NARSIS (2) : BINTANG DI LANGIT HATI

imagesKonon, katamu, secara zodiak kita berjodoh.

Aku berbintang Aries, Kamu Sagitarius.

Persis seperti nama depan kita : Aku Aries dan Kamu Sagita.
Cocok. Klop. Pas.

Kamu lalu mengajukan sejumlah teori-teori ilmu astrologi yang konon kamu mengerti dan menyatakan kita memiliki perilaku yang saling melengkapi.

Menurutmu, aku orang yang “grasa-grusu” alias suka terburu-buru sementara kamu digambarkan adalah sosok yang penyabar dan teliti.

Dilain pihak kamu adalah orang yang hati-hati dan relatif lamban mengambil tindakan, sedangkan aku sosok yang penuh energi dan vitalitas melimpah serta cepat mengambil keputusan. Meski kerap kali dengan sikap keras kepala dan percaya diri berlebihan, katamu sambil tersenyum.

Kamu sangat percaya bahwa, masih menurut ilmu astrologi yang selalu kamu baca dengan tekun itu, takdir telah mempertemukan kita sebagai sepasang kekasih yang saling menggenapi. Jodoh yang tak terlerai.

Aku tertawa dan meledekmu terlalu percaya hal-hal yang musykil. Aku tahu, setelah itu kamu pasti akan merajuk manja. Cemberut dan melipat tangan lalu menoleh ke arah lain. Pura-pura tidak mempedulikanku yang berusaha merayumu dan tentu saja, berkompromi dengan membenarkan teori perjodohan berdasarkan zodiak kita itu.

Dan begitulah, seperti biasa, kita mengulang ritual pacaran malam mingguan ini secara rutin :menikmati bintang di langit.

Sebuah aktifitas yang kita sukai dan tak pernah bosan kita lakoni. Ketimbang nonton film di bioskop mendingan menonton bintang, begitu katamu selalu.’

Aku manggut-manggut membenarkan, padahal dalam hati aku berkata, aku lebih menyukai “menonton” parasmu yang cantik bersinar saat memandang bintang. Melihat kerjap matamu, serupa cahaya kejora yang terindah. Yang dekat dan tak perlu capek-capek mendongak ke atas, membuat leher jadi sakit.

Aku ingat beberapa kali cubitan mesramu mendarat dipinggang ketika aku ternyata lebih banyak menikmati kecantikan wajahmu daripada pesona cahaya “si ratu malam”.

Di teras depan rumahmu kita berdua memandang kerlap-kerlip bintang yang bercahaya indah di lanskap langit. Seperti malam itu.

Aku menunjuk gugusan bintang dilangit.

“Coba lihat, itulah bintangmu. Bintang Sagita”

“Mana? Mana?” tanyamu antusias

“Itu..yang berbentuk seperti mata panah,” kataku sambil memegang jemarinya dan menunjukkan arah yang benar.

Mata perempuan idamanku itu seketika membulat. Berbinar ceria. Aku memandangnya takjub. Cantik sekali dia malam ini.

“Bintang yang indah, tapi kok tidak mirip-mirip amat dengan mata panah ya?”, gumammu pelan.

“Kamu harus memiliki kemampuan Mnemonic untuk bisa merangkai gugusan bintang Sagita”, kataku pelan.

“Apa?Pneumatic? Apa itu?”

“Mnemonic,” jawabku sambil tersenyum. “Mnemonic adalah semacam alat bantu untuk berfikir. Bintang-bintang dilangit malam bukanlah sesuatu yang riil.Sifatnya imajiner. Langit malam mesti kita gambarkan sebagai sebuah kanvas besar yang dibagi menjadi bagian-bagian tertentu.Kita lalu merangkai titik-titik kerlip bintang dilangit menjadi sebuah gambar imajiner, itulah yang disebut Konstelasi bintang”, tambahku menjelaskan.

Kamu manggut-manggut mafhum.

