KISAH MUDIK 2010 (3) : MALAM TAKBIRAN YANG MERIAH & SHOLAT IED YANG SYAHDU
Tiba di rumah mertua, saya langsung meluruskan badan yang pegalnya minta ampun setelah duduk hampir 20 jam di mobil. Punggung saya sakit sekali dan saya langsung minta bantuan adik ipar saya, Ahmad, untuk mencarikan tukang pijat kampung. Tak lama kemudian, mbah Sugeng datang. Meski sudah tua, kehandalan mbah Sugeng sebagai tukang pijat disana tak diragukan lagi. Ia memiliki banyak pelanggan dan konon mengetahui titik-titik pemijatan yang menyembuhkan.
Tak ayal, saya pun menjalani ritual pijat yang nikmat. Tangan kekar mbah Sugeng dengan terampil memijat badan saya yang remuk redam ini dengan lancar. Saya jadi merem melek keenakan. Bahkan sempat tertidur pulas. Khusus di bagian punggung, pijatannya diberikan efek tambahan khusus untuk memulihkan rasa pegal. Badan terasa bugar kembali.
Malam harinya, kami sekeluarga menikmati malam takbiran di kawasan Malioboro Yogya.
Suasananya sangat ramai dan meriah. Iring-iringan pawai sejumlah sekolah dengan pakaian berwarna-warni serta “maskot” yang khas sungguh semarak.
Ada yang memukul bedug kecil atau genderang, bahkan ada yang membawa peralatan Marching Band komplit.
Gema takbir, tahlil dan tahmid menggema di udara.
Bersahut-sahutan. Begitu menggetarkan.
Tanpa sadar, mata saya berkaca-kaca. Saya teringat malam takbiran di Makassar bersama kedua orangtua saya dulu yang tak kalah meriahnya. Saya masih ingat betul, di malam takbiran itu, aroma opor ayam dan sambal goreng hati dari dapur tercium tajam dan membangkitkan selera. Saya dan adik-adik saya begitu antusias menyiapkan baju yang akan dipakai sholat Ied keesokan harinya, serta tentu saja tak lupa mempersiapkan ketupat yang kami masak sendiri dalam sebuah panci besar.
Sepanjang jalan pulang dari Malioboro, kami terus menemui iring-iringan pawai takbiran yang begitu semarak. Kedua anak saya sangat senang menyaksikan sensasi pawai takbiran tersebut. Dua tahun sebelumnya, kami merasakan sensasi serupa di Yogya dan ketika itu kami sampai ke alun-alun Keraton Yogya. Di Takbiran 2010 kali ini,kami memilih untuk tidak kesana mengingat padatnya arus kendaraan juga kondisi badan kami yang masih letih.
Keesokan paginya, sambil berjalan kaki ramai-ramai, kami menuju lapangan Tegaltirto Berbah untuk menunaikan sholat Ied. Kebetulan tidak hanya kami sekeluarga, ada juga keluarga kakak Ipar saya (ayah dan ibu Nia) mas Saman dan mbak Surat serta Dwi (adik Nia) yang ikut mudik ke Yogya. Mereka sudah tiba 2 hari sebelum kami tiba dengan menumpang kereta api.
Bertindak sebagai Imam dalam Sholat Ied adalah seorang mahasiswa S3 asal Al-Jazair yang sedang menimba ilmu di Universitas Muhammadiyah Yogya dan sebagai Khatib Bapak Drs.Hamid. Bacaan Imam yang begitu fasih membacakan ayat-ayat suci Al Qur’an menambah suasana syahdu pelaksanaan sholat Ied.
Tiba kembali dirumah, kami lalu melakukan ritual berupa sungkem pada orang tua sebagai wujud penghormatan dan memohon ampun atas segala dosa dan keikhlafan yang pernah kami lakukan di waktu lalu. Suasana haru terasa begitu kental. Dan rona kebahagiaan terlihat di wajah kedua ayah dan ibu mertua saya, yang gembira, dua diantara enam anaknya (serta keluarga) dapat pulang berlebaran di Yogya.
Setelah berfoto bersama, kami lalu menyantap hidangan khas Idul Fitri ala Yogya, yaitu Ketupat, Opor Ayam dan Gudeg. Rasanya memang beda dan nikmat sekali. Tak berapa lama kemudian, rombongan keluarga dan kerabat datang bersilaturrahmi kerumah. Suasana menjadi begitu ramai dan semarak.
Seusai sholat Jum’at di mesjid belakang rumah (yang khotbahnya pakai bahasa Jawa Kromo Inggil yang artinya sama sekali tidak saya mengerti), kami sekeluarga gantian bersilaturrahmi di rumah keluarga di Sindang Tirto (sekitar 2 km dari rumah). Sungguh ini nuansa Idul Fitri yang mengesankan dan akan selalu dirindukan.
Bersambung..
membaca artikel ini, saya jadi ingin sekali mengulang waktu lebaran lalu… Thanks pak, artikelnya bagus-bagus..:’)