THE ART (AND THE POWER) OF DOING NOTHING
Ada begitu banyak cara menikmati hidup.
Yang murah, menenangkan,menyenangkan dan melegakan.
Salah satunya adalah leyah-leyeh atau bersantai tanpa melakukan apa-apa. Just Doing Nothing.
Saya tidak mengajarkan anda untuk bermalas-malasan dan menelantarkan pekerjaan. Tapi layaknya barisan huruf dan kata, yang akan kehilangan makna dan keindahan tanpa spasi diantaranya, maka leyah-leyeh adalah sebentuk tamasya batin. Sebuah tetirah untuk melakukan jeda sejenak dari segala rutinitas kehidupan yang menyesakkan. Membuat jiwa kita sekedar beristirahat dari kepenatan menanggung beban hidup yang kian berat dari waktu ke waktu.
Modalnya cukup dengan hanya sedikit waktu luang, tempat yang tenang dan hati yang lapang. Saya kerap melakukan ini bila baru saja usai menunaikan sholat malam. Ketika jiwa baru saja pulang “berkunjung” ke haribaan sang Khalik, ketika itu waktu yang tepat untuk berleyah-leyeh. Tidak perlu lama-lama, 15-30 menit sudah cukup untuk membuat batin menjadi segar kembali.
Di atas hamparan sajadah masih mengenakan kopiah, sarung dan baju koko, saya tidur bertelekan kedua lengan dikepala sembari memandang langit-langit kamar, menyesapi kesunyian, mendaki puncak-puncak kenangan.
Dan ingatan saya pun berkelana kemana-mana.
Tentang nostalgia masa lalu yang indah dan membelai batin. Seperti Cinta Pertama yang saya alami saat masih berusia belia dulu. Sensasinya kembali terasa ketika berleyah-leyeh. Bagaimana ketika saya dengan malu-malu mencuri pandang kearah perempuan yang saya taksir itu yang duduk di bangku depan, mengagumi setiap helai rambutnya yang berpotongan ala Lady Di serta matanya yang berpendar lembut. Saya bahkan tak pernah berani bertatapan langsung dengannya atau berbicara lebih lama, karena badan saya mendadak terasa jadi kaku tak bisa bergerak. Setiap malam, tak pernah tak terlewatkan membayangkan sosok sang idaman hati menjelang tidur bahkan kerap berkunjung menghiasi mimpi-mimpi, menjelma bidadari berpakaian warna warni dan bersayap cemerlang.
Betapa dashyat “gempuran” hati dari cinta pertama ini.
Suatu hari perempuan idaman itu datang menghampiri saya didekat kelas kami. Kaki saya mendadak gemetar dan lidah terasa kelu. “Tolong, ajari saya matematika ya?”, katanya pelan sedikit tersipu Saya tak bisa berkata apa-apa. Hanya terpana (lebih tepatnya menganga).Tak percaya rasanya mendapat anugerah sebesar ini. Saya seumpama tokoh Ikal di film Laskar Pelangi ketika pertama kali bertemu dengan A-Ling ketika membeli kapur tulis di Toko Sinar Harapan. Ada kupu-kupu beterbangan dan bunga-bunga indah bertebaran dihadapan saya dan dia. Indah sekali.
Sampai kemudian ia menyentakkan lamunan saya dengan tawa pelan, yang, amboi..sungguh mempesona. Bagai gempa bumi 9 scala richter berpotensi tsunami yang menggetarkan relung-relung hati paling dalam.
Dan begitulah dengan segala keikhlasan dan kerelaan, saya pun menemani dan mengajari perempuan berambut Lady Di itu belajar matematika di teras rumahnya yang megah setidaknya seminggu dua kali. Dengan gagah berani—bagai ksatria perkasa berbaju zirah menunggang kuda sembrani– saya mengendarai sepeda Jengki berwarna Oranye saya kerumahnya yang berjarak kurang lebih 1,5 km dari rumah saya itu. Sepeda butut saya itu selalu dipacu kencang menuju kesana, tak sabar ingin segera bertemu.Kerapkali rantai sepeda lepas dipinggir jalan dan merepotkan saya untuk memasangnya kembali.
