NARSIS (6) : TENTANG CINTA, PADA TIADA
Dia, yang menurutmu tak pernah bisa kamu mengerti, adalah dia yang kamu cinta.
“Jadi apakah itu berarti, kamu membencinya?” tanyaku penuh selidik suatu ketika.
“Ya, aku menyukai dan membencinya sekaligus, dalam sebuah paket tak terpisahkan. Dan itu, kamu tahu, sangat menyakitkan” jawabmu lirih.
Aku terkekeh. Kamu mendelik tak suka.
Bagiku, ini aneh dan lucu.
Separuh dari dirimu menginginkannya : datang membawa binar cinta dari kerjap matanya, yang membuatmu ingin terdampar dan luluh pada muara hatinya. Lalu kamu membayangkan kalau saja di suatu titik kekuatan kosmik mampu stagnan, kamu tanpa sedikitpun keraguan akan memilih walau hanya satu detik sekalipun bersamanya. Membekukan waktu, menyesap segala keberadaannya sembari mengingat setiap langkah terkecil perjalanan kenangan indah kalian, mengabadikannya di kanvas hati lalu mengabaikan segenap hal lain yang datang pada detik berikutnya. Dia adalah segalanya bagimu. Karena kamu mencintainya.
Separuh dari dirimu yang lain justru berusaha membencinya. Menyesali segala kebodohannya telah jatuh hati padamu, perempuan sederhana yang bahkan tak pernah sekalipun bermimpi menjadi Cinderella . Memaki segala keikhlafan (juga kenekadan) lelaki itu telah gigih mencarimu hingga ke batas dunia sekalipun hanya ingin melihat matamu, yang konon menyimpan pijar lembut cahaya bulan disana.
Kamu membencinya, karena lelaki itu telah berhasil memporak porandakan hatimu dengan bait bait puisi indah, yang kemudian didepan mataku kamu membakarnya, membiarkan asapnya memasuki kelopak matamu yang telah basah oleh airmata, bahkan sebelum kamu memantik korek api.
“Dia Lelaki Bodoh! Untuk apa dia mesti terus mengejarku menawarkan ketulusan cintanya, padahal dia tahu, aku sudah bertunangan?” jeritmu putus asa.
“Iya, bertunangan dengan lelaki yang tidak kau cintai, pilihan orangtuamu?Begitu?”, sahutku tajam.
Kamu menatapku garang.
“Jangan dustai hatimu dan jangan pernah pula mencoba mempermainkan perasaannya. Kamu tidak tegas dalam hal ini. Bila memang dari lubuk hatimu yang terdalam kamu tidak menginginkannya lagi demi memenuhi keinginan perjodohan kedua orangtuamu, sepahit apapun itu, jangan pernah ragu untuk katakan tidak!,” tambahku sengit.
“Tapi…”
“Tapi apa? Kamu mencintainya dan tak rela melepaskannya? Itu maksudmu?”
Kamu mengangguk pelan lalu menunduk tersipu.
“Itulah. Kamu telah menyiksanya sedemikian rupa dengan sikapmu yang ambigu. Ini sangat tidak sehat. Padamu, terlebih pada dia!”
“Lantas aku mesti bersikap bagaimana?”
Aku menghela nafas panjang. Gemas.
“Ikuti kata hatimu untuk memilihnya atau tinggalkan dia. Selamanya. Jangan pernah ragu sedikitpun mengambil keputusan, tentu dengan sudah memperhitungkan segala resiko terburuk yang mungkin datang,” jawabku datar.
Kali ini sahabatku menghela nafas panjang. Ia mengangguk pelan.
“Terimakasih. Kali ini aku akan lebih tegas bersikap” katanya mantap.
“Bagus. Dan ingat, jangan pernah menyesali keputusan yang kamu buat. Segetir apapun resiko yang akan kamu tempuh dan sebelumya sudah pernah kamu pertimbangkan secara matang,” sahutku mengingatkan.
Sahabatku itu lalu memelukku erat-erat.
Aku sayang padanya, tapi juga membencinya sekaligus. Sebuah perasaan yang tak pernah jua bisa aku mengerti.
****
Sesungguhnya akupun mencintai lelaki yang ia sayangi. Lelaki yang sama, yang telah ia paketkan dengan rapi bersama cinta dan bencinya dalam hati.
