MERAWAT BANGSA, BUKAN DENGAN SLOGAN (Kompas Siang,14 Agustus 2013)
Catatan:
Ini adalah kali kedua tulisan saya dimuat di rubrik FORUM Kompas Siang, setelah sebelumnya dimuat tanggal 6 Agustus 2013 (baca disini)
Saya kembali menulis dan dimuat di rubrik yang sama di Kompas Siang tanggal 14 Agustus 2013 dalam rangka menyongsong HUT RI ke 68.
Silahkan baca artikel selengkapnya dibawah ini:
Gelora Romantik Agustusan dengan alunan suara melankolis “selendang sutera” atau “sepasang mata bola” di hari-hari menjelang peringatan kemerdekaan republik ini terasa tenggelam dibalik gemuruh lagu “Goyang Caisar” atau “Aku Memilih Setia”-nya Fatin X-Factor.Juga hiruk pikuk dunia infotainment yang mengabarkan artis ini baru saja bercerai dan artis itu sedang menjalin hubungan kasih dengan artis yang lebih muda Belum lagi geliat aktif komunikasi online dengan koneksi internet yang sungguh cepat, menghubungkan seseorang dengan orang lain di benua lain, layaknya bercakap berhadapan wajah.
Tak hadir lagi kenaifan seorang pemuda tanggung yang baru pertama kali menggenggam bedil, dan karena itu dia salah tembak sasaran. Jiwa sang pemuda dibakar oleh semangat yang dipompakan oleh pidato-pidato Bung Karno. Atau tak ada lagi sejenis kisah asmara yang terukir dari kiriman surat cinta di garis depan yang mengalir ke dapur-dapur umum lewat kurir bersama “setumpuk dokumen rahasia pasukan” sebagai katarsis dari kepenatan dan pengapnya asap revolusi. Semua sudah menjadi “fosil”dalam kerangka kesadaran ke-Indonesia-an. Lenyap bersama surutnya ideologi kolonialisme dan imperialisme barat atas bangsa-bangsa timur.
Sayangnya, perubahan itu tak selalu menggembirakan.
Wujud Indonesia dalam kesadaran kitapun menjadi lain. Dia,tak lagi berupa gugus-gugus yang mesti dipertahankan secara fisik dari pijakan penjajahan asing. Tak lagi berupa sebuah teritori kesadaran yang terancam karena ada helai-helai hegemoni menyelusup ke file-file kesadaran kita dan kemudian adalah virus yang dapat merobek sendi tulang, bahkan sumsum kebangsaan.
Sebagai bangsa, Indonesia serta merta menjelma menjadi kerja keras membangun kehidupan ekonomi, menata kehidupan politik, menyaksikan perjalanan budaya : Sesuatu yang senantiasa mesti diberi legitimasi historis dari apa yang disebut sebagai “semangat juang ’45? berdasarkan acuan tunggal bernama UUD 1945 yang dibingkai oleh kesadaran ber-Pancasila.
Dari sini akan timbul pertanyaan, apakah masih relevan mengedepankan aspek historis yang lahir dari kancah revolusi fisik tersebut untuk menjadi sumber motivasi dan inspirasi justru ditengah kecamuk keterbukaan dunia yang kian menyempitkan pilihan-pilihan kita untuk bisa tetap bertahan?
Tentu tak semudah itu. mentransformasikan kesadaran era 45-an yang disemangati oleh api nasionalisme kepada kenyataan kontemporer yang berpijak pada bara modernisme, globalisme bahkan post modernisme. Pada gilirannya, modernisme pun “mengkhianati” nasionalisme 45-an itu dengan “putra bungsu” bernama Globalisme.
Bangsa inipun menjelma tidak sekedar sebuah “Nation” dengan negara sebagai perwujudan strukturnya : sesuatu yang kemudian memudahkan kita sebagai bangsa diatur dan dikendalikan semata-mata oleh negara, yang membawa kita membela dan mempertahankannya di tengah revolusi fisik.
Saat ini, Pasar dan Media Massa menjelma menjadi “struktur” lain yang kemudian menggusur kokohnya “Nation” itu bahkan hingga sampai ke tingkat kesadaran. Bagaimana kiranya nasib “nasionalisme” (juga patriotisme) pada kenyataan ini? Logika pasar dan juga media massa jelas-jelas sangat berbeda dengan logika bangsa yang mengedepankan persatuan, keutuhan, kesatu paduan.
Era Globalisasi yang muncul menderu-deru, menjelma menjadi sebuah hegemoni baru, yang ternyata tidak lagi biadab seperti era Kolonialisme dan imperialisme, melainkan sangat “beradab” dan bekerja secara halus serta perlahan tapi pasti menggerogoti tulang sum-sum kebangsaan kita.
Bagaimana kita menyikapinya? Tentu saja kita mesti memaknai perjuangan membangun bangsa ini dengan tetap mengedepankan persatuan dan kesatuan dalam berbagai pilar kehidupan. Menegakkan supremasi hukum, melawan korupsi, tulus berbagi, jujur, bertanggung jawab serta rajin dalam bertindak, tegas dalam menerapkan peraturan dan senantiasa berpegang teguh pada ajaran agama yang dianut, merupakan langkah-langkah strategis yang bisa diterapkan untuk mencapai masyarakat yang sejahtera. Harapan kita semua, semua ini tak sebatas slogan namun juga sebuah tindakan untuk merawat, menyelamatkan dan membanggakan bangsa ini dengan segenap kemampuan yang kita punya.
Dirgahayu Indonesiaku!
Amril Taufik Gobel
Blogger (www.daengbattala.com)
inspiratif sekali Daeng Battala,
salam kompasianer dr Makassar
Terimakasih juga daeng Iman, salam dari kompasianer cikarang juga 🙂
Nice article kak Amril…Indonesia layaknya terlahir kembali, mengalami reinkarnasi pada Tahun 1998 dan mulai memasuki babakan baru, yakni ‘reformasi’ dan ‘demokrasi’, tidak seperti Amerika Serikat yang sudah mapan dalam berdemokrasi dalam kurun waktu lebih dari 100 tahun, Indonesiaku masih seperti anak SMP kelas 3 yang belum betul-betul memahami esensi demokrasi dan bagaimana menjalankan demokrasi dengan benar, iya…kita masih meraba-raba bentuk demokrasi yang “fit” untuk menjalankan roda pemerintahan dan roda perekonomian bangsa. Perlahan tapi pasti, Indonesia is learning and keep on learning, di suatu masa Indonesia akan menjadi the Greatest Indonesia in term of economic growth and welfare for all Indonesian People di bumi tercinta Indonesia.