“Bintang Sagita konon menurut mitologi Yunani terbentuk dari Mata Panah Chiron, salah satu dari duabelas anakbuah Hercules ketika membebaskan Prothomeus dari rantai yang membelenggunya serta melepaskannya dari kutukan Dewa Zeus. Prothomeus dihukum dengan cara diikat disebuah batu besar bersama seekor elang dewa bernama Aquilla yang memakan hatinya tiap hari. Karena Prothomeus adalah manusia setengah dewa, maka ia hidup abadi. Meski beberapa kali hatinya dimakan Aquilla, dia tetap hidup kembali. Namun tentu ini membuatnya sangat menderita dan sakit berkepanjangan. Prothomeus dihukum karena telah mencuri api abadi Zeus yang akan dibagikannya kepada umat manusia untuk pencerahan. Hercules tak rela dan justru menyatakan apa yang dilakukan oleh Prothomeus adalah tindakan mulia bagi umat manusia, itulah sebabnya ia membebaskannya melalui anakbuahnya yang salah satunya adalah Chiron yang melepaskan anak panahnya lalu menjelma menjadi bintangmu, bintang Sagita”, tuturku menjelaskan panjang lebar.

Kali ini kamu terlihat memandang kagum padaku. Tak lama kemudian, kamu menunduk. Menekuri lantai beranda rumah.

“Ada apa?” tanyaku penasaran. Kamu tak segera menjawab. Helaan nafas panjang terdengar darimu sebelum melontarkan kalimat.

“Minggu depan aku akan pindah ke daerah lain diseberang pulau, ikut orang tuaku yang menjalani penugasan baru disana,”ucapmu dengan tangis tertahan.

Aku terhenyak. Seperti sebuah palu godam tepat menghantam jantung.Sebuah kenyataan yang mengejutkan. Aku betul-betul tidak siap menghadapi ini.

Mendadak Sagita menangis. Ia lalu menghambur ke dadaku, memelukku erat-erat, seperti tak ingin ditinggalkan.

“Aku ingin terus bersamamu, Aries. Aku mencintaimu. Bawa aku pergi kemana saja kau mau, Kita telah berjodoh. Kita telah ditakdirkan untuk bersama,” katamu dibalik derai tangis pilu.

Aku menggigit bibir. Mencari kata-kata terbaik untuk menghiburmu sembari disaat yang sama jantungku berdetak sangat cepat menanggulangi kejutan hati yang tak terduga ini.

Aku lalu meraih wajahmu yang sarat airmata, memandangnya dengan sorot mata tegas.

“Kita masih terlalu muda, Gita.Bukan aku tak berani mengambil keputusan untuk membawamu lari dan kita menikah di suatu tempat. Itu tidak semudah yang kau duga. Bagiku kepindahanmu kelak jauh dariku dipulau lain, tidak akan memupus cintaku padamu. Sampai kapanpun. Bila memang Tuhan menghendaki dan takdir sudah menggariskan kita kelak akan tetap bersama, maka itulah yang akan terjadi. Yakinlah, itu niscaya. Itu ada. Karena aku mencintaimu, sangat mencintaimu,” kataku dengan lidah kelu.

Aku lalu menghapus airmatamu dengan punggung tangan. Ada raut muka kecewa terlihat disana. Tapi kamu tersenyum.

“Sagita, kamulah “mata panahku”. Kamu tetap akan menjadi bintang paling terang dilangit hatiku, hingga kapanpun,” kataku pelan.

Aku ingat, malam itu aku pulang dengan sejuta beban didada. Dalam hatiku paling dalam aku sungguh tak ingin perpisahan itu terjadi. Saat menutup pintu gerbang rumahmu dari luar, aku lihat siluet tubuhmu membayang dari balik jendela depan.

Aku tahu kamu memandangku dari sana, penuh rindu, dibalut pilu.

****

Hubungan kita masih tetap terjalin mesra sejak kepindahanmu ke tempat yang baru. Kita saling berkirim surat dan menelepon. Kamu sangat mengharapkanku sebagaimana aku juga berharap hal yang sama.

Berulang kali aku membaca suratmu dan pada alinea terakhir aku selalu tersenyum membaca sebuah tulisan yang selalu menjadi ciri khasmu : “Dari Sagita, Bintangmu, Mata Panahmu”.

