PERAN RANTAI SUPLAI & TANTANGAN PENGEMBANGAN INDUSTRI HULU MIGAS INDONESIA
Pada kesempatan yang sama, Bapak Awang.H.Satyana (staf khusus Kepala SKK Migas) menyebutkan bahwa salah satu tantangan yang kelak dihadapi dalam eksplorasi migas di Kawasan Timur Indonesia adalah faktor geologis karena kurang lebih 80% potensi migas di Indonesia Timur berada di laut dan tentu dengan tingkat kesulitan tinggi dibandingkan eksplorasi di darat. Tentu hal tersebut akan berbanding lurus dengan besaran biaya yang akan dikeluarkan juga akan semakin mahal seiring penggunaan teknologi tinggi yang menyertainya serta resiko finansial yang mungkin timbul. Terlebih infrastruktur pelabuhan dan transportasi relatif belum memadai untuk menjangkau wilayah kerja migas yang umumnya berada di daerah terpencil.
Beliau kemudian menyebutkan bahwa meski sejumlah tantangan menghadang didepan mata, eksplorasi migas di Indonesia Timur tetap memiliki prospek cerah di masa datang. Dari sisi tantangan teknis karena eksplorasi memerlukan teknologi tinggi serta didominasi di laut dalam tentunya diperlukan komitmen kuat dari semua pemangku kepentingan didukung oleh data seismik yang akurat dan memadai serta analisa tajam terkait aspek komersial. Sementara itu dari sisi tantangan sosial dan politik, otonomi daerah akan semakin dominan peranannya untuk mendukung proyek-proyek migas di Indonesia Timur termasuk mengantisipasi isu-isu keamanan yang kerap muncul khususnya yang berhubungan dengan proses pembebasan lahan.
Sementara itu Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Sulawesi Selatan Gunawan Palaguna—seperti dikutip dari sini— menyebut beberapa eksplorasi minyak ataupun gas bumi juga telah dilakukan di Sulawesi Selatan. Tahun ini rencananya akan ada sembilan sumur gas yang akan dieksploitasi menjadi gas alam cair (liquefied natural gas/ LNG). Hasil produksi tersebut akan diekspor, tahap awal sebesar 500 ton pada Desember 2015.
Dalam kesempatan presentasi di hari kedua simposium, Walikota Makassar, Mohammad Ramdhan Pomanto juga menyebutkan rencana untukmembangun kawasan energi terintegrasi di daerahnya. Seperti dikutip dari situs KataData, Pembangunan Makasar Energy Center (MEC) ini rencananya akan mulai dibangun tahun 2015. Beliau mengatakan kawasan energi ini akan terintegrasi dengan industri-industri lain. Lokasinya juga berdekatan dengan pelabuhan sebagai infrastruktur yang bisa mendukung kawasan tersebut.
Pada proyek itu, salah satu kawasan merupakan reklamasi laut yang berbentuk pulau. Nantinya seluruh industri yang terkait dengan energi, seperti gas, minyak, kilang, maupun pembangkit listrik akan masuk di kawasan tersebut. Rencananya kawasan tersebut akan dibangun di daerah muara Sungai Tallo Kecamatan Tallo. Untuk pembangunan wilayah khusus energi seperti pembangkit listrik dan kilang dibutuhkan lahan sekitar 400 hektare. Sementara untuk pelabuhannya membutuhkan lahan sekitar 500 hektare. Tidak hanya itu, pada tahun ini pula direncanakan pembangunan Jeneponto Integrated Industrial park Sulawesi Selatan yang dikelola oleh Aintza Group.
“Pada kawasan seluas 5000 hektar yang berlokasi di perbatasan kabupaten Jeneponto dan Takalar ini akan dibangun Kilang Minyak, Pembangkit Listrik, Smelter, Food Processing, dan water front City yang terintegrasi” demikian ungkap Darman Saul dari Aintza Energy yang menyajikan materi di hari kedua Simposium,. Peran Rantai Supplai Posisi Rantai Supplai tentulah memegang peranan yang sangat penting untuk menjamin kelancaran operasional industri hulu migas di kawasan Timur Indonesia.
Harus diakui, infrastruktur di kawasan ini masih relatif minim dibanding kawasan Barat Indonesia. Untuk itu, inisiatif untuk menjadikan Makassar sebagai “hub” (poros) utama dalam strategi rantai supplai pengembangan industri hulu migas di Indonesia Timur layak didukung mengingat posisi penting daerah ini yang secara geografis berada di posisi strategis juga telah memiliki sarana pendukung yang relatif memadai.
Pembangunan Makassar New Port (MNP)misalnya menjadi salah satu momentum terbaik dalam mendukung hal ini. MNP tak hanya mendukung gagasan Tol Laut Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla yaitu dengan membangun lima pelabuhan besar peti kemas di Kuala Tanjung-Sumatera Utara, Tanjung Priok- Jakarta, Teluk Lamong- Surabaya, Makassar dan Sorong, tetapi jugakawasan MNP –yang akan menampung peti kemas seluas 16 hektar, dan mampu memfasilitasi 500.000 peti kemas per-tahun serta dijadwalkan beroperasi 2018 — ini akan menjadi tulang punggung pengembangan industri hulu migas kawasan Indonesia Timur.
