MONOLOG “MAKKUNRAI” YANG MEMUKAU
MATAHARI sudah turun ke peraduannya saat saya tiba di gerbang Taman Ismail Marzuki (TIM), Senin, 24 Maret 2008 untuk menghadiri Diskusi dengan tema Perkembangan Sastra Kontemporer di Makassar: Menelisik Kumpulan Puisi Aku Hendak Pindah Rumah dan Kumpulan Cerita Pendek Makkunrai dan 10 Kisah Perempuan Lainnya yang merupakan rangkaian kegiatan inisiatif Sastra dari Makassar. Sejumlah pedagang kaki lima dan penjual makanan tampak terlihat memenuhi bahu jalan dan pelataran halaman depan TIM. Saya melirik jam tangan. Pukul 18.45. Masih ada waktu untuk bercengkrama dang ngobrol bersama rekan-rekan penggagas dan penggiat sastra dari makassar sebelum acara dibuka pukul 19.00 nanti, saya membatin. Beruntunglah, saya sudah sempat “mengisi perut” sejenak dengan Nasi Goreng Merah khas Makassar kesukaan saya di Restorant PELANGI, Jalan Wahid Hasyim. Usai sholat maghrib, dengan pertimbangan menghindari macet disaat jam pulang kantor, saya menumpang ojek yang mangkal didepan hotel IBIS Tamarin, berangkat menuju TIM.
Suasana masih sepi di Galeri Cipta II, tempat pelaksanaan acara tersebut. Di tangga masuk saya menjabat tangan Kak Moch.Hasymi Ibrahim yang kebetulan juga baru datang. Saya lalu menemui Lily Yulianti Farid, rekan seperjuangan saya di Penerbitan Kampus “Identitas” UNHAS dulu yang karya kumpulan cerpennya “Makkunrai” di-“bedah” dalam diskusi kali ini. Dengan balutan busana hitam dan jilbab ungu, Lily tampak cantik dan anggun malam itu. Kami lalu bercakap-cakap sejenak. Tak lama kemudian, sejumlah aktivis milis Apresiasi Sastra datang antara lain, Mbak Illonk, Mbak Ita Siregar dan Setyo Bardono. Lily terlibat percakapan seru bersama mereka. Saya lalu membeli buku kumpulan cerpen “Makkunrai” karya Lily Yulianti dan Kumpulan Puisi “Aku Hendak Pindah Rumah” karya M.Aan Mansyur yang digelar di depan pintu masuk. Saya sempat “menodong” Lily dan Aan–penulis kedua buku yang saya beli–untuk membubuhkan tanda tangan dihalaman depan. “Untuk ATG rekan seperjuangan, Happy Writing, Happy Reading, Happy Life”, tulis Lily di buku “Makkunrai” saya, sementara Aan menulis “Buat Kawan ATG, selamat mengapresiasi” di buku “Aku Hendak Pindah Rumah”.
Saya lalu masuk ke dalam ruangan diskusi dan menemui Farid Ma’ruf Ibrahim, suami Lily, juga kawan sesama aktifis di Penerbitan Kampus “Identitas” UNHAS. Dengan wajah sumringah, Farid menyambut kedatangan saya seraya memperkenalkan putranya tercinta, Fawwaz. “Om ini teman sekolah ayah dulu,” katanya riang. Saya menjabat tangan Fawwaz dan mencubit pipinya yang tembem menggemaskan. Kami lalu bercakap-cakap dan sempat menelepon kawan kami yang lain, Tomi Lebang, untuk ikut datang meramaikan acara malam itu.
Pukul 19.30 WIB, penonton mulai banyak berdatangan. Beberapa sosok yang saya kenal antara lain, Riri Riza, sang sutradara beken dan kini tengah menggarap film “Laskar Pelangi”, Kurnia Effendy salah satu cerpenis handal Indonesia, Endah Sulwesi sang peresensi buku handal, Aspar Paturusi seniman senior asal Makassar yang datang bersama istri tercinta, dan lain-lain. Rekan saya sesama blogger dan juga kerabat keluarga dari Lily, Rane Hafied juga datang dan menyapa saya dengan hangat. Tak lama kemudian, kawan masa kecil saya, M.Irdan AB yang kebetulan berada di Jakarta menjadi fasilitator pelatihan datang bersama beberapa orang kawannya. Turut hadir dalam kesempatan tersebut Om Arifuddin Patunru–salah satu sesepuh dari komunitas Panyingkul–yang datang bersama kedua anaknya Anto dan Andi.
