CINTA DAN JALAN PULANG TAK BERTEPI – SABERIN BAGIAN KETIGA
Ia berdiri tegak kaku diatas sebuah tebing curam. Tepat dibawah kakinya, gelombang laut terlihat ganas datang bergulung-gulung, menghempas lalu terburai dihadang karang yang tajam. Sinar mentari terik menghunjam ubun-ubun kepalanya. Panas dan membakar. Ia tidak peduli.
Made, lelaki itu, dengan dada telanjang dan otot berkilat keringat, menatap nanar kedepan. Kedua kakinya kuat mencengkeram ketanah tempat ia berpijak seperti akar pohon beringin yang kokoh tak tergoyahkan. Tangannya terkepal. Kedua ruas bahunya meregang kencang. Rahangnya mengeras. Tak ada rasa gentar dimatanya. Ia sudah siap dengan segala kemungkinan terburuk sekalipun.
Seberkas sinar menyilaukan mendadak datang dari kejauhan. Di ufuk cakrawala. Made memicingkan mata untuk lebih cermat melihat apa yang tengah terjadi saat itu. Cahaya pelangi muncul dari sana.
Indah. Bercahaya. Berpendar. Membiaskan warna-warni cerah. Membentuk lengkung ibarat “jembatan” yang mengarah kearahnya. Ke tempat ia berdiri.
Made terkesima. Ia tak percaya pada apa yang dilihatnya. Seperti mimpi. Disana, dari kejauhan, perlahan tapi pasti, sosok gadis yang sangat dikenalnya muncul. Dalam balutan gaun putih berkibar dan rambut panjangnya bergerai ditiup angin. Anggun berjalan meniti pelangi. Seperti peri menyapa pagi. Seperti bidadari melukis hari.
“Andini..,”bisik Made lirih. Penuh rindu. Juga pilu.
Gadis itu mengangguk dan tersenyum. Matanya berbinar ceria. Ia lalu mengulurkan tangan kearahnya.
Made menyambut uluran tangan itu dengan gemetar. Senyumnya pun mengembang. Hatinya berbunga menyambut kebahagiaan yang siap ia reguk sepuasnya. Tanpa henti.
Tapi hal yang tak terduga terjadi. Tebing tempat ia berdiri tiba-tiba runtuh. Pijakan kakinya goyah. Dan iapun jatuh dengan tangan menggapai-gapai tak rela. Gadis itu menjerit tertahan dan berusaha meraih tangan Made. Tapi sia-sia.
Made meluncur deras kebawah. Tak terbendung. Ia berteriak sekuatnya memanggil nama Andini. Gema suaranya memantul pada dinding-dinding tebing. Tubuhnya melayang. Menuju laut yang ganas menerjang dan karang yang tajam menghunjam.
Lalu semua menjadi gelap. Pekat. Hitam. Kelam.
Made terbangun dengan nafas tersengal. Perlahan ia menyeka bulir-bulir keringat didahinya. Sebuah mimpi buruk, umpatnya kesal.
Sementara itu, ratusan kilometer dari tempat Made, Andini terbangun dengan mimpi yang persis sama. Dalam remang kamar, Andini mendesah pelan. “Dia akan datang, dengan menawarkan kesempatan kedua”.
***
My Momma always said:
Life was like a box of chocholates
You never know
What you’re gonna get
-Tom Hanks, Forrest Gump,1994
Andini tersenyum tipis setelah membaca sekilas potongan kutipan ungkapan yang ditulis diatas sebuah “post-it” warna kuning disamping komputer Ira.
“Artinya dalem kan’?” ujar Ira seperti menebak arah fikiran kawan dekatnya itu.
Andini mengangguk.”Kamu koq sempat-sempatnya nulis dan pasang ungkapan konyol kayak gitu sih ? Di samping komputer lagi. Norak banget deh!” komentarnya lugas.
Ira terkekeh pelan.
“Lucu sekaligus mencerahkan, An. Membacanya tiap hari, membuatku untuk senantiasa merenung bahwa, dalam hidup ini apa yang kita jalani belum tentu sama dengan apa yang kita inginkan. Seperti sekotak cokelat,” sahut Ira seraya menepuk pundak Andini.
