CINTA DAN JALAN PULANG TAK BERTEPI – SABERIN BAGIAN KEEMPAT
Putry memasuki salon langganannya yang terletak disebuah mal dengan wajah keruh. Gadis muda cantik bertubuh langsing, berkulit putih dengan rambut sebahu itu lalu memandang sekeliling salon. Terlihat 3 orang kapster sedang sibuk melayani pelanggan dan beberapa diantara mereka sedang duduk-duduk mengobrol disudut ruangan. Deru suara Hair Dryer terdengar berisik ditingkah tawa – canda kapster yang sedang istirahat atau menunggu pelanggan berikutnya.
Mata kejora Putry spontan berbinar, saat melihat kapster lelaki kemayu yang begitu dikenalnya. Ia berjalan beringsut menghampiri sosok yang sedang tertawa renyah itu menanggapi canda rekan-rekannya.
“Pssst…Dinda..sini,”panggilnya pelan.Sosok kemayu yang dipanggil Dinda itu menoleh dan dalam sepersekian detik,senyuman khasnya mengembang.
“Ai-ai-ai-ai...apa kabar nih my darling ?. Tumben, datang lagi. Kan’ baru kemarin creambath disini say,” sahut Dinda heboh sembari mendaratkan ciuman ke pipi kiri dan kanan Putry.
“Ssst..jangan keras-keras. Kamu ada waktu nggak ?. Aku mau curhat kodong.”
“Kapan ? Sekarang ?”
Putry mengangguk.
Dinda melirik jam tangannya kemudian dengan setengah berteriak ia meminta izin ke sang atasan yang sedang berdiri didekat meja kasir.
“Wooii…Mbak Anie. Mau ka’ keluar sebentar na’?. Biasa ji, ada pelanggan setia salon kita yang mau nraktir makan dirikyu,” ujar Dinda sambil melirik genit ke Putry yang kemudian tersenyum rikuh.
“Iya nih, mbak Anie mau pinjam Dinda sebentaaaar ji saja. Boleh kan’ ?” pinta Putry dengan raut wajah se-memelas mungkin.
“OK. Jangan lama-lama lho ya. Sekalian tolong dong bungkuskan ka’ satu Juice Alpukat. Awas kalo nggak !” balas Mbak Anie seraya mengepalkan tinjunya kearah Dinda.
“Embbheeer….” sahut Dinda memonyongkan bibirnya seraya menarik lengan Putry keluar salon. Mereka tertawa berderai.
Limabelas menit kemudian, keduanya telah berbincang serius sambil menyantap hidangan bakso disebuah kantin yang terletak tidak jauh dari salon.
“So, mau curhat masalah apa nih Put ?” tanya Dinda sembari menyeruput es jeruknya. Pandangannya tak lepas dari lalu lalang pengunjung mal yang begitu ramai siang itu.
Putry tak segera menjawab. Matanya menerawang hampa kedepan. Dinda menunggu dengan sabar.
“Dia jadi pergi, Din,” kata Putry pelan lalu menghela nafas panjang kemudian menghembuskannya kuat-kuat.
Dinda mendesah.
“Tak ada jalan untuk mencegahnya ke Jakarta, Put?”, tanya Dinda hati-hati.
Putry menggeleng. Ia lalu menunduk, seperti menyesali sesuatu.
Ia meraih tasnya, mengambil secarik kertas lalu mengangsurkannya ke arah Dinda. Sebuah salinan e-mail.
“Coba kamu baca ini dulu deh. Ini email yang dia kirim barusan. Langsung dari rumahnya. Besok pagi dia akan pamitan dikantor dan berangkat ke Jakarta sore harinya,” ujar Putry. Raut mukanya terlihat tegang.
Dinda membaca bait demi bait kalimat salinan email tersebut dengan teliti.
From : madegammara@gmail.com
Subject : Menyesap Senyap
Selalu, aku rasa,
kita akan bercakap dalam senyap
Dengan bahasa langit yang hanya kita yang tahu
serta menyemai setiap harap yang kerap datang mengendap
lalu meresapinya ke hati dengan getirSelalu, aku rasa,
kamu tersenyum disana, ketika akupun tersenyum disini
dan kita, dengan bahasa langit yang kita punya itu,
secara bersahaja, menyapa larik-larik kenangan
dan meniti setiap selasar waktu
bersama desir rindu menoreh kalbuSelalu, aku rasa,
kita tak dapat menafikan batas yang membentang
dimana jarak membingkainya lalu menjadikannya nyata
serta membuat kita sadar
bahwa pada akhirnya,
dalam pilu kita berkata:
Biarlah, kita menyesap setiap serpihan senyap
dan menikmatinya, tak henti, hingga lelap
tanpa tatap, tanpa ratapAlways,
Your best friend, forever,
Made.
Dinda terdiam.
Ada haru yang tiba-tiba menyentak setelah membaca bait demi bait puisi di email tersebut. Ia melipat lembaran kertas tadi perlahan dan mengembalikannya pada Putry.
“So ?, bagaimana tanggapanmu ?” tanya Putry tak sabar.
“Dari sisi mana dulu nih ?. From my female side as Dinda atau.. from my macho side as Udin ?” gurau Dinda dengan memberi efek suara berat pada kata terakhir. Ia lalu terkekeh sendirian. Putry melirik sebal.
“Dua-duanya. Aku nggak bercanda nih,” tukas Putry ketus.
Dinda mengangkat bahu lalu dengan gerakan kaku menyulut sebatang rokok. Ia menghirup uap rokok tersebut dalam-dalam. Memenuhi rongga paru-parunya kemudian menghembuskannya perlahan. Putry mengibas-ngibaskan tangan menghalau terjangan asap rokok Dinda.