Lelaki bermata teduh itu telah memenjara hatiku dalam pesonanya.Membuatku terperangkap dalam segala mimpi indah berbagi kebahagiaan, meresapi cinta dan menghabiskan sisa usia bersamanya. Aku selalu membiarkan diriku terhempas tanpa daya pada kilau teduh matanya yang melenakan. Yang membuatku ingin segera mendekap dan membisikkan lembut ditelinganya, bahwa aku menyayanginya, tanpa jarak, yang selama ini telah terbentuk oleh pengorbananku sendiri.
Pikiran jahat pernah merasuki benakku untuk terus menggedor-gedor pintu kesadaran sahabatku itu dengan beragam asumsi untuk lebih memilih pria pilihan kedua orangtuanya saja, dan membiarkan lelaki bermata teduh itu menjadi milikku, selamanya.
Tapi aku tidak melakukan itu.
Aku ingin semuanya berlalu secara alamiah, tanpa rekayasa. Akupun tidak berusaha untuk mencari-cari simpati lelaki bermata teduh itu padaku, meski beberapa kali kami bertemu berdua, ketika lelaki itu meminta pertolonganku menghubungkannya pada sahabatku, perempuan pujaannya.
Dia, sahabatku, tak pernah tahu perasaanku itu. Juga lelaki bermata teduh, yang juga merupakan sahabat dekat kami berdua.
Biarlah ini menjadi rahasia langit. Dan aku memendamnya diam-diam.
Dalam pilu. Dalam duka menyayat hati.
Sungguh aku menyayangi sahabatku.
Dan membencinya sekaligus.
****
Surat itu aku baca dengan mata basah
“Aku sudah memilih dengan segala resiko terpahit yang mungkin aku hadapi, termasuk dikucilkan oleh kedua orangtuaku karena dengan berani tidak mengikuti keinginan mereka.
Dan bagiku keputusan ini membahagiakan. Sangat membahagiakan. Aku memilih lelaki bermata teduh sebagai pendamping hidupku, melewati sisa umur bersama, tak terpisahkan. Kami lari dan menikah disuatu tempat yang tak seorangpun tahu dimana, kecuali kamu tentunya. Tolong doakan kami. Terimakasih atas segala nasehatmu. Kami menyayangimu dan akan terus memelihara komunikasi denganmu. Keep in touch ya?”
Kepalaku ,mendadak seperti dihantam palu godam raksasa. Sakit sekali. Aku menyesali kebodohanku telah mengorbankan perasaanku sendiri demi dia, sahabatku. Sebuah ironi sesungguhya karena disaat yang sama diam-diam aku turut bahagia, sahabatku telah mengambil keputusan terbaik dan terpenting dalam hidupnya untuk menuai kebahagiaan bersama sang kekasih hati.
Aku menangis. Sejadi-jadinya.
Dengan tangan gemetar, aku membaca sebuah puisi yang aku koleksi dari sebuah blog.
Kesaksian luka itu
sudah lama kita kemas
dalam senyap hati
juga pada mendung langit
yang kian ranum menurunkan gerimis
kita menyimpan rasa itu rapat-rapat
sembari menatap nanar
senja turun perlahan di ufuk
menghayati setiap jejak merah saga yang ditinggalkannya
bagai menyaksikan semua impian kita
yang luruh perlahan oleh derap waktu
serta tetes rindu yang menghias disisinya
seumpama ornamen lusuh, meleleh dalam diam
“Kita tengah bercakap tentang cinta, pada tiada,” katamu lesu
dan desir angin membawa tinggi ucapmu
bersama pekik camar yang terbang limbung
ke selarik pelangi di batas cakrawala
Aku termangu dan memandang bening matamu
dimana ada lelah dan kegetiran disana
dimana genangan kenangan kita
larut pada sajak yang kupahat
dalam pilu tak terungkapkan
Sebuah Cinta, Pada Tiada, gumamku dengan lidah kelu dan hati masygul.
Cerita yang menyentuh…oia sy juga lagi belajar nulis cerita cinta…ada di blog saya labelnya love story…kalo ada waktu mampir dan baca ya…jangan lupa kasih komen (I need some advice), tengkyu…en salam kenal…
kesaksian cinta yang dalam, untuk mengungkapkan bahwa butuh konsentrasi lebih untuk bisa membaca artikel bagus yang telah di tulis……kenapa fontnya gak dibkin putih saja……..biar keliatan orang yang mau baca artikel cantik nan indah…..lam kenal mas apa om nih enknya…..new bie mohon maaf bisa minta tolong untuk digantung diblogroll mas…punya mas udah ku gantung….laporan selesai…….
Mari berbagi tentang cinta, tentang kehidupan, tentang tips dan trik, tentang theme wordpress.
Salamku untukmu dari web sederhanaku.