Peningkatan efisiensi di sektor transportasi laut ini tentunya dibarengi dengan pembangunan fisik fasilitas pelabuhan (baik pengirim maupun penerima) seperti dermaga, lapangan penumpukan, jalan akses, serta penyediaan alat bongkar muat untuk mendukung operasional eksplorasi dan produksi hulu migas. Arus supplai barang melalui laut yang banyak mendominasi sistem distribusi & transportasi di kawasan timur Indonesia bisa lebih lancar dan terjamin, bahkan menjangkau daerah terpencil. Pembangunan fasilitas pelabuhan kapal kecil (jeti) misalnya di kawasan proyek kilang LNG Train 3 Tangguh, diharapkan pula dapat memasok gas alam cair ke pembangkit listrik yang ada di Provinsi Papua, dan tak hanya dialokasikan untuk kebutuhan ekspor. Daya dukung rantai supplai yang mumpuni dan terintegrasi menjadi kunci keberhasilan pengembangan strategis industri hulu migas di kawasan Timur Indonesia.
Rencana pembangunan Energi Center di Makassar tentunya juga membutuhkan peran rantai supplai yang mampu menjamin ketersediaan pasokan dan jaringan distribusi sesuai kebutuhan. Perencanaan matang tentunya sangat diharapkan dengan melibatkan segenap elemen terkait serta selaras dengan koridor regulasi yang berlaku. Tidak hanya itu, diharapkan pula pemberdayaan industri lokal yang mampu mendukung kesinambungan supplai dan peningkatan TKDN (Tingkat Kandungan Dalam Negeri) dengan kualitas terbaik. Ini tentu menjadi tantangan klasik karena pada umumnya industri hulu migas khususnya di kawasan timur Indonesia bakal menerapkan teknologi yang masih banyak bergantung pada teknologi dari luar negeri.
Meskipun begitu, ini bukan tidak mungkin diterapkan secara bertahap melalui alih teknologi, hingga pada akhirnya kita kelak memiliki kemandirian supplai yang berkelanjutan dan berkualitas. Insan Rantai Supplai & Pusat Keunggulan Dalam konteks pembangunan industri hulu migas nasional di kawasan timur Indonesia, elemen insan rantai supplai yang menjalankan mekanisme tersebut memegang peran yang sangat penting. Mengingat sekitar dua pertiga anggaran dibelanjakan melalui fungsi SCM (Supply Chain Management) maka insan Rantai Supplai harus harus mengubah paradigma proses bisnis di benaknya dari sekedar “tukang antar barang” dan menjalankan fungsi administratif belaka, menjadi center of competitive advantage dan center of excellence.
Industri hulu migas kawasan Timur Indonesia yang padat modal, padat teknologi dan padat resiko harus dikaji lebih dalam mekanisme rantai supplainya secara holistik agar menghasilkan penghematan yang signifikan, pengurangan biaya inventory, peningkatan pemberdayaan kapasitas nasional serta efisiensi tata kelola SCM dan tentunya akan mengarah kepada upaya mendukung pencapaian target produksi migas nasional. Tentunya ini tidak mudah.
Upaya mereduksi biaya logistik yang kian membengkak dan kerapkali jadi kendala serius dalam penanganan rantai supplai industri hulu migas di kawasan timur Indonesia, perlu dilakukan dengan cara “kerja cerdas” guna menghasilkan keunggulan yang bernilai tambah. Kebijakan regulasi fiskal melalui insentif pajak & bunga, penerapan teknologi informasi dan komunikasi (misalnya lewat cargo e-tracking system), peremajaan & peningkatan kualitas armada, sinergi & koordinasi lintas kebijakan termasuk mekanisme perizinan “satu pintu” sampai peningkatan kompensasi / remunerasi insan Rantai Supplai merupakan beberapa cara yang bisa diterapkan dan semuanya bisa dimulai atau dipelopori oleh jajaran insan rantai supplai.
Dengan demikian Insan Rantai Supplai akan bertindak sebagai “pusat keunggulan” (center of excellence) dalam mengawal dan melakoni proses bisnisnya. Pengembangan Industri Hulu Migas di Kawasan Timur Indonesia memiliki tantangan yang cukup berat, namun dengan sinergi yang kuat dan padu antar berbagai elemen—termasuk pemerintah daerah—saya meyakini segala hambatan bisa dihadapi dan diselesaikan dengan baik.
Catatan:
Illustrasi gambar diambil dari presentasi Bapak Awang.H.Satyana dalam Simposium Migas Nasional Indonesia, Makassar 25-26 Februari 2015 pada tautan ini