah hingga adik dan juga tante ayahmu menjadi donor darah buat ibu. Berkat pertolongan Allah SWT jualah ibu bisa melalui cobaan berat itu dan membesarkan kalian hingga sekarang”.
Saya tercenung. Bukan karena memikirkan besarnya kepala saya seperti apa, yang mungkin menyebabkan saya mengidap penyakit narsis seperti sekarang ini 😀 , tapi lebih kepada penderitaan yang dialami oleh ibu saya saat melahirkan saya dulu. Sungguh sebuah pertarungan hidup mati yang mesti dilalui beliau untuk melahirkan putra pertamanya.
Ingatan saya tentang ibu kembali terkenang saat ini, menjelang peringatan Hari ibu, 22 Desember 2007. Pada senyumnya, pada ketulusan hatinya mendidik saya dan ketiga adik saya selama ini hingga kami beranjak dewasa. Saya selalu menemukan rembulan dimata beliau, yang lembut menenangkan, menghanyutkan, meneduhkan, menyejukkan dan senantiasa membuat hati saya damai. Dan cahaya rembulan itu tak pernah pudar meski usia beliau kian renta. Saat pulang ke Makassar bulan lalu, rembulan itu tak jua suram pijarnya. Bahkan kian benderang. Dikeriput matanya saya menemukan jejak-jejak kisah kesabaran, perjuangan, pengorbanan, keikhlasan, penderitaan. Juga Maaf tak bertepi.
Saya masih ingat, saat kami sekeluarga pindah dari Makassar ke Bone-Bone tahun 1978. Saya mengamuk dan tak rela untuk menyadari kenyataan bahwa kami mesti pindah ke daerah terpencil dan sepi nun jauh dari kota Makassar yang hiruk pikuk. Saya cemas dan takut serta tak rela menghadapi situasi itu. Dan ibu, yang membawa rembulan pada matanya, membuat saya kembali tenang dan siap menghadapi kenyataan pahit itu. Beliau membelai rambut saya lembut dan dengan lirih berkata, kita akan baik-baik saja di Bone-Bone. Pijar rembulan dimata beliau membuat saya yakin dan tegar akan bisa melalui hari demi hari yang sepi di Bone-Bone kelak.
Di Hari ibu ini, perkenankan saya dengan rasa rindu yang membuncah mengucap do’a untuk ibu agar Allah SWT bisa mengampunkan dosa-dosanya, memaafkan kesalahannya, dan mengasihinya sebagaimana beliau mengasihi saya dan adik-adik saya dalam suasana suka dan duka, serta semoga cahaya rembulan dimatanya tetap abadi, selamanya.
Selamat Hari Ibu!
(Buat ibu saya, ibu mertua, ibu anak-anak saya dan seluruh ibu didunia…)








One comment