WISATA BUDAYA MADURA (5) : EKSOTISME ASTA TINGGI & SENTRA PERAJIN KERIS SUMENEP YANG MENGESANKAN
Seperti diuraikan dalam buku “Asta Tinggi” karya Tadjul Arifin R yang diterbitkan oleh Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga Kabupeten Sumenep, Kompleks Asta Tinggi dibagi menjadi 7 (tujuh) kawasan yakni Kawasan Induk yang terdiri atas 4 ruang/blok berisi 3 cungkup antara lain Cungkup Tumenggung Wirasekar dan Pangeran Pulangjiwo disebelah utara atau belakang, Cungkup Pangeran Jimat dan kerabatnya di depan dan Cungkup Bindara Saud, Ratu Tirtonegoro beserta kerabatnya di sebelah timur cungkup pangeran Jimat. Sementara itu Ruang/blok II terletak di sebelah timur bagian utara berisi cungkup berkubah adalah kuburan keturunan Bindara Saud. Di Ruang/blok III terletak di bagian barat berisi pendopo Bindara Saud sebagai prasasti tanpa tulis dalam peristiwa Patih Pulangjiwo. Dan yang terakhir Ruang/Blok IV terletak di sebelah timur bagian selatan yang merupakan halaman utama juga disini terletak pintu gerbang utama untuk masuk ke kompleks Asta Tinggi. Ruang ini menghubungkan pada ruang III dan I, dengan melalui pintu gerbang bagian barat, dan menuju pada ruang II, dengan melalui pintu gerbang bagian utara.
Kawasan berikutnya adalah Kawasan Kuburan Kiyai Sawunggaling yakni seorang tokoh di zaman pemerintahan Ratu Tirtonegoro yang membela Bindara Saud kala mendapat ancaman dari Patih Purwonegoro. Kawasan ketiga adalah cungkup Patih Mangun seorang Patih yang wafat terkena meriam pasukan Inggris saat akan masuk ke Sumenep.
Kawasan keempat adalah kompleks pekuburan Kanjeng Kiyai Raden Adipati Suroadimenggolo Bupati Semarang dan mertua Sultan Abdulrahman. Kawasan kelima adalah kuburan Raden Adipati Pringgoloyo sebagai Patih pada masa pemerintahan Panembahan Sumolo dan Sultan Abdurrahman. Kawasan keenam adalah kuburan mantan Patih Sumenep Raden Tjakrasudibyo dan terakhir atau kawasan ketujuh yaitu kawasan kuburan Raden Wongsokoesumo.
Eksotisme bernuansa religi sangat kental terlihat saat kami berkunjung disini. Di sebuah pendopo besar nan teduh terdapat rombongan anak-anak dari sebuah taman kanak-kanak dibimbing sang guru dengan takzim membacakan ayat-ayat Al Qur’an secara bersama-sama. Memasuki kawasan Induk ternyata lebih ramai lagi. Rombongan peziarah yang jumlahnya saya perkirakan mencapai 200-an orang begitu antusias mendatangi kompleks makam raja-raja Sumenep ini untuk berdoa guna mendapatkan berkah.
Arsitektur bentuk makam juga relatif unik khususnya makam-makam tua yang banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu. Pengaruh kebudayaan Tiongkok terdapat pada beberapa ukiran yang berada pada kubah makam Kanjeng Tumenggung Ario Tirtonegoro, makam Kanjeng Tumenggung Ario Cokronegoro III dan makam Pangeran Pulang Djiwo. Selain itu pengaruh Arsitektur Eropa mendominasi bangunan kubah makam Sultan Abdurrhaman Pakunataningrat I dan Makam Patih Mangun yang ada diluar Asta induk. Dalam kawasan kubah makam Sultan Abdurrahman Pakunataningrat I, Seluruh bangunannya dipengaruhi gaya arsitektur klasik, kolom-kolom ionic masih dipakai dibeberapa tempat termasuk juga pada Kubah Makamnya.
