CERPEN : PENSIUNAN
Pengantar
Cerpen dibawah ini saya tulis untuk menyongsong masa pensiun ayah saya dan dimuat 15 tahun silam di Harian Fajar Makassar edisi Minggu 24 April 1994. Selamat membaca..
———-
HIDUP tanpa sempat berbuat dan bekerja apa-apa memang teramat membosankan. Semua serba salah dan menjenuhkan. Lalu aku harus bilang apa ?. Masa pensiun yang baru saja kulewati lima hari–dengan dua anak yang telah dewasa dan menikah lalu mencari kehidupan sendiri-sendiri, serta status duda ditinggal istri tiga tahun silam, bermukim di rumah besar dan megah yang hanya didampingi si Ijah, sang pembantu dan si Otong, tukang kebun–benar-benar membuatku seperti kafilah yang tersesat di gurun pasir yang gersang. Sepi, sunyi dan yang paling kubenci : sendirian !.
Sebagai mantan kepala instansi pemerintah, aku telah sangat terbiasa dengan rutinitasku. Sarapan pagi ; berangkat ke kantor diantar Dirman , supir mobil dinas ; membalas sapaan “selamat pagi” dari para bawahan; menerima telepon ; memimpin rapat ; menandatangani surat-surat ; kembali ke rumah ; baca koran sore sambil minum kopi panas ; nonton TV ; tidur dan siklusnya berulang lagi dari awal. Begitu seterusnya. Ibarat roda berputar, selama 10 tahun aku memangku jabatan.
Kini semua telah hilang. Sejak serah terima jabatan dengan Pak Indra, lima hari lalu, segala bentuk “rutinitasku” seperti direnggut paksa olehnya. Bayangkan, semua yang telah menjadi bagian yang satu dengan jiwa dan hidupku mendadak sirna, sehari setelah acara serah terima jabatan—yang “brengsek”—itu.
Terus terang, aku sangat membenci itu semua. Kebencianku tiba-tiba naik ke ubun-ubun saat Dirman mengucapkan kata-kata perpisahan.
“Pak, hari ini adalah hari terakhir saya mengantar Bapak. Besok, saya sudah harus mengantar Pak Indra. Maafkan atas segala kesalahan saya dan…”.
Belum sempat Dirman menyelesaikan kalimatnya, aku segera menukas ketus, “ Sudah, pergi sana. Bapak memang sudah pensiun dan kita tidak punya hubungan apa-apa lagi”. Dirman, seperti biasa mengangguk pelan dengan kedua belah tangan disedekapkan, sebagai simbol kepatuhan yang sangat kukenal darinya bertahun-tahun.
Aku memang ngotot untuk mencari alasan pembenaran atas segala tindakanku dan itu “dibahasakan” oleh Nastiti, putri tertuaku,sebagai “Keras Kepala”. Istilah ini mencuat karena menolak mentah-mentah keinginannya untuk menikah dengan Mukhlis, si pelukis kere.
Kalaupun kemudian mereka jadi melangsungkan pernikahan dan sekarang tinggal menetap di Ambon, itu tetap tidak mengubah keputusanku untuk tidak berhubungan lagi dengannya.
Hal yang sama juga aku berlakukan pada Firman, anak bungsuku yang minggat ke Yogya, karena hasratnya ingin menjadi pelukis—mengikuti jejak iparnya si Mukhlis kere yang tiap hari hidup bersama “idealisme” itu. Kabar terakhir yang kudengar dari Firman, ia telah menikah dengan putri seorang priyayi Yogya. Meski telegramnya datang seminggu sebelum pernikahannya, aku tetap menolak menghadirinya. Aku memang tidak mema’afkan sikapnya menentangku dengan sengit , 2 tahun silam.
Aku selalu berusaha menemukan alasan pembenarannya meski terkadang harus mengorbankan perasaan. Tak dapat kuingkari, dari sanubari paling dalam, aku sangat mencintai kedua darah dagingku itu.
