Sebulan lalu, Ahmad, adik ipar saya datang membawa berita gembira. Ia akhirnya menemukan sepeda onthel bekas pesanan saya di Yogya dan rencananya akan membawakan langsung ke rumah bersamaan dengan mobil adik ipar saya yang lain, Kuwad (kakak Ahmad). Kuwad yang bertugas di Brigif Jayasakti Cijantung kebetulan pulang liburan ke Yogya dan kesempatan bagus itu digunakan untuk membawa sekalian sepeda onthel bersama mobil Suzuki APV-nya.
Dan begitulah, sepulang mengikuti kegiatan arung jeram di Sungai Citarik, Sabtu 30 April 2011 saya sangat senang menyaksikan sepeda onthel saya itu sudah nangkring dengan indahnya di garasi rumah. Walau sepeda bekas, kondisinya masih lumayan terawat. Mulai dari rangka, ban, sistem pengereman, sadel dan konstruksi sepeda secara keseluruhan cukup bagus meski memang ada karat disana-sini.Lampu sepeda yang dilengkapi dinamo kecil dan ditenagai oleh putaran roda sepeda masih tersedia.
Saya sangat gembira dan tanpa menghiraukan rasa capek mengikuti arung jeram dan lelahnya menempuh perjalanan macet Sukabumi-Cikarang, dengan antusias langsung menaiki sepeda onthel itu berkeliling-keliling didepan rumah. Senang sekali rasanya mengayuh sepeda tua tersebut dengan badan tegak diiringi suara derit pedal berpadu dengan roda besar yang berputar mantap.
Teringat masa kecil di Maros 30 tahun silam, penjual ikan Mairo (teri) langganan keluarga kami yang selalu menggunakan sepeda onthel sebagai kendaraan pengangkut dagangannya. Saya begitu terkesan pada sosok sepeda onthel yang kokoh dan terlihat klasik serta eksotik itu. Gagah sekali terlihat Daeng Pudding (demikian saya selalu menyapanya) menjajakan dagangannya sembari berteriak lantang : “Mairoooo…. Mairoooo”  🙂
Setiap kali mudik ke rumah mertua saya di Yogya, saya tak pernah lupa untuk menaiki sepeda ontel disana. Berkeliling menyusuri pinggir sawah, menikmati hamparan kehijauan sambil membiarkan angin semilir nan sejuk menerpa wajah. Sungguh sebuah pengalaman hidup yang tak terlupakan.
Saya lalu mencoba menelusuri lebih dalam sosok dan sejarah sepeda Onthel yang legendaris seperti yang tertera di link ini:
Sepeda Onthel atau juga terkadang disebut sebagai sepeda unta, sepeda kebo, atau pit pancal adalah sepeda standar dengan ban ukuran 28 inchi yang biasa digunakan oleh masyarakat perkotaan sampai tahun 1970-an. Berbagai macam merek sepeda onthel dari berbagai negara beredar di pasar Indonesia. Pada segmen premium terdapat misalnya merek Fongers, Gazelle dan Sunbeam. Kemudian pada segmen dibawahnya diisi oleh beberapa merek terkenal antara lain seperti Simplex, Burgers, Raleigh, Humber, Rudge, Batavus, Phillips dan NSU.
Kemudian pada tahun 1970-an keberadaan sepeda onthel mulai digeser oleh sepeda jengki yang berukuran lebih kompak baik dari ukuran tinggi maupun panjangnya dan tidak dibedakan desainnya untuk pengendara pria atau wanita. Waktu itu sepeda jengki yang cukup populer adalah merek Phoenix dari China. Selanjutnya, Sepeda jengki pada tahun 1980-an juga mulai tergeser oleh sepeda MTB sampai sekarang.
Sepeda Onthel kemudian pada tahun 1970-an secara perlahan lebih banyak digunakan oleh masyarakat pedesaan dibanding diperkotaan. Namun pada akhirnya karena usia dan kelangkaan, sepeda onthel telah berubah menjadi barang antik dan unik. Mulailah situasi berbalik, sepeda onthel yang dulunya terbuang, sekarang pada tahun 2000-an justru diburu kembali oleh semua kalangan mulai dari pelajar, mahasiswa sampai pejabat. Orang Jawa mengatakan inilah “wolak-waliking jaman”.
Sepeda onthel dalam dunia sepeda internasional diklasifikasi sebagai Dutch old style bicycle. Sepeda dengan ban ukuran diameter 28 nchi, kemudian menggunakan rangka 57, 61 atau 66 cm adalah cocok dengan perawakan orang-orang Belanda yang konon terkenal sebagai bangsa Eropa yang memiliki tinggi badan tertinggi dibanding bangsa-bangsa Eropa lainnya.
Di Indonesia, tipe sepeda ini memiliki banyak nama alias seperti sepeda kebo, sepeda unta dan sepeda jawa. Menurut www.dutchbikeseattle.com, Sepeda onthel memiliki varian-varian berdasarkan gender, fungsi dan bentuk. Berdasarkan gender, sepeda onthel dibedakan menjadi sepeda pria (heren atau opa fiets) dan sepeda wanita (dames atau oma fiets). Secara sederhana, opa fiets dikenali dari bentuk rangka horizontal, sedangkan oma fiets dikenali dari bentuk rangka yang melengkung ke bawah.
Merek sepeda yang saya miliki saat ini adalah Phoenix. Dari soal type, sesuai informasi diatas nampaknya type sepeda saya adalah Oma Fiets. Saya lalu mencari nomor rangka sepeda yang ternyata berada dibawah sadel. Setelah mencatat saya lalu memasukkan data nomor rangka itu pada situs www.sepedaonthel.com dan ketahuanlah, sepeda saya ini diproduksi tahun 1968 atau 43 tahun silam. Wow!
Memiliki sepeda antik ini membuat saya kian betah bermain sepeda bersama kedua anak saya, Rizky dan Alya berkeliling sekitar kompleks. Semula memang agak canggung karena sadelnya lumayan tinggi. Kadang-kadang bokong sempat nyangkut dulu baru mendapatkan posisi ergonomis. Kalau sudah begitu, istri dan kedua anak saya tertawa terpingkal-pingkal. Lama-lama juga menjadi terbiasa. Dan saya menikmati prosesi mengendarai sepeda Onthel ini. Menjadi bagian dari gaya hidup sehat, bebas polusi dan membuat kita selalu bersemangat meniti hari demi hari dalam kehidupan ini. Tetap bergerak dalam spirit harmoni. Sama seperti apa yang diungkap oleh Ilmuwan terkenal Albert Einstein : “Life is like riding a bicycle, to keep your balance you must keep moving.”














sepeda-nya merk apa mas? keliatannya produksi dari phoinex? sepeda yang keren tuh..
Betul mas, sepedanya merk Phoenix buatan tahun 1968 🙂
Rusa pengen sepedaaa beliin pakkk 🙂
Hebat…mantap…saya juga punya sepeda onthel lama merk The Mister punya bapak dahulu…sekarang saya rawat baik2 krn teringat jasa2nya yang luar biasa pada kami sekeluarga…apalagi jalan2 sore dengan onthel, hem sungguh asyik…Onthel lama memang Sangat Eksotis…!!!