KISAH PERJALANAN KE PERTH (1) : NIKMATNYA KULINER NUSANTARA DI NEGERI ORANG
Saya tiba di Perth, hari Minggu sore dengan pesawat Garuda Indonesia GA 724. Penerbangan langsung dari Jakarta yang ditempuh selama kurang lebih 4 jam menuju Perth ini rasanya tidaklah terlalu melelahkan. Mungkin karena antusiasme saya yang meningkat beberapa kali lipat mengunjungi bagian Barat benua ini plus hiburan film diatas pesawat yang tidak membosankan, membuat saya begitu menikmati serta menghayati perjalanan. Cuaca sedikit mendung saat itu dan desir angin dingin bertiup sesaat setelah kami keluar dari area kedatangan Perth International Airport. Saya merapatkan jaket. Menggigil. Dalam hati, saya berharap bisa segera tiba di hotel dan segera menyeduh teh hangat.
Tak lama kemudian gerimis turun membasahi area tempat kami berdiri. Bergegas, kami menuju ke pangkalan taksi yang terletak tak jauh dari situ. Dua kawan perempuan saya, Weny dan Erni terlihat menggigit bibir menahan dingin yang seakan mampu “menembus” jaket tebal yang kami kenakan. Suasana terasa hangat saat kami duduk didalam taksi Alphard yang berkapasitas 7 tempat duduk ini. Setelah menyebutkan tujuan, taksipun meluncur meninggalkan bandara menuju Hotel.
Sepanjang perjalanan menuju hotel, sang supir yang berkebangsaan India ini berkisah tentang salah satu sosok India fenomenal yang dikenalnya dan berasal dari Indonesia. “Mr.Punjabi, right? He’s famous film producer in Indonesia, if I not mistake. Do you know him?” katanya antusias. Kami mengangguk-angguk setuju. Mungkin karena sebagian besar dari kami adalah penggemar sinetron-sinetron yang pernah diproduksi oleh Raam Punjabi ini :). Suasana hangat didalam taksi membuat kami terasa lebih nyaman. 20 menit kemudian, akhirnya kami sampai juga ditempat kami menginap di Fraser Suites.
Setelah Check-In, saya menuju kamar 1207 kemudian mandi, berpakaian, saya kemudian memeriksa beberapa jaringan sosial media dimana saya aktif didalamnya. Saya mendadak terkejut, saat ada DM (Direct Message) di twitter dari Abdullah Sanusi, adik sesama redaksi pengelola Surat Kabar Kampus “Identitas” UNHAS yang ternyata saat itu sedang menempuh kuliah jenjang doktoral bidang management strategy di Curtain University. “Sejam lagi saya jemput ya,kak ” kata Doel–begitu panggilan akrabnya–dalam pesan DM-nya. Saya melonjak gembira. Tidak hanya karena bisa jumpa lagi dengan Doel sejak 6 tahun berlalu sejak kami pertama ketemu, namun juga saya merasa beruntung ada kawan di negeri orang yang bisa menjadi tempat bertanya tentang banyak hal di Perth. Doel memang sudah 2 tahun menempuh pendidikan di kota kecil ini dan rencana pada 21 September mendatang akan memboyong anak dan istrinya dari Makassar.
Sejam kemudian, saya menerima pesan DM lagi di Twitter bahwa Doel sudah ada di lobi hotel. Saya bergegas turun dan menemui Doel yang ketika itu datang bersama kawannya, sesama mahasiswa Indonesia. “Apa kabar nih Doel? Bagaimana kuliahnya?”, sapa saya hangat sambil bersalaman. “Baik kak, Alhamdulillah, saat ini sedang persiapan disertasi Doktor saja. Yuk kita makan malam,”balas Doel seraya tersenyum. Kami lalu bergegas menuju mobilnya yang diparkir tepat di seberang hotel.
“Kita makan di Nandos Victoria Park ya. Di pesawat kan’ sudah merasakan masakan Indonesia, sekarang mari coba sensasi rasa baru”, kata Doel yang mengendarai kendaraannya di jalanan yang sepi. Saya melirik jam, baru pukul 19.30 dan suasana begitu lengang. “Hari Sabtu dan Minggu disini benar-benar dimanfaatkan sebagai hari keluarga. Bahkan banyak mal dan toko yang tutup. Oya disekitar Victoria Park ini, banyak rumah makan Indonesia seperti Bintang & Batavia Corner,” ujar Doel saat kami memasuki halaman Rumah Makan Nando’s. Kami memesan ayam panggang khas Nando’s dilengkapi dengan kentang goreng.
Saya takjub melihat potongan ayam panggang yang dilumuri saus special ala Nando’s berukuran lumayan besar. Suasana dingin membuat rasa lapar saya terbit. Tak ayal, kami pun segera menghabiskan hidangan yang disajikan dengan lahap.
Seperti dijelaskan disini , Nando’s adalah rangkaian rumah makan siap saji yang berasal dari Afrika Selatan yang menyajikan makanan bernuansa Portugis. Nando’s menyediakan ayam goreng dengan lemon dan herbal, dengan tingkat kepedasan sedang, pedas atau ekstra pedas yang direndam dengan saus peri-peri (dikenal sebagai Galinha à Africana).
Selain ayam, Nando’s juga menyediakan makanan lain seperti nasi pedas, kentang goreng (dengan garam dapur, atau bumbu peri-peri), asinan, jagung bakar, couscous, roti gulung dan salad. Di Australia, Bangladesh, Kanada, Indonesia, Kuwait, Lebanon, Malaysia, Selandia Baru, Pakistan dan Inggris Raya kebanyakan restoran dicap sebagai halal. Begitu juga dengan Nando’s yang berada di negara Muslim yang juga halal. Sedangkan sebuah restoran Nando’s di Afrika Selatan dicap sebagai kosher. (Savoy Kosher Nando’s).
