Mobil yang kami tumpangi membelah malam menjelang subuh, pada hari Kamis (31/7). Didalam mobil yang dikendarai Ahmad, selain keluarga saya, terdapat pula keluarga mas Sukarjana. Rizky, Alya dan Alfi, masih terkantuk-kantuk ketika kami bangunkan untuk berangkat menuju Pantai Parangtritis. Kami bermaksud mengejar fajar terbit di pantai fenomenal itu, dan–apa boleh buat–sebagai konsekuensinya tak seorangpun dari kami yang sempat mandi pagi ! :). Cukup cuci muka dan gosok gigi :). Saat menunaikan sholat subuh di mushalla pada salah satu Pompa Bensin mendekati perbatasan Bantul, Ahmad baru menyadari sesuatu yang fatal dan mungkin berpotensi membahayakan perjalanan kami semua!
Ternyata ban mobil kami kempes. Parahnya lagi, ban tersebut diisi dengan Nitrogen. Di pompa bensin yang kami singgahi untuk sholat subuh tidak menyediakan sarana pompa Nitrogen dan hanya pompa bensin didalam kota yang menyiapkan, itu pun baru buka jam 07.00 pagi. Kami tidak mau ambil resiko bahaya terjadi di jalan. Mobilpun berbalik ke arah kota. Menuju Pompa Bensin di kawasan Lempuyangan. Impian untuk menonton fajar terbit di pesisir pantai Parangtritis pupus sudah. Sambil menanti pukul 07.00 tiba, kami berkeliling menikmati suasana pagi di kota Yogya sampai akhirnya “terdampar” di pasar dekat Pakualaman. Disana kami membeli jajanan pasar dan gudeg untuk sarapan pagi. Lumayanlah, ada hikmahnya ban kempes ini, bisa menikmati gudeg pasar dalam kotak kardus yang lezat. Seusai mengisi Nitrogen di SPBU Lempuyangan, kami pun meluncur ke Pantai Parangtritis.
Matahari bersinar lumayan terik saat kami bergerak memasuki kawasan Pantai. Ahmad mengarahkan kami justru ke kawasan Pantai Depok tak jauh dari Pantai Parangtritis. “Di tempat ini ada pasar ikannya mas dan juga ada landasan bagi olahraga paralayang. Selain itu tempatnya relatif sepi,”kata Ahmad menjelaskan sembari mengemudikan mobil di sebelah saya.
Seperti dijelaskan di situs Yogyes:
Di antara pantai-pantai lain di wilayah Bantul, Pantai Depok-lah yang tampak paling dirancang menjadi pusat wisata kuliner menikmati sea food. Di pantai ini, tersedia sejumlah warung makan tradisional yang menjajakan sea food, berderet tak jauh dari bibir pantai. Beberapa warung makan bahkan sengaja dirancang menghadap ke selatan, jadi sambil menikmati hidangan laut, anda bisa melihat pemandangan laut lepas dengan ombaknya yang besar.
Seiring makin banyaknya pengunjung pantai yang berjarak 1,5 kilometer dari Parangtritis ini, maka dibukalah warung makan-warung makan sea food. Umumnya, warung makan yang berdiri di pantai ini menawarkan nuansa tradisional. Bangunan warung makan tampak sederhana dengan atap limasan, sementara tempat duduk dirancang lesehan menggunakan tikar dan meja-meja kecil. Meski sederhana, warung makan tampak bersih dan nyaman.
Beragam hidangan sea food bisa dicicipi. Hidangan ikan yang paling populer dan murah adalah ikan cakalang. Jenis ikan lain yang bisa dinikmati adalah kakap putih dan kakap merah. Jenis ikan yang harganya cukup mahal adalah bawal. Selain ikan, ada juga kepiting, udang dan cumi-cumi.