Lampu ruang meredup. Di sisi sebelah kiri nampak sebuah panggung kecil tempat monolog “Makkunrai” yang akan dilakonkan oleh Luna Vidya, salah satu artis handal Makassar. Sang pelakon sudah ada disana dengan daster warna hitam dan belitan sarung berwarna oranye. Suasana mendadak senyap. Tak ada lagi hiruk pikuk penonton. Pandangan tertuju pada satu titik : panggung pementasan monolog.
Luna mengawali aksi teatrikalnya dengan suara pelan dan perlahan memuncak bahkan tajam menghentak dibeberapa bagian. Artikulasinya begitu jernih mengalir. Aksi panggung yang ditampilkan begitu ekspresif. Gerak tubuh Luna begitu luwes. Penonton terpaku dan terpukau. Lakon monolog yang diangkat dari cerpen Lily Yulianti Farid yang berjudul sama itu, betul-betul sangat hidup ditampilkan oleh Luna. Saya sendiri seperti merasakan kepedihan hati, luka, cinta, kemarahan, kelembutan, kesia-siaan, ketegaran, keberanian, dari sosok yang diperankan oleh Luna. Saya benar-benar terlena sampai tak menyadari bahwa pertunjukan itu betul-betul telah usai.
Tepuk tangan penonton bergemuruh menutup pertunjukan monolog tersebut. Lampu ruangan kembali dinyalakan. Tak lama kemudian, panggung dibagian depan telah diisi oleh tiga orang pembicara, masing-masing Nurhady Sirimorok (Peneliti di Komunitas Inninawa Makassar), Nur Zen Hae (penulis, Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta), Mariana Aminuddin (penulis, Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan, Jakarta)Bertindak sebagai moderator adalah Moch. Hasymi Ibrahim (pemerhati seni dan budaya, komisaris Taksi Putra, Jakarta).
Nurhady yang membuka diskusi tersebut, dengan menggambarkan kota Makassar kini dikuasai oleh dua kekuatan paling berbahaya terhadap kerja-kerja kultural kreatif. Selain feodalisme yang cenderung membekukan gerak mobilitas sosial dan intelektual, juga, kata Nurhady yang akrab dipanggil Dandy ini, disisi lain orientasi material konsumtif. Kota Makassar sudah menjelma menjadi kota Ruko (Rumah Toko). Semua fenomena ini sebenarnya adalah bahan menarik untuk karya sastra, tapi sastra tanpa tradisi penelitian adalah sastra hambar yang membosankan. Sastra yang terlalu asing, karena bentuk dan isinya masih terlalu mengekor Jawa dan terlepas dari fenomena sekitar. Memang, generasi sekarang sudah dimanjakan oleh banyaknya terjemahan karya dunia yang begitu ramai setidaknya sejak sedasawarsa terakhir.
“Sebagai sastra koran, sastra Makassar adalah sekadar sastra persinggahan, seorang sastrawan dalam proses menjadi”, kritik Dandy yang oleh moderator Hasymi “dijuluki” sebagai sang juru bicara gerakan “Sastra dari Makassar” ini. Mutu karya yang terbit di kolom mingguan Harian Fajar misalnya, masih harus berhadapan dengan salah ketik, inakurasi (dan sering karena kekurangan) kosakata, ketaklancaran bertutur, dan hal remeh temeh lainnya. Dalam konteks sosial inilah, gerakan “Sastra dari Makassar” yang digagas oleh Media citizen journalism Panyingkul! (www.panyingkul.com), kafe baca Biblioholic, penerbit Nala Cipta Litera dan Forum Tenda Kata adalah suatu ikhtiar yang patut dihargai. Dengan meluncurkan dua buku terbaru karya penulis Makassar yang sudah menasional, M. Aan Mansyur dan Lily Yulianti Farid, 18 Maret 2008, menunjukkan bahwa orientasi upaya ini adalah karya; karya yang bagus. Dan, fakta bahwa acara ini akan berkeliling ke pelbagai tempat yang menjadi kantong-kantong utama sastra di Makassar dan bahkan di Indonesia, mengisyaratkan adanya niatan untuk membuka dialog intens antar-penulis dan karya sastra dari beberapa tempat di Indonesia, sebuah dialog kreatif, berujung pada terus mengalirnya karya-karya yang semakin membaik, seiring dengan semakin dikenalnya dunia sastra. Mendobrak keterasingan publik terhadap karya sastra sekaligus menggerus keterasingan antar-komunitas sastra itu sendiri.
