Sebuah kisah nyata di ujung jalan raya Semper, Tanjung Priok, sebelas tahun silam (tanggal tepatnya lupa) :
Pemuda itu memandangku dengan tatapan curiga.Ia kemudian melihat sepeda bututnya dan melihat kembali lagi kepadaku. Seperti “menakar” sesuatu. Spontan, kepalanya menggeleng pelan.Aku balas menatap pemuda bertubuh mungil itu dengan penuh keyakinan.“Saya tidak bisa. Pokoknya tidak bisa. Silakan cari tukang ojek yang lain saja”, katanya pasrah. Ia lalu meraih gagang sepedanya dan bermaksud membawanya pergi dari hadapanku.
“Tunggu dulu,” aku memegangi lengannya. Putus asa.
Pemuda itu menoleh. Ia memandangiku sekali lagi.
“Saya bayar dua kalinya deh. Disini tak ada tukang ojek lainnya selain kamu. Bagaimana?. Saya bayar sekarang saja juga bisa kok”, kataku sembari mengangsurkan sejumlah uang kepadanya.
Pemuda itu merenung sejenak. Ia memandangiku kembali. Dari atas kebawah, kemudian menatap sedih kearah sepeda bututnya.
“Saya mau. Tapi saya tidak mampu,” ujar pemuda itu akhirnya.“Kenapa ?”“Badan kamu besar. Gemuk lagi. Saya tidak mampu mengayuh sepeda membawa badan kamu sebesar itu,” tukas pemuda itu sembari mencoba menggiring sepedanya menjauhiku.Aku menghela nafas panjang.
“Oke, begini saja”, kataku dengan nada tegas,”kamu saya bonceng dan saya berada didepan mengayuh sepedamu. Bayaranmu tetap dua kali lipat, sesuai kesepakatan sebelumnya. Bagaimana ?.
Seketika sorot mata pemuda itu berbinar. Ia mengangguk setuju. Sepedanyapun beralih kepadaku.
Dan demikianlah, Akupun menjelma menjadi seorang tukang ojek sepeda paling ganteng dan paling wangi di kawasan itu.
Kayuhan sepedaku terasa ringan, menuju tempat kost putri, tempat dimana sang pujaan hatiku berada. Aku tak peduli tatapan heran (atau kasihan?) sejumlah orang yang kami lewati maupun berpapasan. Yang paling penting, aku mesti tiba lebih cepat sampai ke tujuanku.
Senja merona cerah diujung cakrawala. seperti rona merah jambu dipipi kekasihku yang menyambut sang arjuna idamannya di depan gerbang rumah kost. Aku tak tahu apa yang sedang berkecamuk dihatinya ketika menyaksikan diriku dengan keringat mengucur dikening dan baju berbasuh peluh. Yang kutahu pasti, aku telah menunjukkan sungguh besar cintaku padanya dan tidak sebatas kayuhan ojek sepeda belaka.
Dan kini, 11 tahun pasca peristiwa diatas, kekasihku, yang kini jadi istriku dan ibu bagi kedua anak-anakku (Rizky dan Alya) seringkali tertawa sendiri mengenang peristiwa bersejarah itu.
Pokoknya Demi Cinta, Jadi Tukang Ojek Sepeda pun tak apa.
Asal tidak jadi gila…hehehe



Foreign Proverb say: “Love can move a mountain”… Apalagi kalo cuma sepeda.. hehehehe…
–Betul sekali bung Zul. Kalo cuma sepeda sih..keciiiilll…kalo udah cinta, gunung sekalipun bisa dipindahin…hehehe
Hehehehe…. lucunya…. 😀
menggelikan yak… pas kejadian rasanya serius pastinya 😀
Berarti peristiwa itu adalah magical moment of your love life, sir…
Takkan terlupa sampai kapanpun..semoga cinta kekal selamanya