WISATA BUDAYA MADURA (3) : KEHEBOHAN PAGELARAN SENI TARI TOPENG DI TENGAH SAWAH
Senja melingkupi ibukota Kabupaten Sumenep saat rombongan Cultural Trip Potret Mahakarya tiba. Bis yang membawa kami memasuki halaman hotel C1 tempat kami kelak akan menginap. Saya menyempatkan diri meluruskan pinggang setelah duduk di kursi bis selama kurang lebih 2,5 jam sejak berangkat dari Tanjung Bumi.
Selain hotel C1, ada hotel Family Nur yang letaknya berseberangan juga digunakan sebagai tempat menginap rombongan kami. Kebetulan saya diberikan tempat satu kamar bersama mas Danan Wahyu–salah satu pemenang lomba blog Potret Mahakarya–dikamar 26. Saat memasuki kamar, kami berdua sempat saling berpandangan bingung, soalnya tempat tidur yang tersedia adalah King Bed berukuran besar bukan Single Bed terpisah. “Wah, jangan sampai tempat tidurnya roboh nih ditempati kita berdua,” kata saya berseloroh mengingat badan kami berdua sama-sama montok menggemaskan :).
Setelah mandi dan berpakaian, kami segera menuju ke Hotel Family Nur dengan berjalan kaki. Disana sudah tersedia hidangan makan malam dengan kuliner khas Madura yang luar biasa : Kaldu Kokot !. Terus terang ini pertama kalinya saya melihat penampakan kaldu yang terdiri atas campuran daging dan kikil dengan santan kental plus kacang hijau.
Tampilan kaldu Kokot ini sungguh sangat mengundang selera. Tak ayal, dalam waktu singkat, sayapun segera menghabiskan seporsi kaldu Kokot bersama 5 potong lontong dan sebuah kroket sebagai hidangan makan malam. Yang sangat mengesankan adalah, didalam Kaldu Kokot ini terdapat rebusan kacang hijau yang kian menambah sensasi keunikan kuliner khas Madura ini. Tak lama kemudian kawan-kawan dari Komunitas Blogger Madura, Plat M, tiba di ruang makan Hotel Family Nur dipimpin oleh mas Wahyu Alam dan mas Slamet. Mereka akan ikut bersama rombongan kami untuk menikmati pagelaran tari topeng Sumenep di desa Selopeng Kecamatan Rubaru.
Karena jalanan yang tidak memadai dilalui oleh bis di desa Selopeng, kami menggunakan 6 mobil beriringan. Dari hotel tempat kami menginap, lokasi acara tari topeng kurang lebih 20 km. Sekitar pukul 20.30 malam, rombongan kami tiba. Rupanya daerah tempat pelaksanaan acara ini berada di pelosok desa dan diselenggarakan di tengah sawah. Mobil kami melintasi jalan kecil di kampung yang gelap dan hanya pas untuk dilewati satu mobil saja. Sama sekali tak bisa dilalui bila berpapasan dengan kendaraan dari arah depan. Perhelatan akbar ini dilaksanakan setiap setahun sekali sebagai ekspresi rasa syukur dan selamatan memasuki musim penghujan.
Untuk menuju ke lokasi pertunjukan, kami berjalan kaki menyusuri pematang sawah yang agak basah dan becek. Sebuah panggung besar terpacak megah dengan tulisan besar “Rukun Perawas” pada bagian atasnya. Tepat didepan panggung sejumlah pemusik gamelan siap mengiringi tarian. Rencananya, tepat pukul 22.00 malam acara akan dimulai dengan 16 babak pertunjukan semalam suntuk (hingga pukul 04.00). Para penonton yang terdiri dari masyarakat seputar desa Selopeng mulai ramai berdatangan. Pesta rakyat setahun sekali ini memang merupakan salah satu daya tarik tersendiri sebagai sarana hiburan di kampung. Saya bersama teman-teman kemudian menuju ke belakang panggung menyaksikan persiapan pertunjukan.