Usai Dandy menyampaikan materinya, giliran Nur Zen Hae mengupas karya-karya puisi M.Aan Mansyur dalam bukunya “Aku Hendak Pindah Rumah”. Zen Hae memuji Aan sebagai salah satu penyair muda Indonesia yang potensial. Ia lalu menyatakan bahwa sebuah sajak bisa disebut sebagai “semacam kredo”. Bagi Aan, menurut Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta ini,salah satu cara untuk tetap menjaga kehadiran makna agar ungkapan (metafora) menjadi kelewat agresif dan memerangkap, adalah dengan menggunakan “bahasa yang bersahaja”. Yakni bahasa yang susunan kata, frasa, klausa dan kalimatnya sederhana, tidak berlebih-lebihan. Disinilah keunggulan Aan dengan ingin bertahan dengan kebersahajaan bahasa dan tak terjebak dengan rimbunnya permainan metafora yang justru membuat pembacanya menjadi tersiksa ketimbang “bertamasya”.
Malam kian tua. Saat Mariana Aminuddin Pemred Jurnal Perempuan tampil mengulas cerpen-cerpen Lily Yulianti di “Makkunrai”, saya memutuskan untuk pulang kerumah yang jauh di Cikarang (kira-kira 45 km dari lokasi acara). Sekitar pukul 21.15 saya pamit pada Lily, Farid, Aan, Rane, Irdan serta kawan-kawan yang saya kenal disana. Taxi Blue Bird kemudian menghantar saya pulang ke rumah bersama sejuta kenangan indah, terutama bertemu kawan-kawan lama yang lama tak bersua.
Selamat dan Sukses untuk Gerakan Sastra dari Makassar!
Update (26/03):
Bila ada yang ingin menyaksikan potongan monolog Makkunrai yang dibawakan oleh Luna Vidya (tapi yang diadakan di Graha Pena, Makassar dan bukan di TIM-Jakarta) bisa lihat disini dan disini
Pulang dengan taxi Blue Bird. Hmmmmm kenapa bukan Taksi Putra kesiang?
ah
I wish I was there…
yah..setidak2nya saya sempat ikutan waktu acaranya di Makassar..nonton aksinya k’Luna memang sangat mengasyikkan…muantap tenan..!!!
btw, thanks u/ pujiannya..:)
kalo mau pesan juga, boleh…silakan..harga damai..hahaha..
saya selalu siap ditanggap..:)
ATG, saya sungguh menyesal tidak hadir di TIM. Saya yakin, acara itu bisa dinikmati jauh lebih “malunra” jika hadir langsung. Tapi, dengan membaca tulisan ATG, penyesalan saya sedikit terobati.
Btw, saya terhenti sesaat membaca nama LA RANE HAFIED. Betulkah dia La Rane yang jauh lebih “BATTALA” ketimbang ATG?
Kalau tidak salah, dulu dia kerja di Radio Singapore International (RSI) seksi Indonesia. Saya pernah bertemu dengan dia. Waktu itu saya masih di Batam, dan dapat kesempatan belajar bahasa Inggris selama 3 minggu di markas besar RSI.
Salam,
asm
mana resensita’ kanda atas dua buku bagus itu?
makasih sdh datang ATG…
–sama2 Lily, buku Makkunrai-nya hebat euy! Nanti saya buatkan resensinya. Selamat ya Li!
GENERE CAFE
CAFE PUSTAKA
Untuk Pertama kalinya, kami undang untuk berkunjung ke sebuah Cafe Pustaka. Berkunjunglah ke Cafe kami.
Kunjungi kami di :
http://generecafe.blogspot.com.
Sebuah Ruang Pustaka yang kami suguhkan bagi para pengunjung setia penikmat Blogger di Seluruh Indonesia.
Simpanlah undangan kami ini, apabila suatu saat nanti anda membutuhkan sebuah Cafe Pustaka sebagai bahan refrensi anda.
Hormat kami,
Genere Cafe