Sampai suatu ketika, “Mata Panah” itu benar-benar telah mengoyak jantungku. Sangat dalam.

Kamu akan menikah, dengan pria pilihan keluarga dan tak kuasa menolak serta akhirnya memilih untuk mengikuti kehendak orang tua.

Hatiku tersayat. Pedih.

Aku mendadak menjadi seperti Prothomeus, sang pencuri api abadi untuk kesejahteraan umat manusia. Yang memilih berkorban, jadi pahlawan, meski akhirnya tidak bahagia karenanya.

Malam itu, aku mengerahkan segala kemampuan Mnemonic-ku. Mengamati bintang. Memandang hingga melampaui titik-titik terjauh, lalu merangkainya satu-satu dengan rasa perih, hingga kudapatkan gambaran wajahmu, bintang yang senantiasa abadi di langit hati.

Catatan:

– Kisah diatas adalah salah satu Narsis atau Narasi Romantis.

– Kisah tentang Prothemeus dan Bintang Sagita saya ambil dari buku karya Fahd Jibran “Cat in My Eyes” (Gagas Media, 2009)

– Istilah Mneumonic saya ambil dari novel Imperia (2007) karya Akmal Nasery Basral

Related Posts
NARSIS (15) : JARAK RINDU
Pada akhirnya, katamu, cinta akan berhenti pada sebuah titik stagnan. Diam. Walau semua semesta bersekutu menggerakkannya. Sekuat mungkin. Cinta akan beredar pada tepian takdirnya. Pada sesuatu yang telah begitu kuat ...
Posting Terkait
NARSIS (11) : KINANTI MENANTI JANJI
Rintik gerimis senja selalu membawa lamunanku padamu. Ketika irisan-irisan air itu jatuh dari langit, kau akan senantiasa memandangnya takjub dari balik buram kaca jendela. Menikmatinya. Meresapinya. Tak berkedip. "Menikmati gerimis senja ...
Posting Terkait
NARSIS (13) : ASMARA, SUATU KETIKA..
Jakarta, 2030, sebuah teras café Lelaki tua itu tersenyum samar. Dipandangnya perempuan seusia dengannya yang duduk tepat dihadapannya dengan tatap takjub. “Kamu tak banyak berubah, walau umur telah menggerogoti tubuh kita. Kamu ...
Posting Terkait
NARSIS (5) : TAKDIR CINTA
erempuan Wangi Bunga itu mengerjapkan mata, ia lalu membaca kembali baris-baris kalimat pada emailnya yang sudah siap dikirim ditemani lantunan lagu "Takdir Cinta" yang dinyanyikan oleh Rossa. Hatinya mendadak bimbang. ...
Posting Terkait
NARSIS (7) : BIARKAN AKU MENCINTAIMU DALAM SUNYI
Catatan Pengantar: Narsis kali ini saya angkat dari Cerpen saya yang dimuat (sekaligus menjadi judul utama kumpulan cerpen Blogfam yang diterbitkan Gradien Mediatama tahun 2006 dalam judul "Biarkan Aku Mencintaimu Dalam ...
Posting Terkait
NARSIS (17) : SEUSAI HUJAN REDA
  amu selalu bercakap bagaimana sesungguhnya cinta itu dimaknai. Pada sebuah sudut cafe yang redup dengan dendang suara Live Music terdengar pelan seraya memandang rimbun asap rokok menyelimuti hampir setengah dari ruangan, ...
Posting Terkait
NARSIS (16) : BISIKAN HATI , PADA LANGIT PETANG HARI
Dia tahu. Tapi tak benar-benar tahu bagaimana sesungguhnya cara menata hati dari kisah cintanya yang hancur lebur dan lenyap bersama angin. Dia tidak sok tahu. Hanya berusaha memahami. Bahwa luka oleh cinta bisa dibasuh ...
Posting Terkait
NARSIS (14) : RAHASIA KEPEDIHAN
