Pagi itu, ayah saya mendapat telepon, salah satu anggota kerukunan keluarga Gorontalo ada yang meninggal dunia dan akan dimakamkan di RMD (Rumah Masa Depan), kompleks pemakaman keluarga Gorontalo yang berada di Antang dimana ayah saya menjadi pengurusnya. Dengan sigap, ayah langsung berkoordinasi dengan pengelola RMD termasuk tukang gali kubur untuk mempersiapkan segala sesuatunya untuk pemakaman anggota tersebut yang rencananya dilaksanakan seusai sholat Dhuhur.
Kami lalu bersiap menuju lapangan Bitoa yang berjarak lebih kurang 200 meter dari rumah untuk melaksanakan ibadah Sholat Idul Fitri dengan berjalan kaki. Kebetulan saat itu, Yayu dan keluarganya sholat Idul Fitri di tempat terpisah di rumah mereka di daerah Borong Raya (letaknya kurang lebih 3 km dari rumah orang tua saya di Antang). Rizky dan Alya begitu antusias untuk mengikuti Sholat Idul Fitri, mereka sudah menyiapkan pakaian terbaik. Alya mengenakan busana Kaftan “Syahrini” berwarna merah hati kesayangannya
Lapangan Bitoa sudah semakin ramai oleh Jamaah. Ayah, saya dan Rizky duduk dibarisan ketiga. Rumput lapangan terlihat basah sisa hujan semalam. Untunglah kami membawa koran sebagai alas sajadah. Cuaca begitu bersahabat pagi itu. Matahari bersinar cerah, seceria hati kami semua menyambut dengan suka cita datangnya hari kemenangan ini. Saya menerima naskah materi khotbah Idul Fitri yang akan dibawakan oleh Ustadz Drs.Hamdja.H.Machmud dengan tema “Dimensi Idul Fitri Mengembalikan Kemuliaan Umat”.
Tepat pukul 07.00 Sholat Idul Fitri dilaksanakan secara khidmat dan khusyuk. Suara imam sholat Idul Fitri terdengar begitu indah dan syahdu. Setelah itu tampil khatib Ustadz Drs.Hamdja.H.Machmud menyampaikan khotbah. “Dimensi Idul Fitri bermakna pada kepedulian sosial, dimana kita merayakan Hari Kemenangan ini dengan penuh suka cita namun tak lupa pula berbagi kepada pihak yang kurang beruntung yaitu, Fakir Miskin dan Anak Yatim sebagai bagian dari upaya kita “membersihkan harta” yang kita miliki serta menunaikan kewajiban kita seperti yang telah diperintahkan oleh agama,” kata Pak Ustadz Hamdja bersemangat.
“Untuk itu,” lanjut beliau lagi,”Zakat, Infaq dan Sedekah menjadi komponen penting dalam upaya memberdayakan kepedulian sosial Umat ini, agar kesejahteraan dan kebahagiaan bisa dirasakan bersama tanpa kecuali, yang muaranya adalah kepada kemaslahatan dan kemuliaan umat secara keseluruhan”.
Usai khotbah Idul Fitri saya langsung menjabat tangan dan memeluk erat ayah saya sembari memohon maaf atas segala kesalahan dan kekhilafan yang pernah terjadi. Rizky pun demikian. Ia segera mencium tangan dan pipi saya sembari memohon maaf lahir dan batin. Kami juga bersilaturrahmi pada sebagian besar jamaah yang hadir di lapangan Bitoa.
Sesampainya dirumah, kami kembali saling bersalam-salaman dan mengucapkan maaf dalam suasana kebersamaan yang kental. Tak lama kemudian, keluarga Yayu datang dan ikut bergabung. Keharuan melingkupi rumah kami saat itu tatkala keindahan harmoni idul fitri menggema dalam nuansa kekeluargaan. Kami lalu berfoto bersama, mengabadikan momen berharga ini, setelah itu kami menyantap hidangan yang sudah disiapkan. Ada ketupat, burasa’, Kuah Bugis, Mie Goreng, Sambal Goreng Hati dan sayur buncis. Pokoknya semua hidangan yang menggugah selera.
Seperti yang sudah diduga sebelumnya, “serbuan” tamu dari keluarga di Makassar berdatangan ke rumah. Ayah saya memang menjadi sesepuh dari komunitas keluarga Gorontalo “Heiya” di Makassar, sehingga rumah kedua orang tua saya di Antang senantiasa menjadi sasaran pertama dan utama dari kunjungan keluarga. Senang sekali rasanya bisa berjumpa dengan sejumlah keluarga yang lama tak bertemu. Kami saling bersilaturrahmi dan bertukar cerita tentang banyak hal. Sungguh ini lebaran yang indah dan berkesan.
(bersambung)




Ternyata orang antang q juga daeng, orangtua saya di blok 8. Mungkin ada typo di tulisan ini, soal “setelah shalat jumat”.
Salam…
Terimakasih mas, menarik ceritanya…