Saya sudah berdandan rapi memakai minyak rambut tancho hijau yang memiliki daya lengket luar biasa dan memberikan efek ala rambut Al Pacino dalam film “Godfather” itu serta menyemprotkan parfum murahan ayah saya dari rumah. Sebuah upaya sistematis romantis untuk (sedikit) meningkatkan derajat ketampanan.
Meski akhirnya penampilan itu jadi sia-sia belaka ketika semuanya luntur saat tiba disana oleh yang keringat mengucur deras karena letih mengayuh sepeda. Semua “penderitaan” itu terbayar tunai hanya dengan melihat senyum manisnya yang menyambut saya, bagai Naysila Mirdad menyongsong Dude Herlino-nya dalam sebuah episode sinetron masa kini 😀
Sebagai “bintang kelas” tak ada kesulitan buat saya mengajarkan soal-soal matematika kepada sang wanita pujaan hati. Meski memang konsentrasi saya kadang buyar karena saya kerap lebih menikmati pesona wajahnya ketimbang serius mengajari matematika.
Dan ketika ia harus pergi mengikuti penugasan sang ayah ke kota lain, betapa hati saya jadi layu dan terluka karenanya. Saya tak sempat mengungkapkan perasaan terdalam bahkan ketika perpisahan itu tiba. Dalam hening malam saya menertawai keluguan saya saat itu. Dua hari setelah dia pergi, saya jatuh sakit selama seminggu. Kedua orang tua saya sempat bingung, putra sulungnya tiba-tiba sakit tak jelas, mogok makan dan mogok sekolah. Susah rasanya membangun kembali hati yang porak-poranda gara-gara cinta pertama yang berakhir memilukan begini.
Dilain kesempatan, saat berleyah-leyeh, saya mengenang kedatangan saya pertama kali di Jakarta. Saya ingat waktu itu saya diterima bekerja pertama kali di PT Kadera Ar Indonesia sebagai staf bagian Produksi tahun 1995. Saya menyewa kamar kos di dekat Kawasan Industri Pulogadung, dekat kantor saya. Sebagai “wong ndeso” dan punya nafsu bertualang tinggi, saya tak melewatkan kesempatan menikmati setiap jengkal pesona ibukota Negara. Menyenangkan rasanya menyaksikan dengan takjub kemegahan gedung-gedung pencakar langit yang menjulang, kegagahan Monas atau pesona jembatan Semanggi yang luar biasa.
Setiap minggu, dari terminal Pulogadung saya naik bis ke suatu tempat tertentu dan tetap di bis yang sama ketika tiba di tempat tujuan, lantas ikut kembali sampai bis tersebut kembali ke Pulogadung. Pokoknya berkeliling kota dengan bis yang sama. Kondektur bis sudah begitu hapal sosok ndeso saya yang senantiasa berkemeja rapi (kadang-kadang pake batik) layaknya pergi kondangan saja. Sang kondektur acapkali menatap saya dengan pandangan “Kasihan Deh Lu” saat melihat sosok saya melintas dengan Pe-Denya bagai pejabat kelurahan akan memberikan kata sambutan di acara sunatan massal.
Yang menggelikan, saya pernah nyasar di Blok M. Saya panik bukan main ketika saya tinggal sebentar bis yang akan saya tumpangi kembali ke Pulogadung, untuk membeli minuman. Saya mengalami disorientasi lokasi. Saking bingungnya saya terpaksa menyeberang ke arah Plaza Blok M.
Malang nian nasib saya.
Seorang Polisi datang menyergap dan meminta saya push-up karena tidak menyeberang lewat jembatan penyeberangan. Saya tak bisa berkata apa-apa, hanya bisa pasrah, ber-push up ria 50 kali dibawah tontonan mata puluhan orang dari atas jembatan penyeberangan. Saya mesti push-up dibawah sengatan panas terik dan tatapan galak polisi.