“Well, puisi yang indah dan menggetarkan. Tapi aku koq menangkap ada kesan getir didalamnya,” kata Dinda akhirnya.
Putry menunduk, menekuri lantai kantin yang kusam. Ia lalu menghela nafas panjang seperti melepas beban berat yang menghimpit dada.
“Dia lelaki tempat cinta dan hatiku ditambatkan, Din. Pertama dan untuk selamanya. Tak kuat rasanya merelakan dia pergi, justru hanya untuk mencari perempuan idaman hatinya dan itu bukan aku,” gumam Putry seperti berkata pada diri sendiri. Ia lalu melontarkan pandangan keluar, melalui jendela kantin, pada hiruk pikuk pengunjung mal yang kian ramai. Dadanya terasa disesaki keharuan mendalam.
“Tapi kan’ kamu masih bisa ji berhubungan dengan dia, walau jauh. Pake email, handphone, atau pake bahasa..apa tadi istilahnya..oya..bahasa langit, masih bisa toh ?” ujar Dinda.
Putry tersenyum tipis.
“Beda Din, sangat beda nuansanya,” tukas Putry pilu.
Dinda mendesah pelan ia lalu meraih tangan Putry. Menggenggamnya erat. Mengalirkan simpati.
“Apalagi, dia tidak mencintaiku, Din..disitu perbedaan besarnya. Dia hanya menganggapku teman biasa. Tidak lebih,” kata Putry dengan tenggorakan tercekat. Matanya mulai disaput kabut dan perlahan, air matanya menetes satu-satu.
Dinda menggigit bibir. Ia bingung bagaimana mesti menenangkan kegundahan sahabat dekatnya ini.
“Tapi itu tidak berarti kamu tidak melakukan usaha apa-apa” kata Dinda lirih
“Maksudmu apa, Din?”
Dinda mendehem. Ia seperti berusaha menata kata-kata terbaiknya.
“Aku tahu, kamu tak memiliki otoritas apapun untuk menahannya pergi. Tapi kamu masih punya banyak kemungkinan pilihan. Misalnya kamu dapat menyusulnya kesana dengan alasan-alasan yang logis tentu saja atau…pasrah begitu saja merelakannya serta berusaha mencari penggantinya. Semua keputusan ada ditanganmu, Put. Tapi kalau kamu mau dengar apa advisku untukmu kali ini, Go Get him !,” kata Dinda enteng.
Putry tercenung lalu perlahan senyumnya merekah.
Misterius.
Dinda terperangah, ia tiba-tiba seperti tersadar telah melakukan kekeliruan. Fatal. Sangat fatal dan berbahaya.
“Thanks Din, nasehat yang sempurna!” ujar Putry spontan. Wajahnya sumringah, sangat kontras dengan raut wajah Dinda yang kontan memucat.
“Jadi…ka…kamu mau ngapain nanti,” tanya Dinda panik.
Putry lagi-lagi tersenyum manis.
“Rahasia dong.., balik yuk”, katanya seraya beranjak dari kursi dan membawa Juice Alpukat pesanan Mbak Anie.
Dinda menghela nafas dan mengikuti langkah ringan Putry keluar kantin.
***
Andini sedang merapikan sejumlah file diatas meja kerjanya ketika layar monitornya berkelap-kelip. Sebuah pesan YahooMessenger dari seseorang.
dark-knight : BUZZ!
Andini tersenyum tipis saat melihat tulisan itu.
dark-knight : Hai Tuan Putri, lagi ngapain?
tuan-putri-malam : Lagi ngeberesin file di meja sekalian mau siap-siap pulang, kenapa emangnya, Satria Baja Hitam?
dark-knight : Nggaaaak, biasalah..cuma mau godain tuan putri aja. Sibuk?
tuan-putri-malam : Aku lagi suntuk, gak mempan kau rayu 😀
dark-knight : Hahaha…jangan marah-marah gitu dong
tuan-putri-malam : Kita toh tak saling kenal siapa gerangan dibalik ID-YM kita masing-masing. Aku nggak tahu pula siapa kamu sesungguhnya, jadi untuk apa mesti marah-marah?
dark-knight : Lho..lho..kok malah jadi sensi gini sih kamu? Walau gak saling kenal satu sama lain, toh kita tetap bisa saling terbuka berbicara lewat YM. You tell your secret and I tell also my secret. Jadi please my dear tuan putri, jangan ngamuk gitu dong!
tuan-putri-malam : 😀 Oke..oke..maafin aku, soalnya otakku lagi banyak masalah. Sekarang aku mau pulang dulu yaa..
dark-knight : No problem, tuan putri. Nanti malam kita chat lagi ya?
tuan-putri-malam : Hmm..kapan-kapan aja ya 😀
dark-knight : Lho…kok?
tuan-putri-malam : –sign out–
Andini tersenyum kembali. Aku harus segera pulang, mandi air hangat dan tidur lelap menenangkan diri.
Tak ada waktu untuk chatting, apalagi meladeni si gombal Satria Baja Hitam itu, batinnya. Ia lalu melangkah menuju pintu keluar kantornya.
(Bersambung)
Catatan:
Saya mengundang para pembaca untuk mengirim kontribusi ide kelanjutan episode berikutnya pada kolom komentar. Sesuai yang sudah saya janjikan, akan saya sediakan satu buah paket hadiah buku senilai Rp 50 ribu rupiah, bagi yang idenya saya akomodir dalam episode selanjutnya. Nama dan alamat blog sang kontributor ide akan saya tayangkan pula di episode selanjutnya. Oya, ikuti rangkaian kisah Saberin di link ini.
Pingback: Catatan ATG » SUDAH DITAYANGKAN, SABERIN PART IV