Hujan mengguyur kawasan Asta Tinggi saat kami meninggalkan daerah tersebut. Kami berganti kendaraan dari bis menuju mobil yang lebih kecil karena mesti melalui jalan kampung di desa Aeng Tong-Tong yang merupakan sentra perajin keris terkemuka di Sumenep. Kurang lebih 20 menit, sampailah kami di desa tersebut. Kami disambut ramah dan disiapkan makan siang ala kampung yang sangat lezat. Mulai dari nasi jagung, ayam goreng, udang goreng, kuah cumi, plus sambal terasi dan lain-lain. Sungguh sebuah sajian yang menggugah selera terlebih saat suasana dingin seusai diguyur hujan. Tak ayal dua piring nasi dan lauknya pun ludes saya “sikat” 🙂
Setelah itu kami mendengarkan penjelasan dari bapak Fathur Rahman sebagai koordinator paguyuban pengrajin keris Mega Remang. Filosofi nama paguyuban ini diambil dari legenda masa lalu Madura yakni nama Kuda Terbang yang dikendarai oleh ksatria Joko Tole. Sentra produksi Keris di Sumenep ini termasuk yang terbesar di Indonesia dan secara turun temurun diwariskan sejak 3 abad silam. Menurut beliau sentra produksi Keris di Sumenep tersebar di 3 kecamatan yaitu Bluto, Saronggi, dan Lenteng. Di 3 kecamatan tersebut menyebar pada 14 desa. Khusus di kecamatan Bluto sendiri terdapat 345 perajin, di kecamatan Saronggi terdaftar perajin mencapai 169 orang. Di Lenteng umumnya dilakukan proses Penempaan awal (kodo’an) yang merupakan cikal bakal bahan keris. Pandai besi disana melaksanakan penempaan dengan cara tradisional.
Adalah Pak Morkak yang menjadi inspirator berkembangnya pelestarian kerajinan keris di daerah ini dengan “menyambungkan” pengetahuan pembuatan keris dari empu-empu terdahulu dengan generasi sekarang sejak tahun 1963 di desa Aeng Tong-Tong. Perkembangan industri Keris kian maju pesat. Berkat jasa beliau, akhirnya oleh Kementerian Kebudayaan dan Industri Kreatif, pada tanggal 30 November silam dinobatkan sebagai maestro keris Indonesia.
Keris Madura memiliki lok atau lekuk sejumlah 3 sampai 17. Bahkan ada pula yang mencapai 99 lok. Paling digemari keris dengan 11 atau 13 lok. Sangat berbeda dengan keris Jawa yang bermotif polos dan tak banyak ukiran, keris Madura justru begitu sarat dengan ukiran indah baik di besi kerisnya sendiri hingga warangka (gagang) maupun sarungnya.
Saya terkagum-kagum menyaksikan lekuk keris Madura dengan ukiran indah pada tepian gagangnya, termasuk sepuhan emas berkilau pada tangkai keris. Saya membayangkan tingkat kesulitan pembuatannya yang tentu membutuhkan keterampilan tersendiri.Warangka atau gagang bisa terbuat dari kayu atau gading. Pak Fathur Rahman menunjukkan beragam gaya keris yang dibuat pengrajin disana, mulai dari gaya Bali, Mataram hingga Bugis. Kreatifitas mereka dalam membuat keris sungguh memukau.
Ukiran yang tersaji sangat halus dan dibuat dengan kualitas tinggi. Tak heran bila keris buatan pengrajin disini memiliki harga yang mahal dan laris hingga ke pasar mancanegara. Semakin detail dan sulit pengukirannya termasuk sentuhan akhirnya, maka kian mahal pula harganya. Banyak kolektor keris memesan sendiri desain dan sentuhan akhir sesuai keinginannya, misalnya pada bagian gagang mesti dilapisi emas 22 karat atau 24 karat.
Saya bersama rombongan kemudian menyaksikan langsung 4 perajin keris di desa tersebut sedang bekerja. Mereka mengerjakannya secara manual dan sesekali dibantu oleh mesin gerinda penghalus jika dibutuhkan. Saya melihat salah seorang pembuat keris mengerjakan dengan tekun ukiran pada gagang keris secara terperinci hingga garis-garis terkecil dengan pahatnya. Pembuatan keris kerapkali melalui ritual tersendiri. Bila seseorang memesan keris maka biasanya diminta tanggal lahirnya agar kelak bisa dilakukan “sinkronisasi” batin dengan keris yang dipesannya itu.
Menjelang petang, kami mengakhiri kunjungan ke sentra perajin keris di desa Aeng Tong-Tong dengan meninggalkan kesan indah. Karya keris buatan anak bangsa dari Sumenep ini sungguh membanggakan dan menjadi potensi yang bisa diandalkan tak hanya meraih devisa dari hasil penjualannya namun juga menghadirkan hasil karya budaya adiluhung yang sangat mengagumkan.
(Bersambung)
info yang menarik… terimakasih
Salam Kenal
Banyak sekali kawasan kuburannya sampe 7 gitu 😀
Saya suka merinding kalo liat keris (entah kenapa), tapi baca cerita mas Amril tentang kisah dibalik pembuatannya, sepertinya mulai berkurang (merindingnya).