Dibelakang panggung nampak 2 orang penari lelaki sedang ber-make-up disaksikan sejumlah orang. Disamping kedua penari ini, ditata rangkaian jenis topeng yang akan dipakai untuk menari nanti. Topeng dipahat dari balok kayu untuk mendapatkan bentuk muka,hidung,mata dan sebagainya kemudian digambar dan diukir mengikuti pola gambar dengan piol (celurit mini), kemudian proses penghalusan dan pengecatan. Watak tokohnya tergambar dari motif gambar di topeng. Misalnya, watak halus digambarkan dengan mata yang sipit, watak keras dengan mata yang lebar, sementara topeng dengan warna dasar merah menggambarkan watak jahat dan warna putih untuk watak baik. Warna dasar lain juga ada misalnya warna hijau untuk kaum Janoko atau satria dan warna hitam untuk tokoh suci atau para dewa.
Kami lalu mendengarkan cerita Pak Merto seorang Maestro seni wayang topeng Sumenep yang berusia 50 tahun. Beliau bercerita bahwa grup tari topeng Rukun Perawas ini beranggotakan 35 orang yang terdiri atas penari, grup musik gamelan (pengrawit) dan kru panggung. Rukun Perawas berdiri sejak tanggal 9 September 1659. Pada setiap pertunjukan grup ini membawa 43 topeng untuk dipentaskan, 6 topeng diantaranya merupakan topeng tua yang usianya sudah ratusan tahun. Pak Merto mengaku membuat topeng untuk keperluan grup tarinya ini sendiri, bersama sang sepupu Pak Soleh. Khusus kepada topeng warisan, Pak Merto melakukan perlakuan spesial dengan ritual mengasapi topeng tersebut setiap malam selasa dan malam jum’at.
Tanpa terasa pertunjukan pun dimulai. Saya dan kawan-kawan bergegas menuju depan panggung dan ikut berbaur bersama penonton sambil duduk lesehan diatas tikar yang disediakan. Lampu diredupkan. Suara membahana sang presenter terdengar dari sound system canggih yang dipasang disekeliling panggung. Yang menarik adalah, efek cahaya warna-warni yang dipancarkan ke arah panggung berasal dari proyektor yang dikendalikan oleh laptop oleh operator yang duduk di dekat kami. Sungguh sebuah paduan mengagumkan antara seni tradisional dan teknologi komputer 🙂 .
DUERR !! . Tiba-tiba kami semua tersentak kaget. Suara petasan menggelegar seiring suara bariton sang presenter selesai menyampaikan acara. Saya sempat mengelus dada terkejut dan saya melihat mas Wahyu Alam dan mas Slamet tertawa terpingkal-pingkal dibelakang menyaksikan kehebohan pengantar pertunjukan ini. Iringan musik gamelan terdengar kian cepat. Layar pertunjukan terangkat perlahan-lahan. Tarian pertama berjudul Gambu Tameng dipertunjukkan oleh seorang penari Pria dengan luwes dan gagah. Disusul kemudian tari Klono yang menampilkan dua penari pria dengan gerakan lebih atraktif dan dinamis.
Saya terpukau menyaksikan pertunjukan tari topeng Rukun Perawas ditengah sawah ini. Saat melirik kesamping, saya melihat seorang lelaki tua dengan pakaian batik, kopiah dan sarung begitu serius menyaksikan adegan-adegan diatas panggung, nyaris tak berkedip. Setiap pergantian tari, kembali sang presenter dengan suara yang cettar membahana plus ledakan petasan yang mengakhirinya, menceritakan secara singkat tarian yang akan dipersembahkan. Biasanya narasi disampaikan dalam bahasa Madura, namun karena kehadiran kami dari luar daerah, narasi cerita disampaikan dalam bahasa Indonesia. Sungguh sebuah pentas seni tradisional yang unik dan sangat menghibur. Sayangnya kami semua tak bisa mengikutinya hingga selesai. Pukul 23.30 malam, rombongan kami pamit dan kembali ke hotel.
(Bersambung)
dan operatornya bawa kerdus rokok buat nutupi projektor untuk pergantian scenenya, epic banget :))
Untung si Slamet ga ikutan sekamar dengan Daeng Battala sama Danan ya. Bisa rubuh beneran itu ranjangnya :D.
Hahaha saya juga sempat kaget setengah mati waktu pertama kali merconnya bunyi
Pingback: WISATA BUDAYA MADURA (4) : KEMEGAHAN KERATON SUMENEP DAN PESONA MASJID JAMI’ YANG MENGGETARKAN / Catatan Dari Hati