“Tanah air adalah sebuah proyek yang kita tempuh bersama-sama, kau dan aku. Sebuah kemungkinan yang menyingsing, sebuah cita-cita yang digayuh generasi demi generasi, sebuah impian yang kita jalani dengan tungkai kaki yang kadang capek dan kesadaran yang kadang tanpa fokus. Tanah air adalah sebuah ruang masa kini yang kita arungi, karena ada harapan untuk kita kelak.”
–Goenawan Muhammad
Gelora Romantik Agustusan dengan alunan suara melankolis “selendang sutera” atau “sepasang mata bola” di hari-hari menjelang peringatan kemerdekaan republik ini terasa tenggelam dibalik gemuruh lagu “Online-nya” Saykoji atau “Tak Gendong”-nya Mbah Surip.Juga hiruk pikuk dunia infotainment yang mengabarkan artis ini baru saja bercerai dan artis itu sedang menjalin hubungan kasih dengan artis yang lebih muda Belum lagi geliat aktif komunikasi online dengan koneksi internet yang sungguh cepat, menghubungkan seseorang dengan orang lain di benua lain, layaknya bercakap berhadapan wajah.
Tak hadir lagi kenaifan seorang pemuda tanggung yang baru pertama kali menggenggam bedil, dan karena itu dia salah tembak sasaran. Jiwa sang pemuda dibakar oleh semangat yang dipompakan oleh pidato-pidato Bung Karno. Atau tak ada lagi sejenis kisah asmara yang terukir dari kiriman surat cinta di garis depan yang mengalir ke dapur-dapur umum lewat kurir bersama “setumpuk dokumen rahasia pasukan” sebagai katarsis dari kepenatan dan pengapnya asap revolusi. Semua sudah menjadi “fosil”dalam kerangka kesadaran ke-Indonesia-an. Lenyap bersama surutnya ideologi kolonialisme dan imperialisme barat atas bangsa-bangsa timur.
Sayangnya, perubahan itu tak selalu menggembirakan.
Wujud Indonesia dalam kesadaran kitapun menjadi lain. Dia,tak lagi berupa gugus-gugus yang mesti dipertahankan secara fisik dari pijakan penjajahan asing. Tak lagi berupa sebuah teritori kesadaran yang terancam karena ada helai-helai hegemoni menyelusup ke file-file kesadaran kita dan kemudian adalah virus yang dapat merobek sendi tulang, bahkan sumsum kebangsaan.
Sebagai bangsa, Indonesia serta merta menjelma menjadi kerja keras membangun kehidupan ekonomi, menata kehidupan politik, menyaksikan perjalanan budaya : Sesuatu yang senantiasa mesti diberi legitimasi historis dari apa yang disebut sebagai “semangat juang ’45” berdasarkan acuan tunggal bernama UUD 1945 yang dibingkai oleh kesadaran ber-Pancasila.
Dari sini akan timbul pertanyaan, apakah masih relevan mengedepankan aspek historis yang lahir dari kancah revolusi fisik tersebut untuk menjadi sumber motivasi dan inspirasi justru ditengah kecamuk keterbukaan dunia yang kian menyempitkan pilihan-pilihan kita untuk bisa tetap bertahan?
Tentu tak semudah itu. mentransformasikan kesadaran era 45-an yang disemangati oleh api nasionalisme kepada kenyataan kontemporer yang berpijak pada bara modernisme, globalisme bahkan post modernisme. Pada gilirannya, modernisme pun “mengkhianati” nasionalisme 45-an itu dengan “putra bungsu” bernama Globalisme.
Bangsa inipun menjelma tidak sekedar sebuah “Nation” dengan negara sebagai perwujudan strukturnya : sesuatu yang kemudian memudahkan kita sebagai bangsa diatur dan dikendalikan semata-mata oleh negara, yang membawa kita membela dan mempertahankannya di tengah revolusi fisik.
Saat ini, Pasar dan Media Massa menjelma menjadi “struktur” lain yang kemudian menggusur kokohnya “Nation” itu bahkan hingga sampai ke tingkat kesadaran. Bagaimana kiranya nasib “nasionalisme” (juga patriotisme) pada kenyataan ini? Logika pasar dan juga media massa jelas-jelas sangat berbeda dengan logika bangsa yang mengedepankan persatuan, keutuhan, kesatu paduan.
