CINTA DAN JALAN PULANG TAK BERTEPI : SABERIN – BAGIAN PERTAMA

creationblearthsky.jpg

Lelaki itu mengisap rokoknya dalam-dalam lalu menghembuskannya kuat-kuat melalui kedua lubang hidung. Rimbun asapnya mengepul-ngepul disekitar ruangan. Aroma nikotin yang pekat begitu terasa diudara. Dan lelaki itu seperti berusaha menikmati kepulan-kepulan asap rokok yang berseliweran liar didepannya, tanpa peduli sedikitpun tanda “dilarang merokok” yang terpampang jelas di sudut ruang.

Lelaki itu lalu mematikan rokoknya yang belum benar-benar habis di asbak, lalu berjalan kearah jendela.

Diluar, hujan deras turun mengguyur bumi. Irisan-irisan air jatuh menerpa kaca jendela yang lalu membuatnya buram. Sesekali kilat terlihat menyambar di awan yang demikian pekat disaput mendung. Lelaki itu mendesah. Telunjuknya lalu ia tempelkan di atas permukaan kaca jendela yang lembab. Dingin dan basah. Begitu banyak kenangan yang pernah ia lalui bersama hujan.

Seperti dulu.

“Hai kamu! Berhenti!”, gertak seorang preman bengis berbadan tinggi besar menghadangnya ketika sedang berlari menembus hujan sepulang sekolah.

Ia menghentikan langkah dan memandang sosok sang preman itu dari atas kebawah. Bulu kuduknya seketika merinding. Ia bergidik ngeri. Sosok itu begitu menakutkannya. Dengan misai kasar terhampar di dagu dan pipi, tubuh kekar dan lengan bertatto naga mengamuk, sang preman tampil bagai monster dihadapannya. Dalam hati ia merutuk kesal atas keberaniannya untuk pulang tanpa harus menunggu hujan reda lebih dulu lantaran tak ingin ketinggalan menonton film kartun kesayangannya.

“Uang. Serahkan uangmu!,” bentak preman itu sambil menengadahkan tangan kearahnya. Ia mundur selangkah hingga tubuhnya merapat ke tembok kusam dibelakangnya. Jantungnya berdetak cepat.

“Ss..sa..saya tidak punya uang, bang!”, sahutnya gugup. Keringat mulai mengucur didahinya.

“Jangan bohong kamu!,” seru preman itu seraya menghunus sebilah belati dan mengancamnya.

Ia menggigit bibir lalu memejamkan mata. Pasrah. Dan pada saat itulah keajaiban terjadi. Tubuhnya mendadak terasa panas dan bergetar hebat.

Sang preman terkejut dan mundur hingga beberapa langkah. Belatinya terjatuh. Yang dilihatnya sekarang bukan lagi sosok anak SMP bercelana pendek biru dan berwajah polos. Namun sesosok naga besar yang marah dengan kobaran api disekitarnya. Menyala-nyala dan siap menyambar serta membakar dirinya. Sang preman menjerit ketakutan lalu berlari sekencang mungkin. Meninggalkannya.

Dan pada peristiwa hujan yang lain,

“Berhati-hatilah pada bakat yang kamu miliki anak muda,” ujar seorang pria setengah baya menyapanya saat sedang menunggu hujan reda disebuah halte bis kota. Mereka hanya berdua saja disana.

“Bakat apa yang bapak maksud ?” tanyanya dengan suara sedikit nyaring untuk mengatasi riuhnya deras hujan yang menerpa atap halte.

Pria itu tersenyum. “Sixth Sense. Matamu tak bisa berbohong,nak”.

Ia lalu tertunduk rikuh kemudian melempar pandangan kedepan. Pada hujan yang deras mengucur. Pada jalanan yang basah. Pada lalu lalang kendaraan yang merayap pelan.

“Kamu patut bersyukur dianugerahi kemampuan langka seperti itu. Jangan sia-siakan. Kamupun mesti siap bertanggung jawab atas segala resiko jika menggunakan talenta yang kamu punya pada hal-hal yang tidak seyogyanya,” sambung pria itu—yang anehnya—terdengar begitu lekat dan jelas digendang telinganya. Ia menoleh dan nampak olehnya pria tersebut memandang tajam kearahnya sambil menunjuk keningnya sendiri. Akhirnya ia sadar.

Pria itu bercakap melalui telepati kepadanya!.

“Bicaralah. Dengan hati dan fikiranmu. Derai hujan sangat menganggu pembicaraan “normal” kita sekarang. Yakinlah kamu bisa. Aku bisa mendengarmu,” suara pria itu bergema kembali.

“Aku..tak bisa…,” gumamnya dalam hati. Perasaan galau menyelimuti batinnya.

“Kamu bisa. Aku mendengarmu,” sahut pria itu seperti berbisik ditelinganya.

Ia tersentak kaget karena tak menyangka iapun memiliki kemampuan sama seperti pria tersebut.

