LOVE AT THE FIRST VOICE
DALAM sejarah percintaan saya dari masa remaja di SMA hingga menyelesaikan kuliah, saya termasuk orang yang gagal melakoni indahnya romantisme itu. Saat masih SMA, seorang kawan yang memiliki reputasi sebagai playboy sekolah, malah sempat menjuluki saya sebagai “lelaki bego” dalam urusan percintaan. Kata dia, saya sudah memiliki segalanya sebagai seorang “Pemuda harapan Pemudi” dan sungguh sangat disayangkan saya tidak memanfaatkan potensi itu untuk menggaet seorang gadispun sebagai kekasih hati.
Sebagai seorang Ketua OSIS di SMA Negeri I Maros periode 1988-1989, memiliki tampang yang tidak jelek-jelek amat, menjadi pasukan inti Paskibraka tingkat Kabupaten serta selalu menyandang nilai terbaik di jurusan A-1 (Fisika) yang ketika itu dianggap sebagai “jurusan angker”, saya memang memiliki kesempatan yang “cukup besar” dengan menggunakan seluruh pesona dan kharisma yang saya miliki untuk, paling tidak, dapat berkencan dengan gadis “kembang”-nya sekolah. Tapi saya tidak melakukan itu. Saya lebih memilih berkonsentrasi belajar dan beraktivitas di OSIS (Organisasi Siswa Intra Sekolah).
Sebenarnya, peluang selalu saja ada. Malah, beberapa gadis yang “naksir” sempat menitip salam mesra untuk saya. Seorang gadis bahkan secara terang-terangan mengirim surat cinta buat saya yang dititipkan lewat kawan satu kelas saya. Tapi lagi-lagi, saya tidak menanggapinya secara serius.
“Kamu punya kelainan seksual kali ya?. Atau jangan-jangan kamu salah sunat dulu. Masa’ tidak ada satu gadispun di sekolah ini jadi pacarmu?” tukas kawan saya yang playboy itu gregetan.
Saya terkekeh pelan. Saya tak memiliki kecenderungan transeksual sedikitpun, bagi saya dengan taraf pemikiran soal cinta antar dua insan berbeda jenis yang lugu dan inncoent (untuk tidak secara tega menyatakannya : bego 😀 ) hubungan kemesraan dengan pacar hanya akan menghambat aktifitas belajar dan beraktualisasi saya di OSIS. Mengurus kedua kegiatan itu saja sudah bikin repot, apalagi ditambah urusan cinta-cinta-an yang justru bisa berpotensi membuat puyeng kepala terutama ketika sang pacar ngambek gara-gara jablai (jarang dibelai), jayu (jarang dirayu), Jaja (jarang dipuja) atau Jatir (Jarang ditraktir) 😀
“Hati-hati lho..kamu bisa kena “karma” atas keangkuhanmu yang menyebalkan dan mengecewakan ini, ” ancam kawan saya tadi serius. Saya cuek dan menganggap “kutukan” kawan saya tadi hanya angin lalu belaka. Sikap saya tetap tak berubah : “No time for Love!“. Dan sayapun kembali tenggelam dalam keasyikan berorganisasi serta belajar.
Selepas SMA dan memasuki jenjang Universitas, preferensi saya tentang cinta pada wanita mendadak berubah. Saya kok ya tiba-tiba naksir berat pada teman satu sekolah saya dulu. Barangkali itu karena aktifitas saya di OSIS sudah tak ada lagi setelah saya beralih status jadi mahasiswa . Dan kini mendadak panah cinta dewi amor itu menancap tepat di hati ketika saya melihat gadis itu melintas anggun di koridor kampus. Saya tak menunggu lebih lama untuk menyapanya dan mengobrol akrab beberapa saat kemudian sampai akhirnya pulang bareng ke Maros naik pete-pete dari kampus UNHAS Tamalanrea.
“Syukur deh, kamu akhirnya menyadari kebegoanmu selama ini dan kembali ke jalan yang benar,” canda si Playboy tadi saat saya menceritakan “gonjang-ganjing” hati saya itu kepadanya. Lebih lanjut–sesuai kapabilitas dan kompetensinya– ia memberikan advis-advis strategis kepada saya bagaimana menaklukkan cewek pujaan hati. “Tatap matanya dalam-dalam, rayulah dia setinggi mungkin dan jadilah selalu pendengar yang baik bagi setiap keluhan ataupun omelannya,” kata kawan saya tadi menyodorkan kiat-kiat “berpacaran yang baik dan benar”. Saya hanya manggut-manggut.