“Yaa..paling tidak,”lanjutnya, “aku mesti berusaha agar apa yang aku capai dalam menjalani kehidupan cukup sesuai dengan apa yang aku inginkan. Meski tidak persis-persis amat. Yang penting ada usaha ke arah sana. Dan itu, you know, membahagiakan”.
Andini manggut-manggut mafhum. Ira meraih kursi dan mempersilahkan Andini duduk disana. Ia sendiri memilih duduk dipinggir meja kerjanya tepat disamping kursi tersebut.
“Duduklah, say. Aku tahu kamu sedang ada masalah. Wajahmu terlihat begitu kusut, tidak seperti Andini yang aku kenal dulu. Coba katakan mudah-mudahan aku bisa bantu,” kata Ira lembut.
Andini mendesah panjang dan segera duduk di kursi yang disodorkan sahabat baiknya itu.“So, what’s your problem my dear ?” tanya Ira penasaran.
Ia menatap lekat mata Andini penuh selidik.
“Apa pendapatmu tentang kesempatan kedua?” Andini balik bertanya. Ira tergagap bingung.
“Maksudmu?”
“Begini aja deh. Aku buat lebih simpel. Andaikata, suatu ketika seseorang dari masa lalu, yang pernah menjalin kasih cinta denganmu namun keberadaannya sudah kamu lupakan saat ini, tiba-tiba datang padamu, memohon kesempatan kedua untuk bersamamu lagi, apa yang kamu lakukan ?” ujar Andini.
Ira tercenung sejenak lalu kembali menatap tajam Andini ibarat Detektif Partikelir yang mencoba membongkar sebuah misteri pembunuhan.
“Apakah hal itu terjadi padamu, An?”
“Heh!, jawab dulu doong, koq malah nanya?” protes Andini geli.
“Oke. Menurutku begini,” jawab Ira hati-hati. “Untuk memberi kesempatan kedua, yang pertama aku lakukan adalah harus tahu apa latar belakang, motivasi, serta seberapa tulus dan serius ia mengajukan penawaran itu. Kalau sekedar gombal, sorry aja yee..there’s no second chance for him,” lanjutnya bersemangat.
“Lantas bagaimana cara kamu menakar keseriusan dan ketulusannya?”, tanya Andini lagi seraya memperbaiki letak duduknya.
“Hmmm..itu perlu proses, An. Setelah sekian lama waktu berlalu, masa’ dengan serta merta aku mengabulkan keinginannya untuk bersama lagi, memberinya kesempatan kedua begitu cepat. Tidak segampang itu. Apalagi mungkin pada saat yang sama aku sudah memendam rapat-rapat kenangan bersamanya dulu dan memulai hubungan yang baru dengan seseorang. Bukankah ini malah bikin makin runyam?. Makanya, menurutku, untuk menakar ketulusan dan keseriusannya, dia perlu diuji”.
“Diuji?”
“Ya. Diuji. Semakin besar keinginannya untuk memohon kesempatan kedua, maka semakin besar pula tingkat ujian yang diberikan”.
“Tega amat sih kamu?. Koq bukan malah sebaliknya?”
“Mesti begitu jalannya, An. Menurutku, kita akan mengerti dalamnya sebuah ketulusan hati adalah ketika yang bersangkutan berhasil melalui tantangan paling berat yang kita berikan. Bentuk dan parameter pengujiannya ditentukan dari diri kita sendiri termasuk untuk menentukan apakah ia lulus dari ujian yang kita berikan” sahut Ira diplomatis.Andini menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
“Kamu udah seperti seorang psikolog handal yang memberi ceramah seorang psikopat kambuhan”, ucapnya spontan.
Ira tertawa lepas.
“An, harga sebuah ketulusan itu mahal. Sangat mahal malah. Persoalannya, kita terkadang terbuai dan akhirnya tertipu pada ketulusan yang semu. Ini berbahaya. Terlebih ketika kita mencoba membangun kembali puing-puing komitmen yang pernah hancur dimasa lalu. Menjadi sia-sialah adanya. Kesempatan kedua itu ibarat keping mata uang dengan dua sisi berbeda. Ia bisa menjelma menjadi bumerang yang mematikan atau sebaliknya menjadi cahaya kebahagiaan,” tutur Ira.