Istriku, Narti dan Lisa, anakku yang kedua, yang kuanggap paling mengerti keinginanku. Mereka sangat penurut dan tahu apa yang mesti dilakukan untukku. Sayang, kecelakaan lalu lintas yang fatal merenggut nyawa mereka 3 tahun yang lalu. Aku sangat terpukul. Aku seperti terhempas dan terpuruk tanpa daya. “Energi” hidupku mendadak sirna. Musnah, tak menyisakan apa-apa.
Sekarang, semua sudah berakhir. Jabatan, sebagai satu-satunya harapan untuk membangkitkan semangat hidupku juga lenyap. Aku dipaksa untuk menikmati kesendirian, lepas dari segala rutinitas yang selalu membuatku terpikat. Aku memang tak tahu harus berbuat apa saat ini. Hanya tinggal mengenang-ngenang masa silam yang indah diatas kursi goyang yang setiap deritnya seperti palu godam menghantam kepalaku.
Aku memandang keluar lewat jendela yang buram terkena tepisan hujan. Tirai-tirai air jatuh dengan deras. Mendadak aku teringat masa-masa awal pernikahanku dengan Narti di sela-sela era revolusi fisik mempertahankan kemerdekaan. Kami menempati sebuah gubuk kecil sederhana dengan satu kamar. Disitulah kami mulai melakoni hidup. Narti tidak pernah mengeluh dan menuntut macam-macam. Dengan sabar dan telaten ia mendampingiku mengarungi bahtera perkawinan kami. Nastiti, Lisa dan Firman lahir satu-satu.
Kebahagiaan kami terasa makin lengkap. Aku mengikuti kuliah dengan tekun sembari “nyambi” di pabrik gelas. Setelah menyelesaikan kuliah dengan menyandang gelar kesarjanaan, perlahan tapi pasti, kehidupan kami mulai mapan. Aku diterima di salah satu instansi pemerintah terpandang. Karierku melonjak pesat dan akhirnya dalam waktu tak terlalu lama berhasil meraih jabatan “Kepala”.
Aku merasakan kehormatan luar biasa disematkan di pundakku. Para bawahan menunduk patuh dan aku melaksanakan tugas dengan kebanggaan meluap-luap. Aku mulai membentuk kharisma dan wibawa magis yang membuat seluruh staf dan bawahanku tahu apa yang harus mereka lakukan untuk menyenangkanku. Selama kurang lebih 10 tahun aku seakan berada di singgasana yang megah dan sebentuk “kemuliaan” yang gemerlap.
Narti, juga menyanjungku dengan caranya sendiri. Dengan kesederhanaannya yang memukau, ia memanjakanku dengan hidangan masakan gurih dan lezat setiap malam. Tanpa berkedip, dari matanya yang teduh dan jernih, ia memandangku menyantap makanan dengan lahap. Senyumnya mengembang. Aku tahu, meski tidak mengungkapkannya secara langsung, Narti begitu menghargai prestasi yang berhasil kuraih. Sejak pertama kali mengenalnya, kepribadian Narti yang bersahaja, anggun, pendiam dan cenderung introvert langsung membetot syaraf kelelakianku. Ketika melamarnya menjadi istriku, ia mengungkapkan persetujuannya dengan cara yang khas.
“Datanglah besok. Kalau aku memakai gaun putih berarti aku tidak menolak. Sebaliknya, kalau aku memakai gaun berwarna lain berarti keberuntungan belum ada di pihak Abang”. Aku makin penasaran. Dan ketika esoknya aku datang lagi. Aku segera tahu, “Dewi Fortuna” ada di pihakku. Ia berdiri menyambutku di beranda depan rumahnya mengenakan gaun putih.