Sebuah bis nampak mendekat ke halte tempat mereka menunggu.

“Bis saya sudah datang. Harap ingat dan camkan nasihat saya hari ini. Tak banyak orang seberuntung kamu,nak. Sampai jumpa kembali dilain waktu,”suara pria terdengar pelan namun mantap. Tak lama kemudian sosok pria itu sudah berlari menembus rinai hujan dan menghilang ke badan bis yang melaju pelan.

Dan iapun terpukau dan terpaku dalam diam.

Lelaki itu menatap hampa keluar jendela. Hujan masih juga belum usai dan kaca jendela itu tetap saja buram. Rentetan kejadian yang dialaminya itu membuatnya sadar untuk bahwa ia memiliki”sesuatu” dalam dirinya yang jarang dimiliki manusia normal. Dan ia sangat membenci itu.

Terutama ketika ia tidak sempat menghalangi sahabat kentalnya, Anto, yang bersikeras mengikuti lomba balapan motor yang kemudian merenggut nyawanya. Ia sempat mendapat “gambaran” kelabu dalam fikirannya tentang kematian Anto hanya sehari sebelum ia tewas menabrak dinding pembatas di arena lomba.

Indera keenamnya berupa kemampuan pre-kognisi kembali teruji saat ia memilih membatalkan kepergiannya berdarmawisata ke Taman Safari bersama teman-teman sekolahnya di SMA hanya karena ia mendapat firasat yang sangat jelas sehari sebelum keberangkatan, bis yang ditumpangi akan terbalik disebuah tikungan terjal. Ia sudah berusaha mencegah namun tak seorangpun mempercayainya sedikitpun. Untung saja peristiwa kecelakaan itu tidak merenggut korban jiwa. Namun setelah kejadian tersebut, hidupnya tiba-tiba menjadi berbeda. Kawan-kawannya “mengambil jarak” darinya karena dianggap sebagai sosok yang “aneh” dan iapun memilih menutup diri.

Ia benci memiliki kemampuan itu. Ia sudah mengorbankan banyak hal terutama pergaulan dengan rekan-rekannya di sekolah yang kian menjauhinya. Termasuk rekan wanita yang seperti alergi jika berada dekat dengannya. Lelaki itu kesepian.

Juga merana.

Seiring berjalannya waktu, ia menyadari bahwa justru dengan kemampuan yang dimiliki terlebih jika diasah secara intens, ia bisa mendapatkan banyak hal. Khususnya demi menyokong kepentingannya sendiri. Bukan untuk orang lain. Bukan untuk siapa-siapa.

Lelaki itu beranjak menjauh dari jendela dan duduk kembali di depan meja kerjanya. Ia lalu menarik laci bagian atas dan mengambil sesuatu dari dalamnya.

Sumber Gambar

–bersambung– 

Related Posts
Ia berdiri tegak kaku diatas sebuah tebing curam. Tepat dibawah kakinya, gelombang laut terlihat ganas datang bergulung-gulung, menghempas lalu terburai dihadang karang yang tajam. Sinar mentari terik menghunjam ubun-ubun kepalanya. ...
Posting Terkait
Kawan-kawan yang baik para penggemar Saberin (Kisah Bersambung Interaktif) berjudul "Cinta dan Jalan Pulang Tak Bertepi", dengan segala kerendahan hati dan rasa penyesalan yang mendalam, setelah melihat perkembangan beberapa waktu ...
Posting Terkait
COMING SOON : SABERIN
  Minggu ini saya akan mencoba sesuatu yang baru dalam kiprah per-blogging-an saya. Dengan mengumpulkan segenap keberanian yang ada dan kemampuan menulis yang ala kadarnya, saya memulai sebuah eksperimen penulisan kisah ...
Posting Terkait
CINTA DAN JALAN PULANG TAK BERTEPI – SABERIN BAGIAN KEDUA
Sebuah Diary tua bersampul biru. Lelaki itu memandang lekat sampul catatan hariannya yang telah usang dengan lidah kelu. Setiap kali, saat membuka lembar demi lembar Diary tersebut, sontak seluruh tubuhnya bergetar hebat. ...
Posting Terkait
CINTA DAN JALAN PULANG TAK BERTEPI – SABERIN BAGIAN KEEMPAT
Putry memasuki salon langganannya yang terletak disebuah mal dengan wajah keruh. Gadis muda cantik bertubuh langsing, berkulit putih dengan rambut sebahu itu lalu memandang sekeliling salon. Terlihat 3 orang kapster sedang ...
Posting Terkait
CINTA DAN JALAN PULANG TAK BERTEPI – SABERIN
SABERIN, SAMPAI DISINI SAJA..
COMING SOON : SABERIN
CINTA DAN JALAN PULANG TAK BERTEPI – SABERIN
CINTA DAN JALAN PULANG TAK BERTEPI – SABERIN

2 comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.