Andini menggigit bibir dan mencerna kalimat demi kalimat Ira dengan seksama..
“Tapi perlu kamu tahu An, aku senantiasa memegang prinsip, tidak akan memberikan kesempatan kedua pada lelaki yang telah menyia-nyiakanku, menelantarkanku dan membuatku menderita. Tak akan. Aku lebih baik membuka lembaran baru kehidupan dan berusaha untuk tidak mengulangi kebodohan dimasa lalu. Tak ada kesempatan kedua dalam kamusku,” ucap Ira tegar.
“Meski lelaki yang kamu maksud tadi sudah mengungkapkan penyesalan, menyampaikan maaf dan berjanji tidak akan mengulang kesalahan serupa dimasa datang?. Kamu koq jadi kejam begitu sih?”tanya Andini heran.
Ira terkekeh. Ia meraih tangan sahabatnya dan menggenggamnya erat-erat. Mengalirkan keyakinan. Juga kekuatan.
“An, seperti ungkapan Forrest Gump di “post-it” ku, kehidupan yang kita jalani terkadang tidak persis sama seperti yang kita inginkan. Namun itu tidak berarti kita menyerah pada keadaan. Maksudku begini, ketika ada kesempatan untuk mengelak dari ketidakberuntungan dan nasib buruk di masa lalu, why not?. Toh dunia telah menawarkan begitu banyak pilihan. Juga kemungkinan. Dan kita, pada saatnya harus siap menghadapi resiko atas pilihan yang kita buat dan kemungkinan yang menyertainya,” ujar Ira setengah berbisik.
Andini mendengarkan penuh minat.
“Jadi soal kesempatan kedua itu, my dear friend Andini,” tambah Ira seraya mempererat genggamannya,”kembali ke setiap pribadi masing-masing orang untuk menerimanya atau tidak. Itupun sebuah pilihan yang berisiko, sama ketika aku menentukan untuk tidak akan memberikan kesempatan kedua bagi lelaki yang telah membuat hatiku luka berdarah-darah. Jika kamu menentukan pilihan yang berbeda denganku. That’s fine. Itu adalah hak setiap individu. Siapa tahu justru itu jalan terbaik dan membuat hidupmu jauh lebih bermakna. Namun aku hanya mengingatkan, be careful, watch your step!,” sambung Ira menyambut kontak mata takjub dari Andini.
“Tak kusangka kamu punya perspektif secerdas ini, Ra,” goda Andini seraya mencubit gemas pipi tembem kawan dekatnya itu.
“Ngawuuurr..aku memang udah cerdas dari sononya koq!” balas Ira sambil meleletkan lidah.Mereka tertawa berderai.
“Nah, An. Tell me. Apakah perumpamaan yang kamu ceritakan tadi, sama seperti yang terjadi padamu sekarang ?” tanya Ira setelah tawa mereka mereda.
Andini menghela nafas panjang. Terasa ada beban berat menghimpit dadanya. Ira menatap prihatin sahabat dekatnya itu terlebih saat melihat pelupuk mata Andini mulai basah oleh airmata.
“It’s OK, say. Kalau berat kamu ungkapkan padaku, no problem. Aku akan selalu memastikan ada disampingmu, untuk mendengarmu dan membagi bebanmu padaku. Any time,” hibur Ira sambil menyeka air mata di pipi Andini dengan punggung tangannya.
“Thanks, Ra,” ucap Andini lirih. “Aku balik dulu ke meja kerjaku ya,” lanjutnya sambil beranjak dari kursi.Ira mengangguk dan mengambil selembar tisu dari dekat mejanya lalu menyerahkannya ke Andini.
“An,” panggil Ria pelan.
“Ya?” tanya Andini yang baru saja akan meninggalkan meja kubikal Ira.
“Be Strong, my friend!” ujar Ira sambil mengepalkan tinjunya ke udara dan memamerkan senyum manisnya.
Andini balas tersenyum.
“Pasti!” sahutnya mantap.