Sebagaimana setiap cinta dimaknai, seperti itu pula dia, dengan segala pesona yang ia punya menandai setiap serpih luka jiwanya sebagai pelajaran gemilang. Bukan kutukan. Apalagi hukuman. Perih yang ada di ...
Posting Terkait
NARSIS (10) : KESEMPATAN KEDUA
My Momma always said: Life was like a box of chocholates You never know What you're gonna get -Tom Hanks, Forrest Gump,1994 Saskia tersenyum tipis setelah membaca sekilas potongan kutipan ungkapan yang ditulis diatas sebuah ...
Posting Terkait
NARSIS (4) : M.F.E.O
M.F.E.O 4 huruf tersebut selalu tertera di akhir email lelaki itu. Juga ketika mereka mengakhiri percakapan chatting didunia maya. Made For Each Other, bisik lirih perempuan hening malam sembari menyunggingkan senyum. Matanya menerawang menatap ...
Posting Terkait
NARSIS (1) : MENYAPAMU DI RUANG RINDU
Pengantar : Setelah Saberin (Kisah Bersambung Interaktif) saya mencoba sebuah ekspresimen penulisan lagi yang saya beri nama Narsis atau Narasi Romantis. Tulisan Narsis berupa rangkaian prosa puitis pendek dan (diharapkan) akan ...
Posting Terkait
NARSIS (12) : BALADA LELAKI PETANG TEMARAM DAN PEREMPUAN KILAU REMBULAN
Ia, lelaki yang berdiri pada petang temaram selalu membasuh setiap waktu yang berlalu bergegas dengan rindu yang basah pada perempuan kilau rembulan, jauh disana. Ditorehkannya noktah-noktah kangen itu pada setiap ...
Posting Terkait
NARSIS (18) : SEMESTA KANGEN, DI BRAGA
ita selalu nyata dalam maya. Selalu ada dalam ketiadaan. Selalu hadir dalam setiap ilusi. Begitu katamu. Selalu. Entahlah, terkadang aku tak pernah bisa memahami makna kalimatmu. Absurd. Aneh. Juga misterius. Bagaimanapun kamu ...
Posting Terkait
NARSIS (8) : TENTANG DIA, YANG PERGI MEMBAWA KELAM DIHATINYA
"Ini untuk dia, yang pergi membawa kelam dihatinya," suara perempuan itu bergetar di ujung telepon. Aku menggigit bibir seraya menatap Sonny, sang operator lagu pasanganku, yang balas menatapku dengan senyum ...
Posting Terkait
NARSIS (19) : ZIARAH PADA KELAM KENANGAN
alam banyak hal perempuan itu selalu merasa kalah.  Sangat telak. Terutama oleh cinta. Pada bayangan rembulan di beranda, ia menangis. Menyaksikan cahaya lembut sang dewi malam itu menerpa dedaunan, menyelusup, lalu ...
Posting Terkait
NARSIS (6) : TENTANG CINTA, PADA TIADA
Dia, yang menurutmu tak pernah bisa kamu mengerti, adalah dia yang kamu cinta. “Jadi apakah itu berarti, kamu membencinya?” tanyaku penuh selidik suatu ketika. “Ya, aku menyukai dan membencinya sekaligus, dalam sebuah ...
Posting Terkait
NARSIS (15) : JARAK RINDU
NARSIS (11) : KINANTI MENANTI JANJI
NARSIS (13) : ASMARA, SUATU KETIKA..
NARSIS (5) : TAKDIR CINTA
NARSIS (7) : BIARKAN AKU MENCINTAIMU DALAM SUNYI
NARSIS (17) : SEUSAI HUJAN REDA
NARSIS (16) : BISIKAN HATI , PADA LANGIT
NARSIS (14) : RAHASIA KEPEDIHAN
NARSIS (10) : KESEMPATAN KEDUA
NARSIS (4) : M.F.E.O
NARSIS (1) : MENYAPAMU DI RUANG RINDU
NARSIS (12) : BALADA LELAKI PETANG TEMARAM DAN
NARSIS (18) : SEMESTA KANGEN, DI BRAGA
NARSIS (8) : TENTANG DIA, YANG PERGI MEMBAWA
NARSIS (19) : ZIARAH PADA KELAM KENANGAN
NARSIS (6) : TENTANG CINTA, PADA TIADA

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.