Pulang ke tempat kos dengan menumpang taksi (karena putus asa mesti naik apa untuk pulang ke Pulogadung), saya langsung minta tolong diurut oleh teman satu kos. Pegal sekali badan saya waktu itu. Push-Up 50 kali merupakan sebuah “prestasi” tersendiri karena biasanya saya paling banter hanya bisa setengahnya.
Saya tertawa mengenang peristiwa memalukan itu.
Beberapa kesempatan leyah-leyeh yang lain, saya mengenang perjumpaan pertama kali saya dengan istri tercinta, ibu anak-anak saya, menjadi ojek sepeda paling ganteng pada saat wakuncar, proses pernikahan yang berkesan di Yogyakarta, usaha kami memperoleh anak pasca 3 tahun menikah, hingga bagaimana kiat-kiat saya melampiskan rasa ngidam istri saat hamil anak pertama.
Tidak hanya nostalgia yang indah-indah, selama berleyah-leyeh, saya juga selalu mengenang peristiwa-peristiwa yang mengguncangkan nurani. Salah satu diantaranya ketika anak pertama saya, Rizky, tersiram air panas dan mesti dirawat 2 minggu di rumah sakit, tahun 2007.
Semua kenangan, indah dan pahit, terakumulasi menjelma menjadi kontemplasi berharga bagi hati.
Tentang berharganya nikmat hidup yang sudah dianugerahkan Tuhan kepada saya, sekecil dan sesederhana apapun itu. Juga tentang bagaimana saya mesti memaknai kehidupan saya kedepan lebih bermakna, terutama buat istri dan kedua buah hati saya.
Di keheningan malam, ditemani kerik jengkerik dihalaman dan “tetabuhan” daun pohon jambu disenggol angin didepan rumah, saya merefleksikan ulang arti perjalanan hidup saya selama ini. Terutama bila kelak saya dipanggil Allah SWT menghadapNya, saya ingin dikenang sebagai apa oleh orang-orang tercinta saya.
Saya lantas bangkit dan duduk diatas sajadah dengan keharuan menyesak dada.
Kira-kira, apa yang akan dikatakan Rizky dan Alya tentang ayahnya kalau saya meninggal dunia sekarang, hal-hal apa yang akan dikenang istri saya mengenai saya dan bagaimana ibu atau ayah saya memaknai perjalanan hidup putra tertuanya selama ini?. Adakah hidup saya sudah cukup berarti buat mereka dan terutama buat orang-orang disekeliling saya?. Apakah kenangan mereka tentang saya kelak persis sama seperti yang saya bayangkan selama ini?. Mata saya berkaca-kaca saat pertanyaan itu saya lontarkan kembali ke hati saya. Begitu menggetarkan.
Saya memang bukanlah seorang suami dan ayah yang sempurna akan tetapi Insya Allah, saya membulatkan tekad dalam hati untuk menjadi ayah serta suami terbaik bagi anak-anak dan istri saya.
Saat membuka pintu kamar tidur, saya menatap kedua anak saya tidur dengan senyum damai. Memeluk mimpi-mimpi indah mereka tentang masa depan. Istri saya mendekap keduanya masing-masing dibawah lengannya. Mengalirkan kelembutan dan kehangatan kasih.
Saya tersenyum dan bersyukur atas segala nikmat yang telah diberikan Allah SWT pada saya selama ini serta berjanji tak akan mendustakannya.
Sampai kapanpun.
saya memang belum kenal sama abang, tapi dari yang saya baca dari tulisan-tulisan abang, saya bisa liat kalo abang sangat..sangat..sangat sayang sama keluarga abang dan sudah berbuat (dan terus mencoba) yang terbaik untuk keluarga abang.. Salam kenal bang.. mohon petunjuknya.. bolehji saya panggil abang?? tabe di..
–Salam kenal juga Wahyu. Insya Allah memang demikian adanya. Banyak orang yg tak menyadari bahwa sesungguhnya kebahagiaan dan surga terbaik didunia ini adalah justru berada ditengah keluarga. Semoga tulisan sederhana saya bisa menginspirasi banyak orang, termasuk anda. BTW, bisa ji panggil saya Abang, Daeng, Kakak, Om atau Bapak juga gak apa-apa kok…hehehe 😀