***
Semburat merah jingga matahari yang akan tenggelam tampak cemerlang dibatas cakrawala. Beberapa perahu nelayan dengan layar warna-warni hilir mudik menambah semarak suasana. Made menatapnya takjub. Tak bosan-bosannya ia mengagumi keindahan senja di Pantai Losari.
“Kamu tetap jadi pergi ke Jakarta?” tanya Putry sahabat dekatnya di kantor.Made menghela nafas panjang lalu mengangguk pelan.
“Jadi. Aku udah ajukan permohonan resign-ku ke Pak Rusle tiga hari lalu, katanya sih, awal minggu depan diberi kabar,” ucap Made sambil tetap memandang ke batas cakrawala dimana sebentar lagi matahari akan rebah diperaduannya.
Putry menggigit bibir. Ia memandang wajah lelaki teman sekantornya, yang diam-diam dikaguminya itu dengan tatap nelangsa. Andai saja dia tahu perasaanku saat ini padanya, ia membatin. Getir.
“Boss..pisang eppe’-nya tambah seporsi lagi ya?” suara Icko sahabat mereka yang bertubuh gempal tiba-tiba membuyarkan lamunan mereka berdua.
Made tertawa.
“Udah tambah mi saja!. Tapi ini yang terakhir ya, kalau tambah lagi, awas memang ko. Bayar sendiri!,” seru Made lantang sambil memasang tampang galak. Icko tertawa sambil mengacungkan jempol ke udara.
Made lalu kembali memandang senja yang mulai rebah di pantai Losari. Pada garis batas cakrawala, ia seperti melihat wajah Andini tersenyum.
“Tinggal dengan siapa nanti kamu di Jakarta?” tanya Putry.
“Untuk sementara aku akan tinggal dirumah Om Nuntung, adik ibuku di Sunter. Sambil cari kerjaan yang cocok dan tentu mencari Andini,” sahut Made mantap.
Putry mengangguk-angguk pelan. Lelaki ini betul-betul memiliki kemauan yang keras dan tak bisa dihalangi. Cinta telah betul-betul membutakan matanya dari apapun, kembali hatinya berbisik.
Made lalu menepuk pundaknya.
“Tenang saja Putry. I’ll be always your friend. Teknologi komunikasi dan internet sudah mampu mendekatkan jarak kok. Sejauh apapun itu. Kalau kangen ngobrol sama aku, kita bisa chatting lewat webcam atau saling berkirim email. Gampang. Kamu masih simpan alamat email pribadi dan YM-ku kan’?” kata Made pelan. Ia menatap manik-manik mata sahabatnya itu dengan penuh kelembutan. Putry menunduk rikuh.
“Aku selalu membutuhkanmu, Put. Teman terbaikku untuk curhat tentang apa saja,” lanjut Made lagi.
“Apalagi tentang Andini..” ujar Putry spontan. Ia tiba-tiba menyadari ketololannya mengucapkan itu.
Made terkekeh.
“Iya, apalagi tentang dia. Nasehat terbaikmu untuk menyongsongnya langsung ke Jakarta sungguh tepat. Dan memang inilah saat paling pas melakukannya. Thanks my friend,” ucap Made tulus.
Putry menghela nafas panjang. Dadanya terasa disesaki keharuan.Nasehat terbaiknya telah menjadi bumerang buatnya. Untuk hatinya.
“Yuk kita pulang, sudah menjelang maghrib. Kita mampir dulu di mesjid untuk sholat ya,” ajak Made lembut.
Putry mengangguk.
“Boss, pisang eppe’-nya porsi ketiga sudah habis, sekarang tinggal ente bayar ya sama penjualnya,” kata Icko datang menghampiri mereka berdua. Made tertawa lalu menuju penjual pisang eppe’, membayar jajanan mereka. Putry menyusul Icko yang sedang menghidupkan mesin mobil Kijang Innova abu-abu miliknya.
Matahari telah rebah sempurna saat mobil mereka melaju mulus ditemani lagu melankolis dari Samson “Kisah Tak Sempurna”
(bersambung)
aih, sa masih ndak ada..
(rusli is my brother’s name actually. but not me)
–Tenang aja Daeng Rusle (apa sih yg gak bisa buat pengunjung tetap blog ini? hehehe), sudah di-edit plus bonus lagunya Samson dari You Tube