DARI MODIS KOMPASIANA BERSAMA JACOB OETAMA : KEMANUSIAAN YANG TRANSENDENTAL ADALAH INTI KETEGARAN BERTAHAN
KOMPASIANA Monthly Discussion (Modis) yang saya hadiri hari ini, Sabtu (27/3), benar-benar menyisakan kenangan mendalam dihati. Bertatap muka secara langsung, untuk pertama kalinya dengan salah satu “living legend” dunia Pers Indonesia, Pak Jacob Oetama adalah sebuah kesempatan berharga buat saya untuk lebih banyak memahami buah fikir beliau memandu “kapal besar” bernama Kompas Grup di samudera global. Saya tiba pukul 09.30 pagi dan langsung menuju ruang Seruni di lantai dasar Hotel Santika Slipi tempat pelaksanaan Modis yang merupakan kali kedua dilaksanakan setelah sebulan sebelumnya mengundang mantan Wapres RI dan kini Ketua PMI Pusat Pak Jusuf Kalla.
Saya sempat menyantap sarapan nikmat berupa pisang goreng (panitia acara ini benar-benar paham makanan kesukaan saya 🙂 ) dan Roti mini serta menyapa kawan-kawan Kompasianers yang sudah lebih dulu hadir. Sekitar 100-an orang peserta datang menghadiri kegiatan bulanan Kompasiana ini. Tepat pukul 10.00 pagi, acara dimulai. Sebelum acara inti diadakan, kami menonton video singkat sejarah Koran Kompas yang lahir tanggal 28 Juni 1965. Nama Kompas sendiri ternyata disematkan oleh Presiden RI Pertama Ir.Soekarno yang bermakna sebagai “Pemandu” atau “Penunjuk Arah”. Kini–meski sempat kena bredel pada 25 Januari 1978–Harian Kompas menjadi koran nomor satu dan bertiras paling besar di Republik ini. Bahkan untuk menjamin kecepatan pelayanan menuju pelanggan, pengembangan teknologi cetak jarak jauh di beberapa kota di Indonesia sudah diaplikasikan.
Setelah itu giliran Pak Taufik H Mihardja, Direktur Kompas Cybermedia, menyampaikan kata sambutan pengantar. “Kompasiana, dengan 17.000 anggota terdaftar dan jumlah kunjungan mencapai 1,7 juta/bulan, sudah mengalahkan Kompas cetak,” katanya dengan mata berbinar. “Bayangkan saja,” imbuh wartawan senior Harian Kompas ini,”Di Kompas cetak ada 150 artikel yang dikirim untuk memperebutkan 4 “kavling” tulisan opini setiap hari yang itupun belum tentu dapat dimuat semuanya, sementara di Kompasiana ada 200 artikel yang masuk di tiap hari dan seluruhnya ditayangkan. Ini sebuah pencapaian yang luar biasa”.
Kesempatan yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Pak Jacob dengan langkah tertatih menaiki panggung dan mengambil tempat di posisi tengah diapit oleh Pak Taufik dan sang moderator acara. Pak Jacob membuka ulasannya dengan mengutip pernyataan Thomas L Friedman tentang “World is Flat” ditengah era globalisasi dunia yang terus bergemuruh. “Desa-desa global terus tumbuh dan berkembang, perubahan berlangsung sangat cepat namun tanggapan atas segala perubahan-perubahan tadi tidak segera dilakukan secara instan oleh warga dunia”, ucap Pak Jacob dengan tutur jernih, lirih dan memukau. Ada semangat yang membara terbersit dari kalimat-kalimat yang diungkapkan pendiri Harian Kompas ini.
“Pertanyaan kini,” ujar Pak Jacob dengan nafas tertahan,”Masih adakah hak hidup Kompas sebagai media cetak ditengah gemuruh globalisasi, internet dan perkembangan teknologi saat ini?. Jika ya, sampai kapan?”
Ucapan Pak Jacob menggantung diudara. Kami semua terdiam. Seperti “tersihir” dan mencoba menerka lebih dalam apa jawaban tokoh pers nasional itu atas pertanyaan tadi.
“Jawabnya, masih ada dan tetap akan ada,” kata Pak Jacob menjawab pertanyaannya sendiri. “Media cetak, seperti Kompas, mesti tetap eksis karena dengan membaca akan memberikan ruang waktu bagi kita, para pembaca, untuk berfikir, menelaah dan menganalisa. Sesuatu yang tidak kita dapat hanya dengan menonton”, ujar Pak Jacob dengan penuh semangat.