Hidangan sea food biasanya dimasak dengan dibakar atau digoreng. Jika ingin memesannya, anda bisa menuju tempat pelelangan ikan untuk memesan ikan atau tangkapan laut yang lain. Setelah itu, anda biasanya akan diantar menuju salah satu warung makan yang ada di pantai itu oleh salah seorang warga.
Puas menikmati hidangan sea food, anda bisa keluar pantai dan berbelok ke kanan menuju arah Parangkusumo dan Parangtritis. Di sana, anda akan menjumpai pemandangan alam yang langka dan menakjubkan, yaitu gumuk pasir. Gumuk pasir yang ada di pantai ini adalah satu-satunya di kawasan Asia Tenggara dan merupakan suatu fenomena yang jarang dijumpai di wilayah tropis. Di sini, anda bisa menikmati hamparan pasir luas, bagai di sebuah gurun.
Gumuk pasir yang terdapat di dekat Pantai Depok terbentuk selama ribuan tahun lewat proses yang cukup unik. Dahulu, ada beragam tipe yang terbentuk, yaitu barchan dune, comb dune, parabolic dune danlongitudinal dune. Saat ini hanya beberapa saja yang tedapat, yaitu barchan dan longitudinal. Angin laut dan bukit terjal di sebelah timur menerbangkan pasir hasil aktivitas Merapi yang terendap di dekat sungai menuju daratan, membentuk bukit pasir atau gumuk.
Rombongan kami menikmati suasana laut lepas dengan gemuruh ombak besar yang kemudian “mencium” bibir pantai berpasir. Ternyata banyak juga pengunjung yang juga datang pagi itu. Selain bermain-main air ada juga yang menyewa motor ATV Alya asyik membuat benteng pasir, sementara Rizky dan Alfi memandang laut dengan ombak-ombak besar bergulung menuju pantai. Mereka berdua berlari berkejaran senang diatas hamparan pasir. Sayangnya, saat itu warung-warung seafood belum buka dan istri saya juga tidak terlalu berminat membeli ikan di pasar tak jauh dari pesisir pantai. Sekitar pukul 09.30 kami bergerak menuju kawasan kompleks makam raja-raja di Imogiri.
“Siapkan kaki mendaki tangga yang tinggi ya mas,” kata Ahmad pada saya sambil tersenyum. Ya, salah satu hal yang khas dari kompleks makam raja-raja di Imogiri ini adalah undukan tangga yang lebarnya sekitar 4 meter dengan kemiringan 45 derajat dan menghubungkan pemukiman dengan makam. Anak tangga di Permakaman Imogiri yang dikenal sakral ini berjumlah 409 anak tangga. Menurut mitos yang dipercayai oleh sebagian masyarakat, jika pengunjung berhasil menghitung jumlah anak tangga dengan benar, maka semua keinginannya akan terkabul.
Seperti dikutip di Wikipedia, sebagian anak tangga memiliki arti tertentu, yaitu:
- Anak tangga dari pemukiman menuju daerah dekat masjid berjumlah 32 anak tangga. Jumlah anak tangga ini melambangkan bahwa makam Imogiri dibangun pada tahun 1632.
- Anak tangga dari daerah dekat masjid menuju pekarangan masjid berjumlah 13 anak tangga. Jumlah anak tangga ini melambangkan bahwa Sultan Agung diangkat sebagai raja Mataram pada tahun 1613.
- Anak tangga dari pekarangan masjid menuju tangga terpanjang berjumlah 45 anak tangga. Jumlah anak tangga ini melambangkan bahwa Sultan Agung wafat pada tahun 1645.
- Anak tangga terpanjang berjumlah 346 anak tangga. Jumlah anak tangga ini melambangkan bahwa makam Imogiri dibangun selama 346 tahun.
- Anak tangga di sekitar kolam berjumlah 9 anak tangga. Jumlah anak tangga ini melambangkan Walisongo.