Nama Nando’s berasal dari nama Fernando, nama sang pendiri Nando’s, yaitu Fernando Duarte. Bersama dengan sahabatnya, Robert Brozin, mereka membeli sebuah restoran bernama Chickenland di Rosettenville, dekat Johannesburg di tahun 1987 yang merupakan restoran pertama Nando’s. Nando’s juga kadang disebut Nando’s Chickenland. Kami sengaja memesan sajian dengan level pedas maksimal alias “Extra Hot”. Alhasil, cukup lumayan melerai dingin. Kami berhasil keringatan kepedasan saat menyantap hidangan ini 🙂
Dari Nando’s saya diajak mengunjungi rumah kontrakan Doel tak jauh dari tempat kuliahnya di Curtin University. Doel menempati satu paviliun tersendiri dibelakang dari rumah inti yang memiliki 4 kamar. “Sengaja saya ambil terpisah dari rumah induk supaya nanti bisa ditempati oleh istri dan anak saat mereka kesini bulan depan,”kata Doel. Kamar kontrakan Doel cukup luas dan dilengkapi sebuah dapur mini. “Beginilah kak, romantika jadi mahasiswa di negeri orang,” seloroh Doel sambil tersenyum. Saya lalu diantar kembali ke hotel sesudah itu.
Keesokan harinya, Senin (26/8), saya bersama 5 kawan lainnya (Irfan, Weny, Erni, Ichwan dan Kristiono) berangkat menuju kantor kami Cameron Services International di Kewdale. Dengan taksi, ditempuh dalam waktu sekitar 15 menit. Disana, selama 2 hari kedepan, kami akan mengikuti training singkat dan demonstrasi sistem ERP (Enterprise Resource Planning) berbasis SAP baru yang rencananya akan “go live” awal Oktober mendatang. Kami berenam adalah “Super User” yang akan bertugas sebagai pemandu dan pengguna utama saat program ini berjalan di kantor kami di Bekasi. Sekitar 50-an peserta hadir dalam kesempatan ini, tak hanya kami berenam dan tuan rumah dari Perth, namun datang juga sejumlah peserta dari berbagai negara di kawasan Asia Pasific khususnya divisi V & M (Valve & Measurement) antara lain Malaysia, Singapore, Korea dan China. Bahkan hadir pula satu perwakilan dari Dubai.
Menu makan siang yang disiapkan ternyata hanya Roti Sandwich dan salad. Kami menghindari untuk makan yang non halal dan ternyata oleh panitia memang dipisahkan di tempat tersendiri. Kami makan roti sandwich isi sayur dan telur. “Kalau kayak gini, kurang “nendang” nih, masih lapar,” seloroh Ichwan sambil berbisik. “Iya, saya kok tiba-tiba kangen nasi goreng,” sahut saya sambil nyengir.
Malam harinya, kami “balas dendam”. Seusai mandi, kami segera berangkat menuju Victoria Park, dengan sasaran utama: Rumah Makan Bintang dan Batavia Corner, sesuai rekomendasi Doel sebelumnya. Saat bermaksud untuk masuk ke Rumah Makan Bintang, ternyata sudah penuh, kami kemudian pindah ke Batavia Corner yang letaknya hanya 20 meter dari sana. Letak Rumah Makan ini memang berada di ujung perempatan jalan. Cukup lapang dan saat itu sedang sepi. Saya langsung memesan nasi goreng ayam untuk “melampiaskan” kangen yang melanda dan lapar yang mendera sejak siang. Teman-teman ada yang memesan Sop Buntut, Soto Ayam dan juga Bakso Goreng. Harganya berada di kisaran AUD 10-AUD 12. Porsi nasi gorengnya sendiri menurut saya, porsi “raksasa”. “Ini nasi goreng ala bule nih,” ujar Erni geleng-geleng kepala takjub saat menyaksikan “gunungan” nasi goreng saya. Dari Batavia Corner, kami menyempatkan diri berjalan kaki menyusuri kawasan Victoria Street yang tidak hanya merupakan kawasan wisata kuliner namun juga perbelanjaan. Sayang, sebagian besar tokonya sudah tutup.
Di hari kedua, Selasa (27/8), kami kembali menyambangi restoran Indonesia di kawasan Aberdeen Street. Nama rumah makannya adalah “Tasik”. Kali ini tidak hanya kami berenam namun juga bersama-sama teman-teman dari berbagai negara, yaitu Diana (Perth), Margareth Chen (Cina), Noorfieza (Malaysia) & Joyce (Singapore). Sebelum ke tempat ini, sepulang kantor kami menyempatkan diri dulu jalan-jalan ke Mal Carrousel. Di restoran ini saya memesan Soto ayam dan lumpia goreng. Teman-teman yang lain ada yang memesan sop buntut, gado-gado, ikan bakar dan jahe hangat. Rasanya sungguh istimewa, nyaris tak ada bedanya dengan soto ayam di Indonesia. Bedanya lagi-lagi, porsinya lumayan besar !. Alhamdulillah, senang sekali bisa merasakan kuliner Nusantara di negeri orang !
(BERSAMBUNG)
Biasanya bangga ya mas kalau nemu makanan Indonesia di negeri lain, tapi buat yang udah kelamaan di negeri asing, yang terbit adalah rasa rindu yang amat sangat. Rindu kampung halaman, jadi pingin mudik.