Aku menitikkan air mata mengenangnya. Kini ia telah tiada. Pergi ke alam baka bersama, Lisa, putri kami, yang mewarisi watak dan senyum ibunya. Mendadak aku merasakan sunyi yang amat mencekam. Rumah besar dengan 6 kamar yang kini kutempati ibarat istana hantu. Sepi dan menakutkan.
Aku jadi rindu pada kehangatan keluarga. Dulu, kembali dari kantor, aku langsung disambut mesra oleh istri dan anak-anakku. Nastiti dan Lisa menggayuti lenganku dan Firman minta digendong. Narti mengambil alih tas kantorku sembari mengulum senyum manisnya. Kebahagiaan seperti merasuk ke dalam sum-sum tulangku. Mereka menyambutku, setiap hari, seperti menyongsong pahlawan pulang perang. Aku sangat terharu, dan itu membuatku makin bersemangat menunaikan tugas.
Pada saat-saat hujan seperti ini, Firman dan Lisa meringkuk di pangkuanku. Takut kilat, katanya. Mereka kudekap erat dan kualirkan kehangatan cinta seorang ayah. Aku membujuk mereka dengan kalimat-kalimat yang menyejukkan. Nastiti melecehkan kemanjaan adik-adiknya. Mereka saling menyahut, bertengkar sengit dan didamaikan ibunya. Aku merasa ini menjadi irama hidup yang teramat indah.
Tiba-tiba aku disengat kerinduan pada dua anakku yang tersisa : Nastiti dan Firman. Sedang apa mereka sekarang, aku membatin. Mereka berdua, sering mengirim surat kepadaku, meski tak pernah kubalas. Nastiti sudah punya 2 orang anak lelaki. Yang pertama, katanya hidungnya mirip denganku. Agak mancung aristokrat. Sedangkan anak yang kedua, mewarisi keahlian ayahnya melukis dan mencorat-coret dinding. Dalam surat-suratnya, Nastiti sangat bangga menceritakan kehidupannya yang damai di Ambon.
Firman lain lagi. Tahun ini, dia bakal menggelar pameran lukisan di salah satu galeri terkenal di Jakarta. Dan ini akan menjadi momentum penting dalam perjalanan kariernya sebagai pelukis. Firman juga menceritakan ia sedang menantikan kelahiran anak pertamanya. Dari surat-surat Nastiti dan Firman, tidak sedikitpun menyinggung soal kebencian mereka terhadapku karena aku menentang pernikahan mereka.
Diam-diam, aku jadi menyesali keangkuhanku selama ini. Mereka telah dewasa dan memilih jalan hidup mereka sendiri. Firman dan Nastiti tahu apa yang terbaik buat mereka. Aku terkenang, tangis pelan Narti istriku saat aku melarang Nastiti menikah dengan Mukhlis. Narti yang welas asih menunjukkan pemberontakannya dengan air mata. Aku tetap berkeras. Nastiti pergi , diiringi isak tangis Lisa dan ibunya. Firman mengantar kakaknya. Aku melihat bara bola api di matanya.
Hujan telah berhenti. Dua jam aku duduk disini. Merenung, berkontemplasi diri. Aku menyadari kecerobohanku selama ini Aku ternyata telah melakukan kesalahan yang teramat fatal.
Aku harus kembali menata ulang apa yang telah rusak dan mengembalikan semua yang telah hilang dan selalu kurindukan. Akan kutulis surat untuk kedua anakku dan menantuku. Isinya sama :“Buatkan Lukisan Potret diri ayahmu. Lengkapi dengan pakaian dinas komplit, lengkapi dengan tanda penghargaan. Bawa Lukisan itu kemari, bersama kalian semua. Segera !. Ayah tidak bisa menunggu lama-lama”.
oke juga , pensiun adalah masa istirahat bagi manusia jadi manfaatkanlah
Cerpen yang menyentuh..memang kadangkala penyesalan tu selalu datang terlambat.. salam kenal dari Cupid, kalo tidak keberatan, mampir juga di blok saya.. 🙂