Saat kami tiba di ujung bawah tangga naik, saya menatap takjub keatas dan sempat agak cemas apakah saya mampu mencapai puncak makam. Kedua anak saya, Rizky & Alya serta Alfi dengan lincah menaiki anak tangga menuju ke Makam tanpa terlihat rasa lelah. Saya dan istri bersemangat mengikuti mereka namun tetap saja ngos-ngos-an dan beristirahat beberapa kali.
Sejarah singkat Kompleks Makam Raja Imogiri dituturkan di situs Gudeg.Net sebagai berikut:
Makam Imogiri merupakan komplek makam bagi raja-raja Mataram dan keluarganya yang berada di Ginirejo Imogiri kabupaten Bantul. Makam ini didirikan antara tahun 1632 – 1640M oleh Sultan Agung Adi Prabu Hanyokrokusumo, Sultan Mataram ke-3, keturunan dari Panembahan Senopati, Raja Mataram ke-1, dan merupakan bangunan milik keraton kasultanan.Makam Imogiri terletak di sebelah selatan Kota Yogyakarta, kurang lebih 45 menit ke arah selatan perjalanan menggunakan kendaraan sendiri, atau bisa juga ditempuh dengan minibus dari Kota Yogyakarta langsung sampai lokasi. Makam ini terletak di atas perbukitan yang juga masih satu gugusan dengan Pegunungan Seribu. Setelah Mataram terpecah jadi 2 bagian, yaitu Kasunanan di Surakarta dan Kasultanan di Yogyakarta, maka tata letak pemakaman dibagi 2, sebelah timur untuk pemakaman raja-raja dari Kasultanan Yogyakarta dan sebelah barat untuk pemakaman raja-raja dari Kasunanan Surakarta. Raja Mataram yang pertama dimakamkan di Imogiri yaitu Sultan Agung Hanyokrokusumo. Beliau yang memutuskan bahwa Imogiri menjadi makamnya kelak setelah beliau wafat. Hingga saat ini Raja Kasultanan Yogyakarta dan Surakarta yang wafat dimakamkan di sini.Di salah satu tangga ke makam ada sebuah nisan yang sengaja dijadikan tangga agar selalu diinjak oleh para peziarah yaitu nisan makam Tumenggung Endranata karena dianggap mengkhianati Mataram. Cerita lain menyebutkan bahwa yang dikubur di tangga itu adalah Gubernur Jenderal Belanda, JP Coen.Selain menjadi tempat wisata sejarah, Makam Imogiri juga menjadi tempat wisata religius, yaitu sebagai tempat ziarah. Pada bulan Suro menurut kalender jawa, di makam ini dilaksanakan upacara pembersihan “nguras” Padasan Kong Enceh.Tata cara memasuki makam di tempat ini adalah pengunjung diharuskan memakai pakaian tradisonil Mataram. Pria harus mengenakan pakaian peranakan berupa beskap berwarna hitam atau biru tua bergaris-garis, tanpa memakai keris, atau hanya memakai kain/jarit tanpa baju. Sedangkan wanita harus mengenakan kemben.Selama berziarah pengunjung tidak diperkenankan memakai perhiasan. Bagi kerabat istana khususnya putra-putri raja ada peraturan tersendiri, pria memakai beskap tanpa keris, puteri dewasa mengenakan kebaya dengan ukel tekuk, sedangkan puteri yang masih kecil memakai sabuk wolo ukel konde.
Konstruksi bangunan Makam Imogiri terbuat dari batubata. Bangunan – bangunan yang ada di komplek makam lmogiri adalah :
- Masjid
- Gapura
- Kelir, yaitu sebuah bangunan pagar tembok yang berfungsi sebagai aling-aling pintu gerbang.
- Padasan. Padasan merupakan tempat berwudlu/bersuci dan biasanya disebut enceh atau Kong. Enceh-enceh ini diisi setahun sekali pada hari Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon yang pertama di bulan Suro dengan upacara tradisi khusus.