Ternyata tidaklah sesulit yang saya duga sebelumnya. Reputasi saya sebagai “selebriti” sekolah sudah cukup memukau dia sebelumnya. Dan konon, ia sudah memendam perasaan suka pada saya lebih dulu. Tapi masih malu-malu. Segalanya menjadi lebih mudah saat saya “menembaknya” menjadi pacar. Dia hanya mengangguk tersipu dan menampilkan senyum manis yang membuat hati saya porak-poranda karenanya. Maka jadilah kami sepasang kekasih yang saling menyayangi dan merindukan satu sama lain.
Tapi, berselang 3 bulan kemudian, “kelakuan” saya kumat lagi. Aktifitas di senat mahasiswa dan himpunan begitu menggoda saya untuk terjun kembali didunia organisasi. Saya mendapatkan kembali “dunia” yang pernah hilang, yang pernah begitu saya senangi dan akrabi sewaktu di SMA dulu. Apa boleh buat, jadwal pacaran pun kacau balau jadinya.
Karena begitu egois menuruti kemauan sendiri, saya jadi mengabaikan si “dia” dan memilih bercengkrama bersama kawan-kawan sesama aktifis kampus. Bahkan terkadang dimalam minggu yang seharusnya menjadi jadwal “apel” ke si “doi” saya habiskan bersama kawan-kawan dikampus merintis dan mengerjakan tabloid mahasiswa “Channel 9” Fakultas Teknik UNHAS. Saya sangat menikmati dan larut didalamnya.
Saya akhirnya menyadari kekeliruan fatal itu saat menerima surat darinya. Sepucuk surat yang isinya sungguh membuat batin saya sangat terpukul : dia memutuskan cinta secara sepihak. Bukan main paniknya saya ketika itu. Tapi semua sudah terlambat. Upaya rekonsiliasi yang saya lakukan selalu menemui jalan buntu. “Silahkan kamu bercinta dengan cara kamu sendiri. Dan tidak dengan saya!”. Begitu bunyi suratnya yang kemudian saya abadikan dalam cerpen berjudul “Wisuda” yang dimuat di Harian Fajar Makassar, 2 Oktober 1994.
Pengalaman itu menyisakan trauma sangat mendalam di hati saya. Kawan saya yang playboy kembali membubuhkan label “lelaki bego” di jidat saya. Dia yang sudah berganti pacar keempatbelas kali itu memborbardir saya dengan omelan. “Kamu itu mesti belajar untuk tidak egois dan toleran. Lihat akibatnya. Jadi hancur lebur kan’ hubungan cintamu. Ini karena ulah kamu sendiri. Pokoknya mulai sekarang, terserah kamu sajalah, mau pacaran kek, mau ngurusin organisasi kek, mau kelaut kek, aku gak peduli. Jangan pernah coba-coba minta nasehatku lagi!,” cecar kawan saya itu dengan amarah meluap. Saya menghela nafas panjang. Pasrah. Pilu. Luka.
Hari-hari berikutnya, saya mengubur dalam-dalam kisah cinta yang kandas itu dengan “menceburkan” diri secara total di berbagai aktifitas organisasi mulai dari senat mahasiswa, himpunan mahasiswa hingga penerbitan kampus. Prinsip “No Time for Love” kembali saya pegang teguh. Beruntunglah, saya bisa berdamai dengan masa lalu dan pelan-pelan melupakan trauma menyakitkan itu. Saya berhasil lulus dengan predikat alumni terbaik Jurusan Teknik Mesin UNHAS untuk masa wisuda September 1994 dan tentu segudang pengalaman bergelut di organisasi kemahasiswaan.
Saat mulai memasuki dunia kerja tahun 1995, saya berusaha untuk tetap fokus mengerjakan tugas-tugas saya sebagai staff produksi di PT.Kadera-Ar Indonesia di Pulogadung. Dan tentu melupakan segala tetek bengek soal cinta.
Sampai kemudian, suatu sore di tahun 1996, kawan saya satu angkatan di Teknik Mesin UNHAS, Sri Lisanti, menelepon ke kantor. Ia bermaksud memperkenalkan (mungkin lebih tepat me-“mak-comblangi”) salah seorang teman kantornya kepada saya. Saya sempat kaget. Kayaknya kawan saya itu sudah cukup prihatin melihat kondisi saya yang jomblo. Saya menyanggupi tawarannya. Sri lalu menceritakan (tepatnya “mempromosikan) kawannya pada saya. “Namanya Sri Lestari. Sama-sama Sri juga seperti namaku. Dia kawan dekatku dikantor dan kayaknya cocok deh buat kamu. Besok saya atur untuk bicara langsung ya?,” kata Sri Lisanti. Saya hanya mengiyakan dan menunggu keajaiban apa gerangan yang bakal terjadi nanti.