Era Globalisasi yang muncul menderu-deru, menjelma menjadi sebuah hegemoni baru, yang ternyata tidak lagi biadab seperti era Kolonialisme dan imperialisme, melainkan sangat “beradab” dan bekerja secara halus serta perlahan tapi pasti menggerogoti tulang sum-sum kebangsaan kita.
Gerakan #Indonesia Unite yang merupakan semacam “tali pengikat” untuk mengakomodir kemarahan dan keprihatinan kolektif sejumlah orang yang memiliki ikatan di social media network pasca ledakan bom di Hotel JW Marriot dan Ritz Carlton tanggal 17 Juli 2009, kerapkali dianggap sebagai usaha spontan dan reaktif belaka. Gerakan yang pada awalnya muncul di Microblogging Twitter (di media ini #IndonesiaUnite pernah menduduki ranking pertama pada daftar trending topics atau topik yang paling banyak dibicarakan pengguna twitter di seluruh dunia) , lantas merambah ke Facebook, bagi saya tidak sekedar dimaknai sebagai sebuah kehebohan sesaat.
Euforia yang “ditularkan” oleh IndonesiaUnite, sampai-sampai sejumlah orang dan pengguna social media network–secara patriotik– mengganti avatar atau head-shotnya dengan bendera merah putih, menjelma menjadi sebuah inspirasi. Sebuah upaya merevitalisasi makna Nasionalisme itu sendiri dalam sebuah gempita yang langsung maupun tidak, menyentuh titik kesadaran kita pada kebanggaan berbangsa, kebanggaan memiliki Indonesia.
Walau mungkin saja ada yang beranggapan bahwa euforia Nasionalisme pada #IndonesiaUnite terkesan berlebihan, genit, berisik dan dibuat-buat dengan membuat pernyataan bernuansa patriotis di deretan 140 karakter huruf pada media microblogging, gerakan ini sudah “menghimbau” kita untuk kembali pulang ditengah riuh globalisasi, menghayati kebhinekaan, merasakan Indonesia sebagai sebuah kesatuan yang koheren dan patut dibanggakan.
Saat menulis artikel ini, saya memutar lagu Iwan Fals dari koleksi MP3 saya. Sebuah lagu berjudul”Siang di Pelataran SD Kampung”, yang membuat dada saya bergemuruh oleh rasa haru :
sentuhan angin waktu siang
kibarkan satu kain bendera usang
di halaman sekolah dasar
di tengah khidmat anak desa
nyanyikan lagu bangsa;
bergemalah…
tegap engkau berdiri
walau tanpa alas kaki
lantang suara anak-anak di sana
kadar cinta mereka
tak terhitung besarnya
walau tak terucap
namun bisa kurasa;
bergemalah…
ya, harapan tertanam
ya, tonggak bangsa ternyata tak tenggelam
dengarlah nyanyi mereka, kawan
melengking nyaring menembus awan
lihatlah cinta bangsa di dadanya
(tak) peduli usang kain bendera
Ingatan saya mendadak terbang jauh ke dua puluhan tahun yang silam, ketika saya dan kawan-kawan Pasukan Pengibar Bendera (Paskibra) mencium bendera merah putih dengan tangis tertahan dan keharuan menyesak kalbu, pada malam sebelum kami bertugas mengibarkan bendera di Upacara peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia. Instruktur baris berbaris kami dengan suara lirih dan bergetar diiringi lagu “Syukur” mengisahkan kembali semangat perjuangan para pahlawan menegakkan kedaulatan bangsa ini. Dan tanpa terasa air mata menetes perlahan melalui tebing pipi ketika saya mencium bendera merah putih itu dengan khidmat.
Keharuan serupa yang kembali menyeruak ketika gerakan IndonesiaUnite itu digemakan secara lantang. Tidak sebatas slogan namun juga sebuah tindakan untuk merawat, menyelamatkan dan membanggakan bangsa ini dengan segenap kemampuan yang kita punya, karena, seperti apa yang diungkapkan pada awal tulisan ini,””Tanah air adalah sebuah proyek yang kita tempuh bersama-sama, kau dan aku”.
Dirgahayu Indonesiaku!
I Love you Full!













One Reply to “SEKEPING CATATAN TENTANG INDONESIA BERSATU”