“Saya dan kawan-kawan, membangun Kompas dengan kerja keras, idealisme dan keringat 45 tahun silam. Karena kami yakin melalui media tersebut, kehidupan, ilmu, kebudayaan, peradaban, juga cinta diwartakan dan didokumentasikan. Dan spirit itu mesti harus tetap ada hingga kini, sampai kapanpun,” tegas Pak Jacob yang konon hobi makan soto ini.
“Saya bangga bahwa Kompasiana ikut meneruskan spirit itu dan ini adalah sebuah berkah yang layak disyukuri oleh kita semua,” tutur Pak Jacob dengan nada haru.
Setelah ulasan singkat Pak Jacob disampaikan, “gempuran” pertanyaan dari peserta yang hadir datang bertubi-tubi. Pak Chappy Hakim, mantan KSAU RI dan juga seorang Kompasianers (bahkan sudah menerbitkan 2 buku hasil bloggingnya di Kompasiana) membuat sebuah analogi menarik. Beliau, yang juga seorang penerbang, menyatakan, sehebat dan secanggih apapun sebuah pesawat terbang dibuat, tetap harus dilengkapi dengan Kompas magnetik untuk memandu arah ketika segala peralatan elektrik yang ditenagai oleh listrik tak berfungsi. Filosofi ini mengedepankan bahwa media cetak seperti Kompas tetap dibutuhkan kehadirannya meski saat sekarang revolusi besar di dunia internet dan interaksi global terus mendera.
Satu hal yang mengesankan bagi saya adalah ketika Pak Jacob menanggapi salah seorang penanya yang meminta “resep” bagaimana Kompas bisa bertahan hingga kini.
“Kemanusiaan Yang Transendental adalah inti ketegaran bertahan. Bagaimanapun, kita mesti harus meyakini, keimanan pada Tuhan Yang Maha Kuasa sebagai landasan gerak dan hidup kita semua dalam menjalani kehidupan merupakan bagian tak terpisahkan dari segala ikhtiar. Dimensi spiritualitas itulah yang kemudian bisa menyatukan segala perbedaan lalu bekerjasama dan “memobilisasi” segala sikap kita untuk melakukan yang terbaik,”tutur Pak Jacob yang mengaku selalu membaca Kompasiana atau artikel di internet secara “offline” dengan meminta sang cucu mencetaknya di printer itu.
“Dengan senantiasa bersyukur atas berkah yang sudah didapat, rendah hati, jujur dan memelihara keimanan yang teguh kepada sang Maha Pencipta, dari latar belakang agama manapun, maka kita akan menemukan jalan menyatukan pluralitas serta menggerakkan sinergi. Inilah yang dilakukan Kompas, saat kami memulainya dulu bersama Pak Kasimo, Pak PK Oyong beserta seluruh karyawan : menyatukan iman dan amal dalam bingkai ibadah,” kata Pak Jacob dengan suara bergetar.
Rangkaian acara Modis Kompasiana usai pukul 12.00 siang. Para peserta menyantap makan siang yang disiapkan oleh Hotel Santika dan setelah itu masuk kembali keruangan untuk mengikuti undian doorprize berupa satu buah voucher menginap di Hotel Santika dan 5 buah tiket menonton film di jaringan bioskop 21 masing-masing untuk 2 orang.
Sungguh sebuah pertemuan yang mengesankan dan memberikan pencerahan luar biasa bagi batin saya di akhir pekan.
Video acara ini bisa dilihat dibawah:
subhanallah…saya juga ikut tersihir Daeng…
indonesia butuh generasi penerus beliau!
lam kenal daeng.
@Maya, salam kenal juga dan terimakasih atas komentarnya. Ya, sosok Pak Jacob memang layak jadi panutan kita khususnya dalam soal
kesederhanaan, kerendahatian dan semangat pantang menyerah. Saya sangat kagum pada filosofi hidupnya yang begitu membumi dan humanis
http://www.youtube.com/watch?v=mTp-OxfkCao
Assalamu alaikum wrwb
Salam kenal daeng……
sangat terkesan sekalika baca tulisan-tulisanta,kyx mauka jg bisa menulis seperti kita
waktu kecil sy sering pergi mancing dekat rumahta di”balang tonjong” antang,
Pingback: MENIKMATI INTERAKSI DAN MERAYAKAN JURNALISME WARGA DI KOMPASIANA – Catatan Dari Hati