Diwaktu yang sama keesokan harinya, saya menelepon kantor Sri Lisanti dengan degup jantung berdetak kencang. “Nahh..ini dia nih..langsung bicara ya?” ucap Sri Lisanti diujung telepon dan seperti mengalihkan gagang telepon yang dipegangnya. Dan disana, saat ucapan pertama terucap dari bibir Sri Lestari–wanita yang kini jadi ibu bagi kedua anak saya–seketika badai besar bagaikan melanda hati saya. Suaranya jernih dan punya daya pukau luar biasa. Mendamaikan. Menentramkan. Saya terpesona dan luluh. Sungguh, seketika saya merasa jatuh hati pada suara pertama!.
Saya sempat melongo ditelepon karena terbuai rasa kagum sampai kemudian tersadar saat terdengar suara cekikikan diujung telepon. “Woii..ngapain kamu disana?. Jangan bengong gitulah, temanku sampai bingung lho. Ngomong dong! Ngomong!”, goda Sri Lisanti. Saya gelagapan dan malu.
Entah kenapa, saya seperti mendapatkan isyarat tersembunyi yang menyatakan dia, Sri Lestari, wanita diujung telepon itu akan menjadi belahan hati saya kelak. Untunglah beberapa saat kemudian, ketegangan itu mencair dan sayapun–secara intens –lalu melakukan “serangan-serangan” romantis pada wanita bersuara menawan itu. Saat berjumpa langsung pertama kali secara wujud fisik seminggu kemudian, saya langsung tertarik. Ternyata ia tidak hanya memiliki suara yang meluluhkan hati tapi juga paras yang mampu menggetarkan jiwa.
Kami akhirnya resmi menikah 10 April 1999 setelah menjalani masa pacaran kurang lebih 3 tahun.
Catatan : Foto by A.W.Masry
cerita begini ndak saya lewatkan satu huruf pun…busyet…norak sekali ki waktu dulu ya..
tp kok rada mirip sama saya..bedanya saya ndak ada yg mau walau prestasi biasa2 saja..
kita sama2 alumni SMANSA, tapi saya di pusatnya Makassar, hehe
ttg suara, sa juga pernah mengalami. tp kemudian jalin kisah itu putus setelah pacaran tiga tahun, bukan karena ndak cocok, tapi karena saya mesti nurut orangtua menikah dengan pilihan mereka..
c’est la vie..
but it still a romantic moment…
Iya..ya..ceritanya rada mirip tuh, Daeng. Tapi yakinlah, pilihan orang tua itu merupakan keputusan terbaik mereka buatmu.
hehehe, deen jg pernah Daeng *malu tersipu2..* anu.. suaranya Aa’ Ian..hmm anu, itue si Christian Sugiono..hehehe :D, tp suaranya ji gang.. sumpe suaranya ji.. *tersipu2 lagi*
To DaengRusle : ehem2, adakah orang itu yg pernah kudatangi rumahnya..? 😀
Ternyata Deen punya affair tersembunyi sama Christian Sugiono. Awas ya nanti saya lapor ke Mbak Titi Kamal..hehehe
Cerita yang bagus… salut…
Love at the first voice.. yang namanya jodoh ya gitu. Mau at the first sight kek, at the first voice kek.. kl jodoh mah nggak bakalan kemana.. iya tak?
Lha..iyalah yauw, Arun!
Kayaknya Mantanta’ yg di Maros itu yah yg kirimiki surat PHK 🙂
Ehm..no comment Adink..no comment..*pake gaya jaim kayak Dessy Ratnasari..:D *
hmm..pernah ndak ya saya mengalami “Love at The First Voice” ?, kayaknya pernah..
sy punya teman yg dikenalkan lewat teman..suaranya enak didengar, ngobrol sm dia juga nyambung, kadang2 sampe 2 jam-an di depan telpon…sayang, kami belum pernah ketemu, sampai sekarang..!!!
padahal sama2 tinggal di Makassar…
nice story p’Amril..:)
Itulah yang diistilahkan sebagai “Belum Jodoh”, Daeng.
wah duh…pak amril ternyata cerita cintanya romantis gini. klo aku baca blognya, kyanya om amril itu romantis bgt sama si nyonya…ternyata dulunya cuek ama cwe XDDD
untung masih bisa dapet jodoh *kabur dulu ah…
Awas kamu ya Macan! Ta’ jewer nanti lho Kangmas admin-mu yg cakep di Surabaya itu..hehehe. Soal Romantis? Emang begitu sih dari sononya..mau diapa lagi? hehehe
cieee uhuk uhuk..
saya juga nih.. pernah jatuh cinta pada suara pertama di telepon 😀 padahal waktu komunikasi via chat dan email sama mantan odo-odo dulu ndak ada perasaan apa-apa 😀 tapi pas ditelepon ka, wetz jadi pengen nambah dengernya 😀
syukurlah sekarang sering mi sa dengar suaranya hampir tiap malam walau masih lewat telepon.. ka jauh ki kesianG 😀
Ciee..juga. I know him Rara and I can imagine that you’re “klepek-klepek” after received his phone call.. 😀
Jatuh cinta pada suara pertama? Hahaha, nggak terbayang olehku.