- Nisan, nisan untuk wanita biasanya bagian atasnya tumpul atau membulat , nisan untuk pria bagian atasnya runcing. Nisan-nisan di komplek makam ini di bagi dalam 8 (delapan) kelompok makam.
- Kolam, terletak di halaman depan masjid.
Raja-raja Mataram yang dimakamkan di kompleks Pemakaman Imogiri itu antara lain : Sultan Agung Hanyakrakusuma, Sri Ratu Batang, Amangkurat Amral, Amangkurat Mas, Paku Buwana I, Amangkurat Jawi, Paku Buwana II s/d Paku Buwana XI. Sedangkan dari Kasultanan Yogyakarta antara lain : Hamengku Buwana I s/d Hamengku Buwana IX, kecuali HB II yang dimakamkan di Astana Kotagede.
Sesampai di puncak, kaos yang saya pakai sudah basah oleh keringat. Saya tak sempat menghitung jumlah anak tangga yang saya tapaki. Alya yang tiba lebih dulu diatas menyaksikan saya dan istri dengan tatapan iba. Sayangnya, saat kami datang, kami tak bisa langsung menziarahi makam karena baru akan buka mulai tanggal 8 Syawal. Saya hanya sempat berfoto pada pelataran pendopo didepan gerbang menuju makam Sultan Agung.
Saya menyaksikan di kanan-kiri pintu masuk makam Sultan Agung terdapat 4 buah gentong besar yang disebut Kong Enceh yang berfungsi sebagai tempat membersihkan kaki. Dua buah Kong di sisi timur dinamai Kyai Mendung dari Ngerum (Romawi-red) dan Nyai Siyem dari Siam Thailand. Sedangkan di sebelah barat ada Kyai Danumaya dan Nyai Danumurti. Pada hari Selasa Kliwon atau Jumat Kliwon minggu pertama bulan Syura atau Suro berdasarkan Kalender penanggalan Jawa, selalu diadakan ritual nguras/membersihkan kong enceh tersebut. Makam Sultan Agung ramai dikunjungi para peziarah setiap malam Selasa Kliwon dan malam Jumat Kliwon. Sedangkan pada hari-hari biasa tidak terlalu ramai pengunjung.
Seperti dikutip dari DetikTravel, Kompleks makam Sultan Agung mulai buka sejak pukul 08.00-16.00 WIB dan malam hari mulai pukul 20.00 WIB. Pintu utama makam Sultan Agung selalu tertutup dan dijaga 24 jam penuh oleh para abdi dalem. Untuk memasuki komplek makam baik makam Sultan Agung maupun Kasultanan dan Kasunanan peziarah harus mengenakan pakaian adat Jawa baik gaya Yogyakarta atau Surakarta. Tak perlu bingung saat tidak membawa pakaian adat. Di sekitar tempat itu ada banyak warga atau pemilik warung makan yang menyewakan pakaian adat sebagai salah satu syarat utama masuk makam. Di komplek makam Sultan Agung, para peziarah yang tidak mengenakan pakaian adat hanya diperbolehkan sampai pendopo tempat para abdi dalem berjaga. Di komplek itu dijaga 2 abdi dalem yakni abdi dalem Kasultanan dan abdi dalem Kasunanan.
Menjelang siang kami menuruni tangga kompleks pemakaman. Relatif lebih “mudah” memang saat mendakinya, namun tetap harus hati-hati dan berpegangan pada pipa besi yang disiapkan pada masing-masing sisi tangga. Kami menutup kunjungan di Kompleks Makam Raja-Raja di Imogiri dengan menyantap pecel lontong dan soto ayam khas yang disajikan di warung depan dekat tempat parkir mobil. Sungguh sebuah pengalaman yang sangat berkesan dalam perjalanan mudik lebaran kami di Yogya tahun ini. Keesokan harinya, Jum’at (1/8) kami sekeluarga kembali ke Jakarta menumpang kereta api eksekutif Taksaka Pagi jam 08.00. Sampai jumpa kembali Yogyakarta
(Selesai)