Joan, maka bayangkan sajalah melalui cerita saya yang culun ini..hehehe. Just imagine!
Pembelajaran buat yg belum punya pacar eh istri…dan suami juga (masa’ cuman laki2 saja yg harus mangngodok?
Cerita de-Bat sama dengan mendulang emas di sungai Mas, air keciprat dari mulut si ikan mas…halah)
Aih, parnerku satu ini bisa aja deh.
“….Dan disana, saat ucapan pertama terucap dari bibir Sri Lestari–wanita yang kini jadi ibu bagi kedua anak saya–seketika badai besar bagaikan melanda hati saya… ”
luar biasa… langsung jadi pertanda di’ daeng klo beliaulah yg bakalan menjadi belahan jiwa ta’
mantap…, keren… daeng…
Nawir, itulah yang dinamakan sebuah “isyarat langit” 😀
Trenyuh saya membacanya Daeng. Ternyata kisah seperti ini kalo dikemas oleh seorang DB, tetep aja enak dibacanya.
Ginimi saja Daeng. Saya ceritakan ki kisahku, lalu kita yang tulis agar enak dibaca. Gimana, setuju?
Banyak bahan nih soalnya. Tapi susah mengemasnya jadi bacaan enak. Hiks…., dasar nda’ bakaD.
Boleh aja, Daeng. Yg penting anda menceritakan kisah itu (dan nanti akan saya tulis ulang) di warung Haji Mamink sambil makan Coto Makassar, Burasa, Mie Titi, dan es pallubutung..hehehe. Bagaimana Daeng?
hihihi… (*senyam senyum sndiri)
bolehki ikut2an daeng?
truz cm mo komen “so sweet”
intuisinya dalem, eh..bneran jd jodoh, gak cm ma suaranya tp jg orgnya 😀
Boleh ji Pak Guru. Asal jangan ki ketawa sendiri, nanti dikira gokil..hehehe :D. Betul sekali, makanya
baru dengar suara saja langsung terasa “klik” dan menyatakan “inilah jodohku”
hm..sy alumni smansa,kayakx pas dg.battala tamat,sy blum lahir.Sy mantn Skretaris OSIS.I’m in luv with my ketos.I know he also feels d same,but we do nothing except waiting 4 d God’s destny ~_^
Hi , Taufik … apa kabar ?masih inget aku ngga’ ? Your classmate di smp 2 maros ?
Alhamdulillah, Ita..inilah keajaiban dunia blog. Ketemu dengan kawan lama yg sudah 20-an tahun tak bertemu. Pasti saya ingat. Masa lupa sih? Teman sekolah di SMPN 2 Maros dulu. Saya baru kirim email japri ke kamu. Salam buat keluarga ya
waaa…kisah cinta yang romantisss 😀
Pingback: The Art (and The Power) Of Doing Nothing « Perjalanan Menuju Bening Jiwa
Pingback: Jadi Blogger Itu Membahagiakan « Perjalanan Menuju Bening Jiwa
Pingback: Memaknai Rasa Syukur « Perjalanan Menuju Bening Jiwa
Pingback: Sepasang Telinga, Seluas Samudera « Perjalanan Menuju Bening Jiwa
Pingback: Catatan Dari Hati » Blog Archive » SAHABAT, KEKAYAAN NYATA BAGI JIWA
Pingback: Catatan Dari Hati » Blog Archive » SURAT CINTA TERBUKA UNTUK ISTRIKU (Refleksi 10 Tahun Usia Pernikahan)
Pingback: SURAT CINTA TERBUKA UNTUK ISTRIKU (Refleksi 10 Tahun Usia Pernikahan) at Catatan ATG
Pingback: The Art (and The Power) of Doing Nothing | Komunitas Blogger Bekasi
Pingback: Sahabat, Kekayaan Nyata Bagi Jiwa… | Komunitas Blogger Bekasi
Pingback: Memaknai Rasa Syukur | Komunitas Blogger Bekasi
Pingback: Sepasang Telinga, Seluas Samudera | Komunitas Blogger Bekasi
Pingback: Belajar Memaknai Rasa Syukur « Yuari Trantono